SPOTLIGHT

Perundungan di Ruang Kerja Dokter

Siklus perundungan yang tersamar dalam kurikulum tersembunyi pembentukan karakter mengakar kuat pada masa pendidikan dokter. Senyapnya pelaporan menjadi tantangan penyelesaian kasus perundungan yang berkelanjutan.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 15 Mei 2023

Keputusan besar keluar dari masa pendidikan dokter yang diambil Edo—bukan nama sebenarnya—menjadi momen dalam hidupnya yang tak pernah terbayangkan. Lelaki berusia 31 tahun itu tak sepakat dengan lingkungan beracun yang dibangun pada masa pendidikan dokter. Menurutnya, hal itu berkebalikan dengan visi dunia kedokteran, yang menjunjung kesehatan.

“Tapi cara kita menjalani kehidupan pendidikan di kedokteran kok membuat hidup kita tidak sehat. Itu kok jadi dinormalisasi, demi belajar gitu kan ya,” kata Edo kepada reporter detikX pekan lalu.

Edo paham betul menyoal kedisiplinan dalam dunia kedokteran. Namun ada beberapa hal yang menurutnya tak masuk akal. Pernah suatu kali ia jaga malam dalam kondisi sakit. Ia demam dan perutnya melilit. Paginya, timnya mesti melakukan presentasi kasus di hadapan senior.

“Saat ingin presentasi kasus, aku demam dan diare. Jadi aku ke toilet. Tapi aku diteleponin terus, disuruh cepat datang, dimarah-marahin. Dan setelah urusanku selesai di toilet, aku datang. Aku dibentak-bentak karena nggak segera muncul. Padahal aku sudah izin karena lagi diare,” cerita Edo.

Kala itu dia masih koas, sebuah program co-assistant yang harus ditempuh dokter muda berupa praktik di rumah sakit untuk bisa menangani pasien. Menurutnya, mungkin itu tidak seberapa dibandingkan perundungan terhadap para residen meskipun di sisi lain para residen itu juga kerap merundung para koas. Residensi ini tahap selanjutnya dari koas, biasa disebut dokter residen karena tengah menjalani program pendidikan dokter spesialis (PPDS).

Edo pernah menyaksikan sendiri bagaimana residen junior membelikan makanan setiap hari untuk seniornya menggunakan uang pribadi mereka. “Padahal makanan yang dipesan tidak murah. Mungkin satu porsinya bisa mencapai Rp 30 ribu atau lebih dan itu mesti membelikan ke semua senior dan setiap hari,” ungkapnya.

Ia hanya bisa membatin dan tak menduga kala pertama kali mengetahui hal itu meski sebelumnya ia kerap mendengar desas-desus terkait perundungan semacam itu. “Aku waktu pertama kali tahu itu sangat kaget. Dan tidak bisa membayangkan berapa uang yang mesti kukeluarkan ketika nantinya aku memutuskan untuk mengambil spesialis,” kata Edo.

Ilustrasi praktik dunia kedokteran. 
Foto : Getty Images

Sejak mencuatnya kasus perundungan yang dialami seorang mantan calon dokter spesialis dari Sumatera Barat yang ia ungkapkan di diskusi terbuka Rancangan Undang-Undang Kesehatan bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, bersusulan muncul cerita perundungan secara anonim di media sosial.

Mantan dokter yang menempuh program PPDS tersebut mengatakan keinginan senior di dalam maupun luar urusan akademik wajib dituruti atau haram ditolak. Ia bercerita mulai dibentak dan dimaki, diminta membelikan berbagai belanjaan pada tengah malam, hingga urusan antar jemput senior.

“Suruh antar jemput pagi juga wajar, jam dua pagi harus menjemput kakak kelas di stasiun atau di airport itu juga sudah wajar,” katanya di kanal YouTube Asclepio Masterclass pada Minggu (30/4/2023).

Perundungan lain yang ramai dibicarakan di akun Twitter @txtdarijasputih, mengutip dari @ppdsgram, juga membuka tabir kelam senioritas dunia pendidikan kedokteran. Seorang istri mantan residen di Pulau Jawa menceritakan pengalaman suaminya kala mengalami perundungan oleh senior dan konsulennya.

“Ia sering diminta oleh seniornya untuk memesan PSK, mengantarkan dan menemani senior ke spa plus-plus,” ungkapnya.

Semua itu, katanya, dibayar menggunakan uang pribadi suaminya sebagai junior. Permintaan tersebut terjadi berulang kali sampai akhirnya suaminya memutuskan tidak melanjutkan masa pendidikan dokter spesialis. 

“Jujur ini sempat membuat saya dan suami stress dan sempat ingin menemui psikolog,” tulisnya. Meski begitu, informasi ini masih belum terungkap kebenarannya.

Tim detikX menerima beberapa dokumen terkait dengan kurikulum tersembunyi PPDS dari berbagai universitas. Selain tertulis lengkap dan rinci tugas-tugas terkait akademik, instruksi ketat terkait cara berkomunikasi dengan senior dan konsulen juga terlampir dan wajib dijalankan. Konsulen adalah dokter senior yang juga bertugas menjadi dosen pembimbing koas dan residen.

“Telepon (berdering) satu kali tunggu lima menit, telepon (berdering) kedua kali (lakukan) SMS, selalu selamat pagi/siang/malam, mohon maaf mengganggu, mohon izin bertanya dokter untuk keperluan. Telepon dianggap masuk jika ada nada dering, langsung diangkat, jangan sampai ada dua kali nada dering, pastikan yang menutup telepon adalah senior, berapa pun lamanya,” bunyi salah satu aturan itu.

Adapun hal-hal di luar akademik yang juga termaktub antara lain menyiapkan lapangan futsal beserta peralatannya serta ragam camilan untuk senior dan konsulen.

Tak hanya itu, urusan makan juga mesti dipersiapkan dengan detail kebutuhan masing-masing konsulen, dan tidak boleh makan atau berhenti makan sebelum senior memulai atau selesai makan.

Menurut salah satu sumber instruksi untuk PPDS, diwajibkan pula membuat kartu kredit dengan limit Rp 10 juta per bulan di tingkat tertentu. Tidak tercantum penjelasan lebih untuk apa kegunaan kartu kredit tersebut.

Ketua Umum Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Muhammad Adib Khumaidi tak menampik bahwa perpeloncoan tersebut ada. Namun jauh lebih berkurang dibandingkan zaman dulu.

“Saya terus terang cukup dekat dengan adik-adik yang sekolah spesialis. Jadi mereka kadang ada pelaporan-pelaporan seperti itu. Saya kadang-kadang mencoba membantu untuk membuat sebuah penelusuran, bahkan sampai katakanlah dari peserta didik mau keluar,” kata Adib ketika ditemui reporter detikX di kantor IDI, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat (12/5/2023).

Ketika mendapatkan pelaporan seperti itu, Adib umumnya membantu untuk menyelesaikannya dengan cara mengkomunikasikannya kepada seniornya. Tetapi, sejauh ini, ia mengakui itu merupakan pelaporan dari orang-orang terdekatnya. Secara umum belum ada pelaporan resmi terkait perundungan yang masuk ke IDI.

“Bagi kami di organisasi, kita sangat open. Kalau ada pelaporan-pelaporan seperti itu, pasti akan kita tindak lanjuti,” ungkap dokter spesialis ortopedi dan traumatologi yang juga menjadi dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Jakarta tersebut.

Apabila terdapat masalah dengan senior, menurut Adib, hanya perlu dikomunikasikan terutama jika terkait tugas berlebih maupun perintah di luar akademik. “Selama dia bisa mengerjakan tugas itu, ya bukan bullying. Kalau memang tidak bisa, ya tinggal disampaikan saja. Ini kan sebenarnya masalah komunikasi,” kata Adib.

Menurut Sekretaris Jenderal Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) Erfen Gustiawan Suwangto, tidak mudah bagi peserta didik untuk mengungkap apa yang mereka alami. Sebab, mereka sedang dalam masa pendidikan. 

“Karena mereka (senior dan konsulen yang berada di organisasi) memiliki wewenang rekomendasi izin praktik. Jadi tidak ada yang berani,” ungkap dokter spesialis yang juga berlatar belakang advokat tersebut.

Menyoal izin praktik, menurut pengalaman Erfen Sugwanto, menjadi urusan rumit bagi calon dokter spesialis. Sebab, kolegium spesialis di bawah organisasi profesi mengatur distribusi dokter. Misalkan baru lulus spesialis, harus tanda tangan untuk tidak praktik di kota yang sama dengan kampus. Menurut Erfen, ini karena mungkin dosen-dosennya tidak mau bersaing dengan muridnya.

“Pas saya ke kota lain, ada 15 spesialis misalnya di kota itu, saya harus kulo nuwun (minta izin) satu-satu, minta tanda tangan ke senior-senior itu. Satu saja nggak tanda tangan, saya gak bisa kerja di situ,” sambungnya.

Ilustrasi dunia kedokteran. 
Foto : Shutterstock

Menurut Sekretaris Komite Perilaku Profesional Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) dr Nur Azid Mahardinata, persoalan perundungan pada pendidikan kedokteran memang masih kerap samar didefinisikan oleh masing-masing peserta didik.

Dalam rangka evaluasi internal di komite perilaku dengan melakukan penelitian kecil kepada beberapa peserta didik di UGM, hanya sedikit yang merasa suatu tindakan yang mereka alami adalah bentuk perundungan.

“Di sini itu agak berbeda-beda, misalnya menjadi panitia pernikahan anak senior. Beberapa residen, sebagian kecil menganggap itu sebagai perundungan, mayoritas mengakui karena bentuk pendidikan mereka itu nyantrik, hubungan baik itu harus terjalin. Yang seperti itu tidak dianggap sebagai perundungan, tetapi pengabdian,” ujar Azid.

Lebih lanjut Azid menjelaskan, ketika junior memiliki kesulitan, umumnya senior membantu mereka sehingga muncullah budaya timbal balik. “Sehingga, kalau bicara perundungan, konteksnya di dalam pendidikan, pelayanan, itu agak harus rinci, yang mana. Karena bisa jadi yang dianggap perundungan oleh satu pihak tidak dianggap perundungan pada pihak lain,” kata Azid.

Namun apa saja kategori perundungan dalam pendidikan kedokteran di UGM belum tertulis rinci kecuali kasus pelanggaran berat, seperti kekerasan seksual dan fisik. Sehingga pelaporan tetap menjadi kunci penyelesaian perundungan yang terjadi karena diselesaikan kasus per kasus.

“Ini yang melapor bisa dari korban, saksi, staf, kami menyebutnya 360 derajat, jadi bisa dari berbagai sisi,” pungkas Azid.


Reporter: Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi, Cut Maulida Rizky (magang)
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE