SPOTLIGHT

Pelik Pemakaian AC di Cuaca Terik

Meningkatnya suhu menaikkan kebutuhan pendinginan. Hal ini memicu lingkaran setan penggunaan listrik dan emisi karbon yang bikin bumi semakin panas.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Selasa, 7 Mei 2024

Hari-hari ini agaknya mustahil melalui siang bolong di Jakarta tanpa tiupan kipas angin atau AC. Atau bila sedang berada di tempat umum, ngadem di stasiun MRT atau toko modern berjejaring yang sudah tentu menginstal pendingin udara.

Suhu udara maksimum di Jakarta dalam sepekan terakhir 34,4 derajat Celsius. Meski ini tidak setinggi suhu di negara tetangga yang dilanda gelombang panas, seperti Thailand, yang suhu maksimumnya sempat mencapai 44,1 derajat Celsius, panas di Indonesia membakar kulit akibat minimnya tutupan awan dan tingginya indeks ultraviolet.

Di dalam ruangan, situasinya sama tak tertolongnya. Udara cenderung lebih kering karena Indonesia sedang berada di musim pancaroba dan segera memasuki musim kemarau. Menyalakan AC jadi pilihan tak terelakkan demi mendapatkan kenyamanan dan kesejukan, bahkan menurunkan ancaman kematian akibat heat stroke, meski punya konsekuensi terhadap pemanasan global.

“Sebetulnya, jika dikatakan menggunakan AC memicu gelombang panas, agak loncat logikanya. Yang benar adalah AC berkontribusi terhadap pemanasan global. Kemudian, pemanasan global menyebabkan fenomena gelombang panas lebih sering muncul dengan intensitas yang semakin kuat,” jelas profesor klimatologi dari Institut Pertanian Bogor, Rizaldi Boer, kepada detikX.

Deputi Bidang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Guswanto menjelaskan manufaktur dan penggunaan AC merilis gas rumah kaca yang melubangi lapisan ozon di stratosfer. Emisi dihasilkan dari zat pendingin yang terlepas ke atmosfer saat proses produksi ataupun jika terjadi kebocoran, termasuk jika AC dibuang sembarangan. 

Selain itu, ada emisi tidak langsung melalui penggunaan listrik yang umumnya masih bersumber dari bahan bakar fosil. Pembakaran bahan bakar fosil melepas karbon dioksida.

Ilustrasi pengguinaan mesin penyejuk ruangan.
Foto : iStockphoto

“Kalau itu sudah bolong, otomatis sinar ultraviolet yang membahayakan manusia itu sampai ke bumi,” ujar Guswanto kepada detikX. Sebab, lapisan ozon berfungsi menyerap panjang gelombang sinar UV-A, UV-B, dan UV-C tersebut.

Permintaan AC Meningkat
Dibandingkan dengan daerah pedesaan, di daerah perkotaan, selain suhunya cenderung lebih tinggi karena heat island effect, pendapatan warganya juga lebih tinggi sehingga permintaan AC naik. Ini fenomena dunia. Di China, misalnya, penjualan AC saat gelombang panas pada Juni tahun lalu naik 60 persen year-on-year. Begitu juga di Texas, Amerika Serikat. Analisis International Energy Agency menemukan kenaikan permintaan listrik sebesar 4 persen setiap suhu di kota itu naik 1 derajat Celsius dari Mei hingga September 2023.

Di Indonesia, penetrasi AC sebetulnya masih rendah meski terus meningkat, dari sekitar 10 persen pada 2017 menjadi 15 persen pada 2019. Kemudian menjadi kurang dari 25 persen pada 2021. Bandingkan dengan Singapura, misalnya, yang lebih dari 80 persen rumah tangganya punya AC.

Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kemenperin Priyadi Arie Nugroho menyebutkan data Laporan Surveyor, impor produk AC pada 2023 menembus angka 3,8 juta unit. Sementara itu, produksi AC dalam negeri sekitar 1,2 juta unit. Artinya, ada 5 juta unit AC yang dipasarkan di Indonesia pada 2023, dua kali lipat dari jumlah penjualan AC pada 2021.

Belum Benar-benar Hemat Energi
Tips untuk meminimalkan dampak penggunaan AC pada perubahan iklim adalah dengan memilih AC yang lebih ramah lingkungan. Cirinya dua, berefisiensi tinggi dan menggunakan zat pendingin yang low global warming potential (GWP) atau potensi pemanasan globalnya rendah, daripada high-GWP.

Banyak orang mengenal zat pendingin sebagai freon, padahal itu adalah merek dagang sejumlah refrigeran, mulai R-12 (CFC), R-22 (HCFC), hingga R-140A (HFC). R-12 sudah lama ditinggalkan. Yang banyak digunakan hari ini adalah R-22 dan R-140A. Yang terakhir sudah tidak memiliki properti merusak ozon, meski masih tergolong high-GWP. Ia 2.000 kali lebih kuat daripada CO2 dalam memerangkap panas di atmosfer. Sementara itu, zat pendingin yang tidak melubangi ozon sekaligus low-GWP adalah R-32.

Menurut laporan sejumlah organisasi nonprofit, seperti ‘The Future of Cooling in Southeast Asia’ oleh International Energy Agency pada 2019, pasar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, didominasi AC berefisiensi rendah alias boros energi dan bikin tagihan listrik melambung. Temuan serupa didapatkan dari hasil riset CLASP pada 2023 bertajuk ‘Pathways to Prevent Dumping of Climate Harming Room Air Conditioners in Southeast Asia’. 

Studi CLASP menemukan perusahaan asal China, Jepang, dan Korea Selatan membuat model AC yang lebih efisien untuk dijual di negara mereka, tapi ‘membuang’ jutaan AC kualitas nomor dua ke Asia Tenggara dengan memanfaatkan celah regulasi nasional yang tidak ketat. Jenama penguasa pangsa pasar, seperti Daikin, Panasonic, dan LG, selain berkomitmen mengurangi emisi, juga punya kapasitas untuk memproduksi AC yang efisien. Namun mereka toh tetap menawarkan AC berefisiensi rendah di kawasan Asia Tenggara.

Laporan itu menyebut 2,3 juta unit AC, atau 97 persen dari total AC yang terjual di Indonesia pada 2021, berefisiensi rendah atau nilai MEPS-nya berada pada kisaran 2,9 sampai 3,9. Minimum energy performance standards (MEPS) atau yang diadopsi Indonesia menjadi standar kinerja energi minimum (SKEM) itu menentukan seberapa ‘hemat energi’ suatu unit AC. Semakin tinggi nilainya, semakin hemat energi.

Pada 2015, pemerintah Indonesia mulai menerapkan SKEM sekaligus melarang penggunaan R-22. Itulah mengapa penggunaan R-32 di Indonesia sudah melebihi 60 persen pada 2021. Sayangnya, meski sudah mewajibkan produsen AC memenuhi SKEM, Indonesia masih mematok tingkat efisiensi jauh di bawah produk paling efisien yang tersedia

Berdasarkan pembaruan terakhir pada Oktober 2023, saat ini produsen atau pengimpor AC di Indonesia diharapkan memenuhi nilai SKEM minimal 3,4 W/W. Padahal, di pasar global, produk paling efisien memiliki nilai MEPS 7 hingga 8. Namun, Yudo Dwinanda Priaadi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, mengatakan nilai SKEM yang ditetapkan Indonesia lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Filipina, dan Vietnam.

Ia menambahkan, selama periode 2021 hingga semester pertama 2023, kebijakan tersebut berhasil menghemat biaya tagihan listrik sebesar Rp 3,76 triliun serta menghemat energi sebanyak 2,6 TWh dan mengurangi emisi 2,4 juta ton CO2.

Ilustrasi peremajaan air conditioner (AC).
Foto : iStockphoto

“Kami akan terus mengantisipasi isu dumping AC ini. Nilai SKEM terus diperbarui,” ujar Yudo pada November tahun lalu.

Buntut dari penerapan SKEM adalah stiker hemat energi yang ditandai dengan jumlah bintang. Semakin banyak bintang, semakin hemat. Ada dua jenis stiker. Yang pertama menggunakan nilai efisiensi cooling seasonal performance factor (CSPF), di mana level tertinggi adalah bintang lima dengan nilai CSPF 5 ke atas. Satu lagi diperuntukkan bagi unit AC yang lolos uji energy efficiency ratio (EER). Untuk kategori ini, stiker bintang empat menandakan AC tersebut paling hemat energi, yaitu nilai EER-nya 10,41 ke atas.

Namun jangan terkecoh, unit AC dengan stiker bintang satu pun oleh pemerintah sudah disebut ‘hemat energi’, meski menurut standar MEPS China tergolong berefisiensi rendah. Ambang batas efisiensi minimum menurut MEPS China untuk AC inverter saat ini adalah 4,5 W/W untuk kapasitas pendinginan di antara 7,1 kW hingga 14 kW.

Selain itu, kata Rizaldi Boer, AC hanya satu dari banyak penyumbang emisi penyebab pemanasan global. Kepala Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific itu mengingatkan publik bahwa perubahan iklim disebabkan juga oleh kerusakan lingkungan dan aktivitas pembangunan manusia.

Menurut Rizaldi, untuk mengatasi masalah pemanasan global dan mencapai net zero emission pada 2050, diperlukan berbagai upaya di samping menggunakan AC yang hemat energi dan melepaskan gas low-GWP. “Termasuk di antaranya percepatan penggunaan energi terbarukan, pengendalian konversi hutan, pengendalian kebakaran hutan dan gambut, dan sistem transportasi umum yang baik dan nyaman,” pungkasnya.


Reporter: Alya Nurbaiti, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Alya Nurbaiti
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE