Foto : Potret rumah warga di Perumahan Pesona, Kelurahan Kandang Panjang, Kota Pekalongan yang telah ditinggalkan karena tenggelam akibat penurunan muka tanah yang ekstrem. [Dok. Pemkot Pekalongan]
Pada usianya yang menginjak 78 tahun, Sandro tetap gigih mempertahankan rumahnya yang ambles agar tetap layak dihuni. Ia adalah satu dari sekitar 70 keluarga yang masih bertahan di perumahan Pesona Griya Panjang di Panjang Baru, Pekalongan, Jawa Tengah. Rumah itu ia beli secara tunai dan mulai huni pada 2003. Sebagian tetangganya mencicil rumah mereka.
Dahulu perumahan yang dihuni lebih dari 200 keluarga itu tergolong cukup mewah. Walaupun jaraknya tak sampai 1 kilometer dari bibir pantai, menurut Sandro, wilayahnya tak pernah banjir sebelumnya.
"Banjir itu mulai ada sekitar 2010-2012," ucapnya kepada detikX.
Kini sebagian daerah perumahan sudah tak layak huni dan sebagian lagi langsung berbatasan dengan air. Banyak rumah yang perlahan ambles dan tenggelam. Adapun area sekitar yang dulunya daratan kini berubah menjadi genangan air yang cukup dalam. Bahkan banyak rumah yang dindingnya jebol terkena dampak banjir.
"Kalau air itu sampai setengah meter, itu sudah masuk rumah," ucap Sandro.
Sejak 2012, Sandro sudah meninggikan rumahnya sebanyak dua kali. Saat ini ketinggian rumahnya sudah hampir 1 meter dari kondisi semula. Namun itu tidak cukup. Muka tanah yang terus turun membuat banjir tetap mengancam rumahnya. Karena itu, ia berencana meninggikan lagi rumahnya sekitar setengah meter.
Bukan hanya rumah. Warga juga terpaksa patungan untuk membiayai peninggian jalan. Sejak lebih dari satu dekade lalu, Sandro dan warga sekitar sudah menghabiskan jutaan rupiah untuk meninggikan rumah maupun jalan di sekitarnya.
"Waktu itu kan tidak ada dana dari pemerintahan membantu, jadi mandiri. Kami urun-urunan waktu itu, tiap keluarga Rp 500 ribu ya," ungkap Sandro.
Menurut penuturan Sandro, yang paling tak mujur adalah sejumlah warga yang membeli rumah dengan cara mencicil. Belum sempat lunas, banjir keburu datang menerpa.
"Itu baru 10 tahunan sudah ada banjir. Yang jelas, banyak yang belum sertifikat karena belum lunas. Pengembang ya tidak mau tahu. Tapi sekitar tahun berapa gitu sudah diserahkan ke perumahan, sudah jadi hak milik warga," kisahnya.
Dengan segala kondisi itu, Sandro mengaku berat hati meninggalkan rumah yang sudah puluhan tahun ia huni tersebut. Ia bertekad akan terus berusaha bertahan di tengah terjangan banjir.
"Jadi untuk saya, (rumah) itu merupakan tanah air. Untuk meninggalkan itu rasanya kok masih berat rasanya. Tetap bertahan sampai kapan pun," ucapnya.
Malang juga menerpa Kamal. Sejak 1974, Kamal tinggal dan menetap di Bandengan, Kota Pekalongan. Ia aktif bekerja sebagai petambak dan petani bunga melati. Sayangnya, sejak 2010, air laut mulai meluber dan menggenangi tambak serta lahan pertanian.
"Dulu tempat saya kurang lebih 1,5 kilometer dari pantai. Dari 2010, pasang rob sudah masuk semua persawahan di antara Kelurahan Kandang Panjang, Bandengan, Jeruksari, Pabean itu semua terkena dampak rob," ucap pria 50 tahun itu kepada detikX.
Tak berhenti di sana. Pada 2015, tumpahan air laut mulai merambah permukiman warga. Sejak saat itu, menurut Kamal, hampir seluruh perkampungan terendam.
"Saat ini (lahan pertanian dan tambak) sudah tenggelam dalam air. Dalamnya itu 2,5 meter lebih. Tiga meter kalau kebun melati. Itu ya di belakang rumah sudah langsung air," ungkapnya.
Kondisi itu memaksa Kamal meninggikan rumahnya sekitar 2 meter dari saat pertama dibangun. Total sudah empat kali ia meninggikan rumahnya, tetapi saat ini air tetap bisa masuk.
Sekali meninggikan rumah, Kamal membutuhkan tanah empat mobil bak terbuka. Untuk itu saja, dia harus merogoh dompet hampir Rp 4 juta. Jumlah itu hanya untuk tanah dan belum termasuk proses selanjutnya.
Sayangnya, semenjak banjir merendam, Kamal kehilangan mata pencaharian dan terpaksa banting setir menjadi pedagang di pinggir jalan. Kini pendapatannya dalam sebulan tak sampai Rp 3 juta.
"Dampak rob itu mengerikan sekali, Mas. Untuk kehidupan, untuk rumah, apalagi barang-barang itu. Nggak ada daya beli itu, nggak ada," ucap Kamal.
Di sisi lain, lahan-lahan milik Kamal dan warga lain juga tak lagi laku terjual. Tanah yang dulu dihargai hingga Rp 1 juta per meter persegi kini hanya dipatok Rp 10 ribu per meter persegi. Itu pun, menurut Kamal, tetap sulit terjual.
Warga Bandengan lain, Khusnawati, juga merasakan hal serupa. Baginya, rob telah menyebabkan kerugian material yang tak kecil. Ia memperkirakan tanah di sekitar rumahnya sejak 2010 sudah turun lebih dari 1 meter. Karena itu, ia terpaksa mengeluarkan biaya lebih untuk meninggikan rumahnya sebanyak dua kali, yang masing-masingnya setinggi 60 sentimeter. Jika dihitung sejak awal mula banjir, Khusnawati dan suaminya telah menghabiskan total biaya setidaknya Rp 100 juta hanya supaya rumahnya tak tenggelam.
Kondisi tersebut diakui juga menyulitkan mobilitas warga untuk bekerja dan sekolah.
“Selama banjir, kami banyak sekali mengalami kerugian. Ya material yang ada di dalam rumah, fisik kami, maupun psikis kami. Termasuk motor, seperti alat-alat dapur, semuanya menjadi korban,” katanya kepada detikX.
"Terutama kendaraan, Mas. Sebulan sekali itu, kalau banjir, itu pasti ada yang turun mesin, ada yang harus ke bengkel,” sambung perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang makanan tersebut.
Ia menuturkan, setelah sawah dan tambak hilang, mayoritas warga bekerja serabutan. Sebagian warga mencoba peruntungan menjadi kuli bangunan. Sedangkan yang lain disebut mengandalkan asupan dapur dari sisa-sisa tambak yang sudah tak menjanjikan. Khusnawati kini aktif berjualan bakmi Jawa di sekolah terdekat.
“Dulu sawah itu bisa diolah untuk pertanian. Terus tambak itu juga. Pertanian di sini itu maju, udang-udang itu juga ada. Sekarang sudah tidak bisa untuk mata pencaharian, itu sudah tidak bisa. Semuanya hilang, jadi kayak laut itu,” keluhnya.
Tak kalah apes. Salah satu warga Kampung Semonet, Kabupaten Pekalongan, Joyo, mengatakan, sebelum daerahnya tenggelam, warga kampungnya terhitung makmur. Dulu warga Semonet mencari nafkah dengan berkebun bunga melati dan budi daya ikan bandeng. Hasilnya cukup menjanjikan. Dalam sebulan, saat itu warga dapat mengantongi sampai Rp 4 juta.
"Bapak-bapaknya jadi petani tambak, ibu-ibunya jadi petani melati,” ujar Joyo.
Namun semua itu hilang bersama desa yang tenggelam. Kini penghasilan Joyo menyusut, cukup sulit mendapat Rp 1,5 juta dalam sebulan. Saat ini ia merintis sebagai pengepul kepiting, tetapi itu juga tak mudah. Semenjak laut makin melahap daratan, jumlah nelayan juga menyusut.
“Sangat merugikan sekali. Tanah yang sudah sertifikat pun sudah nggak berguna. Hilang, tanah musnah,” tegasnya.
Warga yang tersisa kini menempati lahan relokasi seluas 10.556 meter persegi di utara Desa Semut. Namun mereka kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian lama. Hingga kini pemerintah belum menyiapkan lapangan kerja pengganti.
“Sejauh ini belum ada rencana dari pemerintah mengganti pekerjaan warga, untuk menyediakan lapangan kerja bagi warga. Ini yang sedang diusahakan,” ucapnya.
Bencana Sosial Akibat Penurunan Tanah dan Rob
Kabid Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P2KB) Dinsos Kota Pekalongan Nur Agustina mengatakan rob terbukti punya andil terhadap jerat kemiskinan struktural dan sederet masalah sosial.
Peran para perempuan makin dominan di daerah terdampak rob. Mereka menjadi penopang utama ekonomi keluarga dengan menekuni pekerjaan informal, seperti buruh konfeksi harian dan berjualan makanan ringan. Meski berupah kecil dan bersifat harian, pekerjaan ini dianggap langkah praktis untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga.
Sebaliknya, banyak laki-laki yang enggan terlibat dalam pekerjaan serupa karena dianggap tidak pantas atau memalukan. Hal ini membuat perempuan menanggung beban ganda, mengurus rumah tangga sekaligus mencari nafkah.
“Pada saat terdampak banjir, di daerah yang budaya patriarkinya cukup kental, justru perempuan itu yang cukup berat bebannya karena dia harus mengambil air bersih, kemudian tetap handle kebutuhan keluarga, anak-anak, dan sebagainya,” kata Agustina kepada detikX.
Tekanan sosial dan ekonomi juga berdampak pada hubungan keluarga. Tidak sedikit perempuan memilih bercerai karena merasa tidak mendapat dukungan pasangan, bahkan menganggap keberadaan suami lebih banyak menjadi beban. Situasi ini diperburuk oleh meningkatnya kerentanan terhadap kekerasan, terutama di daerah terdampak rob yang minim ruang aman. Risiko pelecehan seksual, termasuk terhadap penyandang disabilitas, tercatat lebih tinggi dibanding wilayah lain.
Selain itu, menurut Agustin, penelantaran ekonomi juga banyak terjadi. Meski secara hukum termasuk bentuk kekerasan dalam rumah tangga, kasus tidak menafkahi jarang terungkap karena masih dianggap tabu untuk dibicarakan.
“Kemungkinan-kemungkinan terjadi kekerasan, termasuk kekerasan seksual, itu menurut saya kok cenderung lebih banyak di daerah itu (terdampak rob) dibandingkan misalnya daerah selatan,” ungkapnya.
Kondisi putus asa karena hilangnya pekerjaan juga mendorong keluarga menganggap keberadaan anak sebagai beban. Anak-anak kemudian dianggap tidak perlu sekolah tinggi, cukup bekerja atau dinikahkan lebih cepat.
"Kita dapati anak-anak putus sekolah yang karena orang tuanya ingin cepat anaknya bekerja atau dinikahkan. Itu dengan harapan mengurangi beban keluarga,” katanya.
Agustin menegaskan rob terbukti melanggengkan kemiskinan struktural. Juga meningkatkan risiko angka putus sekolah, perkawinan anak, perceraian, hingga kekerasan dalam rumah tangga.
“Kalau kita bicara kemiskinan, kan akan menjadi turun-temurun. Karena itu, butuh intervensi yang serius,” katanya.
Sementara itu, pegiat komunitas pendamping korban kekerasan berbasis gender Srikandi Kota Pekalongan, Ita, mengatakan, banjir rob dan hilangnya mata pencaharian turut berdampak pada meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Ita dan kelompoknya sempat mendampingi sekitar 25 korban kekerasan.
Mayoritas yang terdata adalah kasus kekerasan fisik dan korbannya adalah para perempuan. Kondisi itu turut memicu meningkatnya kasus perceraian di daerah yang terdampak rob parah.
"Banyak peningkatannya (kasus kekerasan). Itu ya karena mata pencaharian warga tidak lagi stabil. itu berpengaruh sekali terhadap emosi seseorang," ucapnya.
Menurut Ita, hunian yang rusak dan hilangnya mata pencaharian memaksa sebagian warga menjadi buruh migran ke luar negeri sebagai ABK kapal ikan. Namun kondisi itu ternyata menimbulkan persoalan baru. Sebagian buruh migran tak mendapat perlakuan serta upah yang layak.
"Kalau ABK itu kendalanya di kapal luar negerinya itu kadang karena kondisional di tempat itu tidak sesuai, serta gaji yang dijanjikan itu juga tidak sesuai. Dan, ABK itu dia memilih kabur, banyak, Mas," ungkapnya.
—Liputan ini didukung oleh program Solution Journalism fellowship (INTERNEWS-Earth Journalism Network (EJN)).
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim