Ilustrasi : Edi Wahyono
Senin, 10 April 2023Wacana koalisi besar partai politik untuk Pilpres 2024 mencuat dan jadi perbincangan panas setelah Presiden Jokowi bertandang ke markas DPP PAN pekan lalu, Minggu (2/4/2023). Mengenakan baju koko putih, tampak Jokowi duduk manis di antara lima ketua partai pendukung pemerintah.
Berjajar di samping Jokowi, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketua Umum PPP Muhamad Mardiono.
Dalam kegiatan bertajuk silaturahmi Ramadan tersebut, dua koalisi partai politik Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) digadang-gadang hendak berkongsi menyambut Pilpres 2024. Jokowi merestui jika dua koalisi itu ingin bersatu.
“Cocok. Saya hanya bilang cocok,” komentar Jokowi seusai acara itu.
Ketum PAN Zulkifli Hasan saat menyebutkan soal rencana membangun Koalisi Kebangsaan dari dua poros koalisi, Jumat (7/4/2023).
Foto : Faiq Azmi/detikJatim
Pertemuan dua poros koalisi ini menjadi pertanyaan besar karena tak tampak perwakilan dari PDI Perjuangan maupun Partai NasDem. Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga mengatakan pihaknya telah mengundang Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk datang.
Jadi saya melihat, Jokowi di situ jelas sebagai leader, sebagai koordinator, sebagai ketua tim, sebagai inisiator dalam pembentukan koalisi besar itu."
“Tapi PDIP (Megawati) kemarin kan ada di Jepang, harus ketua partai, jadi tidak diwakilkan,” katanya kepada reporter detikX, Selasa (4/4/2023).
Padahal, menurut keterangan Ketua DPP PDI Perjuangan Utut Adianto, Megawati sudah kembali ke Tanah Air pada hari silaturahmi tersebut. “Kalau Minggu, Ibu (Megawati) sudah ada di Indonesia. Kalau (pertemuannya) Sabtu, mungkin Ibu belum hadir karena Ibu kan baru dari Jepang,” ucapnya ketika ditemui tim detikX di gedung DPR RI, Selasa (4/4/2023).
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin, pertemuan lima partai itu sengaja kukuh diselenggarakan di DPP PAN kendati Megawati tak bisa hadir. “Mestinya kan pertemuannya bisa diundur,” kata Ujang kepada reporter detikX pekan lalu.
Menurut Ujang, yang jadi latar belakang ide ihwal wacana koalisi besar lima partai tersebut tak lepas dari kekecewaan Jokowi kepada PDI Perjuangan. Partai berlambang banteng itu telah menolak kedatangan Timnas Israel, yang berujung kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Hal tersebut, kata Ujang, seperti menampar muka Jokowi.
“Jadi saya melihat, Jokowi di situ jelas sebagai leader, sebagai koordinator, sebagai ketua tim, sebagai inisiator dalam pembentukan koalisi besar itu,” ungkap dosen Universitas Al-Azhar Indonesia tersebut.
Menurut Ujang, Jokowi memang terlihat mengubah haluan politiknya, yang semula tertuju kepada Ganjar. Senada, seorang sumber yang merupakan pengurus DPP PAN menegaskan Jokowi ingin jadi ‘king maker’ dalam pusaran pilpres mendatang. Penggabungan KIB-KKIR adalah strategi barunya lantaran tak bisa lagi bertumpu pada Ganjar.
“Pas Piala Dunia, loyalitasnya (Ganjar) kepada Ibu (Megawati), bukan kepada Jokowi. Nggak bisa dia (Jokowi) jadi king maker kalau pakai Ganjar. Tapi kalau dia (Jokowi) pakai KIB dan KKIR, dia bisa jadi king maker,” katanya via sambungan telepon kepada reporter detikX, Rabu (5/4/2023).
Pertemuan terakhir kali Jokowi dengan Megawati terpantau pada 18 Maret lalu di Istana Negara. Sejak batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, belum digelar kembali pertemuan Jokowi dengan partai pengusungnya tersebut.
Sementara itu, alasan Partai NasDem juga tak terlihat dalam pertemuan di DPP PAN itu cukup menjadi sorotan. Diketahui sebelumnya, Partai NasDem telah membentuk Koalisi Perubahan bersama partai oposisi pemerintah Partai Demokrat dan PKS, serta diresmikan pada Maret lalu. Mereka mengusung Anies Baswedan sebagai capres.
Wakil Ketua Umum (Waketum) PAN Yandri Susanto menegaskan tak perlu diperjelas lagi alasan Partai NasDem tak hadir karena publik pasti sudah menduganya. "Alasannya (NasDem tak hadir), alasannya mungkin teman-teman sudah tahu kali ya," kelakar Yandri di DPP PAN, Minggu (2/4/2023).
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai, dalam enam bulan terakhir, Jokowi menunjukkan ketertarikan untuk terlibat dalam proses nominasi calon presiden. Musababnya, dia ingin memastikan ada penerus program-program masa pemerintahannya setelah 2024.
“Jadi, ya, memastikan keberlanjutan (program pemerintahan Jokowi) itu, terutama soal IKN,” kata Arya melalui sambungan telepon kepada reporter detikX, Kamis (6/4/2023).
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, jika koalisi besar KIB-KKIR ini terwujud, Jokowi seperti pemimpin koalisi yang memiliki anggota lima partai itu. Ibaratnya persis seperti kondisi Jokowi saat ini di dalam pemerintahan sekarang, Jokowi bukan ketua partai, tapi dia pemimpin koalisi pemerintahan.
Bukan hanya itu, koalisi besar juga akan menuai untung dari Jokowi. Partai-partai membutuhkan endorsement Jokowi. Sebagai presiden yang sedang menjabat, menurut Djayadi, Jokowi masih memegang akses kekuasaan. Jokowi bahkan masih memiliki relawan yang dipelihara terus. Di satu sisi, kata Djayadi, Jokowi punya keperluan untuk selepas 2024, di sisi lain ia punya modal yang menarik bagi partai-partai politik.
“Terbukti, dengan endorse-nya Prabowo oleh Jokowi beberapa bulan terakhir, elektabilitas Prabowo cenderung meningkat,” kata Djayadi saat dihubungi reporter detikX.
Presiden Jokowi menghadiri acara Silaturahmi Ramadan bersama para ketua umum partai politik di markas PAN, Minggu (2/4/2023).
Foto : Dok. Kemendag
Sedangkan secara keseluruhan, peran Jokowi bisa menjadi dealmaker dan deadlock breaker. “Bayangkan kalau misalnya lima partai itu bergabung, katakanlah capresnya Pak Prabowo, cawapresnya siapa? Dari Golkar, dari PAN, dari PPP, dari PKB, atau dari luar? Itu kan (mereka) akan kesulitan. Mereka itu tidak mengatakan menentukannya,” kata Djayadi.
Alhasil, menurut Djayadi, Jokowi bisa membantu menyelesaikan kesulitan itu. Dengan wibawanya di depan partai-partai itu, Jokowi bisa menjadi dealmaker dan membantu mendorong terbangunnya kesepakatan.
Jokowi bisa menjadi deadlock breaker atau pemecah kebuntuan ketika misalnya partai-partai itu mengalami jalan buntu terkait penentuan capres-cawapres. Maka kemungkinan besar mereka akan mendengarkan apa yang disarankan oleh Jokowi.
“Jadi ini ada simbiosis mutualisme antara Jokowi dan partai-partai di KIB dan KKIR, sehingga potensi untuk terbentuk koalisi besar itu menjadi lebih jelas. Meskipun tentu saja masih belum tahu juga kita ya, apakah akan tetap solid atau tidak,” pungkas Djayadi.
Reporter: Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban