SPOTLIGHT

Kusut Penanganan Perundungan Pendidikan Kedokteran

Ilustrasi : Edi Wahyono

Rabu, 11 September 2024

Penanganan kasus perundungan dalam pendidikan kedokteran bagaikan menangani kasus pemerkosaan. Hal tersebut diungkapkan Plt Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi. Relasi kuasa antara senior dan junior menyebabkan korban maupun saksi kerap memilih bungkam.

Belum adanya lembaga perlindungan saksi, korban, maupun informan perundungan menjadikan penanganan kian sukar dilakukan.

“Kira-kira logikanya sama saja seperti orang diperkosa, ya kan! Jadi dia merasa aman, dia kan masih mau sekolah. Sementara kan dia masih punya senior. Nah, kalau dia kemudian identitasnya diketahui bahwa dia menjadi informan, terus seniornya nggak suka, itu kan sulit untuk kemudian kita melakukan perlindungan kepada dia kan, gitu,” jelas Nadia kepada detikX ketika ditemui di kantornya, Setiabudi, Jakarta Selatan.

Kemenkes, kata Nadia, sejauh ini menyediakan wadah pelaporan untuk kasus perundungan yang terjadi selama masa pendidikan dokter. Namun sanksi yang bisa dilakukan sejauh ini hanya penegakan disiplin. Terkait konsekuensi hukum bagi para perundung, mesti dilakukan penuntutan pidana ke pihak penegak hukum dan kepolisian.

Namun, sampai saat ini, menurut Nadia, penanganan tersebut belum cukup membuat korban atau saksi merasa aman untuk melapor. Mereka masih meyakini lebih baik mengamankan diri daripada menimbulkan masalah setelah melaporkan seniornya.

“Karena mungkin sistemnya itu sudah lama, sehingga turun-temurun, jadi kan orang biasanya tidak percaya kalau sistem itu bisa berubah. Ada juga yang sudah mau (lapor) misalnya, udah tinggal satu setengah tahun lagi ya dia mungkin, wah daripada aku kena masalah, ngulang (masa studi),” ujar Nadia.

Terkuaknya dugaan perundungan sistemik di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berujung pada pemberhentian sementara Dekan FK Undip Yan Wisnu dari praktiknya di RSUP Kariadi, Kota Semarang.

Korban perundungan, mahasiswa Anestesiologi dan Terapi Intensif Aulia Risma Lestari (30), ditemukan meninggal di dalam kamar indekosnya. Ini menjadi salah satu puncak gunung es kasus perundungan yang terjadi di berbagai kampus di Indonesia.

Aksi lilin untuk duka cita atas meninggalnya salah satu mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi berinisial ARL (30) dengan dugaan perundungan di Lapangan Widya Puraya Undip, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/9/2024). 
Foto : Aji Styawan/Antarafoto

Dugaan adanya perundungan di Undip tersebut ternyata bukan yang pertama terjadi. detikX menerima surat pelaporan perundungan yang terjadi di Program Studi Gizi Klinik Undip di rumah sakit yang sama dengan tempat Aulia menimba ilmu, RSUP Kariadi.

Salah satu bentuk perundungannya, mahasiswa dipaksa melakukan komunikasi tanpa mengenal batas waktu dan tidak terkait dengan proses pembelajaran. Mereka dipaksa mematuhi jadwal konsulen di luar proses menimba ilmu, seperti mendampingi gala dinner, mendampingi check-in hotel, mengoordinasi barang bawaan, hingga mengantar konsulen ke tempat kediaman masing-masing.

“Mahasiswa yang dianggap tidak patuh dan taat terhadap jadwal-jadwal yang ditentukan pihak konsulen, yang notabene jadwal-jadwal tersebut tidak memiliki hubungan dengan program meningkatkan kualitas pendidikan dan pengalaman ilmiah, maka akan dianggap tidak patuh dan mendapatkan teguran,” demikian isi surat pelaporan tertanggal 5 Maret 2024 yang diterima Kemenkes tersebut.

Siti Nadia Tarmizi menyebutkan kasus tersebut sudah dilakukan pemberian sanksi terhadap pihak-pihak yang terlibat.

detikX juga telah berupaya mengonfirmasi kepada pihak Undip terkait adanya perundungan yang pernah terjadi di program Gizi Klinik dan Penyakit Dalam itu. Wakil Rektor IV Undip Wijayanto tak membantah ataupun membenarkan kasus itu. Dia hanya menyebutkan dulu pernah terjadi perundungan di tempat tersebut dan para pelakunya telah dikeluarkan.

“Ini bukti bahwa kami tegas. Tempat spesifiknya tidak bisa kami konfirmasi,” kata Wijayanto kepada detikX melalui via pesan WhatsApp.

Sejak diluncurkannya situs web pada Desember 2022 untuk pelaporan perundungan di pendidikan kedokteran, Kemenkes telah menerima lebih dari ribuan aduan. Namun, hanya sekitar 450 yang benar-benar merupakan kasus perundungan. Kriteria perundungan yang masuk dalam angka tersebut di antaranya kekerasan verbal, psikis, fisik, dan finansial.

Lebih dari separuh kasus tersebut terjadi di rumah sakit vertikal yang menjadi wahana pendidikan dokter spesialis, seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta; Rumah Sakit Adam Malik, Medan; RSUP Dr Hasan Sadikin, Bandung; dan RSUP Dr Mohammad Hoesin, Palembang.


Sejauh ini Kemenkes telah memberikan sanksi pada 100 kasus yang melibatkan direktur, jajaran direksi, ketua program studi, dan kelompok staf medis yang terbukti bersalah.

Kemenkes juga menyebut terdapat beberapa jurusan dengan angka perundungan paling tinggi, tiga teratas yaitu penyakit dalam, ilmu bedah, dan anestesiologi.

Perundungan di dunia pendidikan kedokteran kenyataannya mulai banyak tersingkap beberapa tahun belakangan. Pada 2020, mahasiswa residen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, berinisial AB bunuh diri dengan menenggak cairan pembersih kimia karena diduga menjadi korban perundungan seniornya.

Pada 2023, banyak beredar perundungan fisik yang dialami beberapa PPDS oleh seniornya ketika bermain futsal bersama. Adapun cerita lainnya menyangkut kurikulum tersembunyi selama pendidikan PPDS di beberapa kampus, seperti menyediakan kartu kredit dengan limit tertentu untuk senior, juga kekerasan seksual dan fisik.

Saling Lempar Tangani Kasus Perundungan
Seiring dengan investigasi dan langkah lanjutan dari Kemenkes, keluarga Aulia Risma kini telah membuat laporan ke Polda Jawa Tengah, yang meliputi adanya bullying, pemerasan, dan ancaman. Polda Jawa Tengah sudah mengantongi bukti-bukti dan sedang mendalaminya.

“Jadi kasus ini sebenarnya ada dua ya. Kasus kematian atau meninggalnya almarhumah, kemudian kasus kedua ada isu perundungan. Oleh karena itu, untuk kasus meninggalnya almarhumah, itu oleh Polrestabes Semarang. Kemudian isu perundungannya ditangani oleh Polda Jawa Tengah, yang dalam hal ini ditangani oleh Direktorat Kriminal Umum,” jelas Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Artanto kepada detikX.

Sebelumnya, Kemenkes sempat mengambil langkah penanganan buntut meninggalnya Dokter Aulia Risma dengan menghentikan sementara kegiatan program PPDS Anestesi FK Undip. Akibatnya, Undip merespons dengan mengatakan PPDS Undip menjadi sasaran empuk atau sitting duck oleh Kemenkes. Menurut Wakil Rektor IV Undip Wijayanto, kelelahan para residen disebabkan oleh kebijakan rumah sakit yang mengharuskan mereka bekerja lebih dari 80 jam seminggu.

"Tidur hanya 2-3 jam setiap hari. Kadang mesti bekerja hingga 24 jam alias sama sekali tidak tidur," ucap Wijayanto.

Sementara itu, Manajer Hukum dan Humas RSUP Dr Kariadi, Semarang, Vivi Vira Virdianti, membantah apabila dikatakan mahasiswa PPDS bekerja maupun membantu untuk rumah sakit.

"Sebenarnya bukan membantu, PPDS itu singkatan dari peserta pendidikan dokter spesialis, artinya pendidikan, jadi bukan membantu. Kalau dipekerjakan, tidak. Ibaratnya sekolah, kan magang bagian dari proses pendidikan," tambahnya.

Dewan Pendiri Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) Erfen Gustiawan Suwangto mengakui mengungkap kasus perundungan di dunia pendidikan kedokteran memang memiliki tantangan tersendiri, terutama terkait dengan keamanan korban dan saksi.

“Memang ini kasusnya karena banyak saksi atau korban yang malah semakin tidak menguntungkan kalau melaporkan kasusnya. Oleh karena itu, perlindungan saksi penting, misalnya ada tim yang stand by selama kasus, meski tentu akan mengucurkan biaya tidak sedikit,” jelas Erfen kepada detikX.

Menurut Erfen, satgas khusus sangat penting, terutama jika semisal para perundung merasa memiliki backing-an yang membuat mereka merasa terlindungi.

Erfen juga sempat menyesalkan, sebelumnya, Kemendikbud tidak sigap untuk langsung turun tangan begitu kasus kemarin ramai mencuat jadi pemberitaan. Sebab, selama ini uang pendidikan mengalir ke pendidikan atau universitas.

Menanggapi kasus perundungan tersebut, baru-baru ini Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Abdul Haris mengatakan akan memberikan sanksi merujuk hasil investigasi terhadap perundungan di lingkungan Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro.

“Dalam melakukan investigasi, kami berkolaborasi erat dengan Inspektorat Jenderal Kemenkes guna memastikan investigasi berjalan secara komprehensif,” kata Abdul Haris dilansir dari Antara pada Senin, 9 September 2024.


Reporter: Ani Mardatila, Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE