SPOTLIGHT

Elegi Gugurnya Kasus Pegi

Pegi Setiawan bebas, praperadilan mengetok tidak sahnya prosedur penetapannya sebagai tersangka. Keputusan ini menguak celah dalam penyidikan dan pengawasan lembaga penegak hukum terhadap kasus pidana.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 15 Juli 2024

Awal September 2016, tiba-tiba Kartini melihat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Sekelompok pria berpakaian preman turun dari mobil itu dan mendekat kepadanya. Mereka mencari Pegi Setiawan.

“Masuk ke rumah nggak punten, nggak permisi, dia langsung ngomong, ‘Ada Pegi-nya nggak, Bu?’ Nggak ada, Pegi lagi ke Bandung. Ada apa, Pak? ‘Pegi punya utang sama saya lima juta belum bayar’ kata polisi,” ujar Kartini, ibu Pegi Setiawan, kepada detikX di kediamannya, Kabupaten Cirebon, akhir pekan lalu.

Pria lainnya nyeletuk kepada Kartini, nyawa harus dibalas dengan nyawa. Adapun titik terangnya ketika seorang lagi mengatakan dengan lugas, Pegi terlibat dalam pembunuhan Eki dan Vina. Kartini langsung membantahnya, mengatakan anaknya telah merantau ke Bandung bahkan sebelum peristiwa nahas menimpa Eki dan Vina.

Namun polisi terus menggeledah rumah Kartini, membawa motor berwarna ungu kuning milik Pegi yang sudah aus dan motor merah milik adik Kartini. Kartini tak menerima surat apa pun terkait penggeledahan maupun panggilan untuk pergi ke kantor polisi. Hingga kini kedua motor itu tak pernah kembali.

Kartini mengikuti saran majikannya yang kebetulan seorang pengacara, selama tak ada surat resmi yang diberikan, tak perlu pergi ke kantor polisi. Pegi toh berada di Bandung, tak ke mana-mana jika memang ia sedang dicari dan bersalah.

Selama itu, Pegi sesekali pulang ke Cirebon. Delapan tahun lamanya ia tak berurusan dengan kepolisian sampai sebuah film layar lebar dirilis pada Mei 2024, mengangkat kronologi kasus pembunuhan Vina dan Eki yang bertajuk ‘Vina: Sebelum 7 Hari’.

Vina dan Muhammad Rizky alias Eki adalah dua anak muda yang menjadi korban penganiayaan, pembunuhan, serta pemerkosaan. Jasad mereka ditemukan di jalan layang Talun, Kabupaten Cirebon, pada Sabtu, 27 Agustus 2016, malam. Mulanya polisi menduga keduanya korban kecelakaan tunggal. Setelah ditelisik lebih jauh, terdapat memar-memar di tubuh kedua korban dan motor yang mereka kendarai tak mengalami kerusakan.

Tim kuasa hukum Pegi Setiawan sujud sukur usai sidang putusan gugatan praperadilan Pegi Setiawan di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Senin (8/7/2024). 
Foto : Novrian Arbi/Antarafoto

Delapan orang telah ditangkap dan diadili atas peristiwa itu. Tujuh di antaranya divonis hukuman seumur hidup. Satu orang di bawah umur dijatuhi 8 tahun kurungan penjara. Polisi juga merilis tiga orang yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), salah satunya Pegi alias Perong.

Pada 21 Mei 2024, Polda Jabar kembali melakukan gelar perkara penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka. Polisi menemukan dua alat bukti yang cukup, di antaranya kesaksian Sudirman, pelaku yang sudah divonis seumur hidup. Sudirman mengakui Pegi merupakan Perong atau pelaku pembunuhan Vina yang menjadi buron.

Adapun bukti lainnya adalah berupa kecocokan data Dukcapil antara Pegi Setiawan dengan Pegi Perong. Polisi juga mengumpulkan bukti berupa dokumen-dokumen, seperti ijazah, akta kelahiran, dan kartu keluarga.

Kuasa hukum Pegi Setiawan, Yanti, menemukan adanya banyak keganjilan ketika proses penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka. Terutama terkait dengan keberadaan saat kejadian perkara, Pegi tidak ada di Cirebon, tidak memberikan surat penetapan pengadilan, tak ada berita acara pengambilan motor, serta tak pernah dilakukan pemanggilan terhadap Pegi Setiawan.

“Tanggal 21 Mei 2024, itu kan langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa diperiksa dulu adanya saksi-saksi. Itu pencarian bukti-bukti setelah penetapan tersangka. Itu tidak boleh. Karena bukti-bukti itu harusnya dicari itu sebelum ditetapkan tersangka. Saksi-saksi pun diperiksa sebelum itu, kejanggalannya yang akhirnya kami sampaikan di dalam praperadilan,” ujar Yanti kepada detikX saat ditemui di kediamannya pekan lalu.

Sejak viralnya kasus Vina, banyak advokat ingin membantu secara sukarela untuk mengurus praperadilan. Selama persiapan praperadilan, Yanti dibantu oleh sekitar 74 advokat meski hanya sekitar 22 advokat yang ikut di ruang pengadilan.

“Awalnya memang Ibu pertama, Ibu di wawancarai oleh Pak Toni, kemudian Pak Toni itu ternyata seorang pengacara dan pada saat itu banyak orang yang bersimpati pada perkara Pegi ini dan mereka dengan ikhlas mau membantu membebaskan Pegi, karena Ibu selalu meyakinkan bahwa Pegi bukan pelakunya setelah media bergulir,” jelasnya.

Pegi Setiawan (tengah) saat pulang ke Desa Kepongpongan Cirebon usai menang di praperadilan.
Foto : Ony Syahroni/detikJabar

Dalam pernyataannya di praperadilan, pihak kepolisian menyatakan telah memenuhi segala prosedur penetapan tersangka, yakni memiliki minimal dua alat bukti. Selain itu, polisi telah mengantongi surat perintah penahanan, berita acara penahanan atas surat perintah penahanan dan berita acara penahanan tertanggal 22 Mei 2024, pemberitahuan penangkapan dan penahanan, serta telah diberitahukan atas penangkapan dan penahanan terhadap tersangka Pegi Setiawan.

Hakim tunggal PN Bandung Eman Sulaeman, yang memimpin jalannya praperadilan Pegi Setiawan, mengabulkan perkara praperadilan Pegi. Pegi bebas dari status tersangka dalam kasus pembunuhan Vina dan Eki.

Menurut Eman, Polda Jawa Barat tidak bisa menguraikan dua alat bukti secara rinci untuk menguatkan penetapan Pegi sebagai tersangka. Tim dari Polda Jawa Barat hanya mengatakan ada dua alat yang cukup dan hanya mendatangkan satu saksi ahli.

Di samping itu, Eman menilai pemeriksaan Pegi tidak sesuai dengan prosedur, yaitu tidak melakukan pemeriksaan sebelum menetapkannya sebagai tersangka. Sehingga tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2020 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Kabid Humas Polda Jabar Kombes Jules Abraham Abast mengatakan pihak kepolisian akan menghormati putusan Pengadilan Negeri Bandung terkait hasil praperadilan tersebut. "Kami dari Polda Jabar tentu akan menjalankan segala putusan hakim pada sidang praperadilan Tersangka PS," ungkapnya di Mapolda Jabar pada Senin, 8 Juli 2024.

Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro merespons akan melakukan evaluasi penyidik Polda Jabar setelah Pengadilan Negeri Bandung mencabut status tersangka Pegi Setiawan dan menghentikan penyidikan kasus tewasnya Vina dan Eki di Cirebon.

"Ini tentu saja menjadi evaluasi kita bersama. Kita juga melihat evaluasi-evaluasi terhadap penyidik-penyidik yang ada, bagaimana proses itu," jelas Djuhandani di Jakarta pada Senin, 8 Juli 2024.

Potret Pegi Setiawan. 
Foto : Ony Syahroni/detikJabar

Djuhandani menambahkan Polri juga akan menyoroti ke depan dan belum bisa memastikan apakah Pegi Setiawan adalah korban salah tangkap. Sebab, terdapat materi formil yang tidak dilaksanakan oleh penyidik.

"Walaupun tetap kami pada prinsip adalah praduga tak bersalah, kemudian apakah formil yang seperti kami ikuti bersama bahwa hakim juga menyampaikan ada formil yang tidak dipenuhi oleh penyidik," pungkasnya.

Peneliti kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan ini menjadi catatan penting dalam kerja-kerja penyidikan dan dampaknya terhadap kasus. Ketika terungkap adanya kesalahan prosedur, ini menyebabkan semakin menurunnya kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum.

“Polisi bekerja profesional itu harus bekerja secara ilmiah dan kerjanya juga harus bisa dipertanggungjawabkan. Kalau kerja kepolisian itu masih banyak masih banyak mengedepankan subjektivitas, kemudian jauh dari ilmiah, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, tentu akan menjadi bagi blunder kepolisian dan menjauh dari harapan semua masyarakat, termasuk harapan dari keluarga Vina untuk mencari siapa pelaku yang sebenarnya,” ujar Bambang kepada detikX.

Senada, Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai ini merupakan bukti lemahnya sistem peradilan pidana atau criminal system di Indonesia yang masih primitif. Sistem regulasi tidak memberikan jaminan transparansi, apalagi jaminan pengawasan melekat dari instansi negara.

“Ingat ya, praperadilan itu bukan pengawasan, praperadilan itu mekanisme challenge untuk menguji, tapi malah dibebankan pada tersangka, kuasa hukum, dan/atau keluarganya. Jadi eksternalitas pengawasan ini dimaknai sebagai beban dari orang yang diperiksa orang yang berhadapan dengan hukum. Ini sesat pikir dalam sistem hukum kita,” kata Julius.

Menurutnya, dari kasus Pegi, bisa dilihat bahwa lembaga hukum yang mestinya saling terkoordinasi malah melakukan sebaliknya. Polisi berdiri sendiri dengan pendapat dan pikirannya, jaksa melakukan hal serupa.

“Dan oleh karenanya, keduanya tidak mampu menyelami akal pikiran dari si hakim yang juga belum tentu lebih berpendidikan, lebih berpengalaman, daripada penyelidik dan penyidik serta penuntut umum. Nah, di sinilah letak kekisruhan dalam kasus Vina Cirebon,” ujarnya.


Reporter: Ani Mardatila, Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE