SPOTLIGHT

Penyiksaan di Rumah Majikan dan Macetnya RUU PPRT

Setelah mandek 19 tahun dikandung DPR RI, RUU PPRT akhirnya kembali dibahas. Payung hukum ini diharapkan memutus mata rantai kekerasan terhadap PRT.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Senin, 27 Maret 2023

Nana—bukan nama sebenarnya—masih ingat jelas tindak kekerasan yang dialaminya 8 tahun silam. Saat usia perempuan itu 20 tahun, ia diterima bekerja sebagai pengasuh bayi di apartemen salah satu anggota DPR RI. Dia mendapat pekerjaan itu dari yayasan penyalur yang menaunginya.

Mulanya, kata Nana, semua berjalan lancar dan biasa-biasa saja. Selama dua bulan bekerja, pada Februari-Maret 2015, gaji Nana masih dibayar utuh. Tetapi kondisi itu berubah 180 derajat pada bulan ketiga Nana bekerja.

"Setelah bulan kedua (bekerja) sampai 30 September (2015), saya nggak terima gaji lagi,” tutur Nana mengenang cerita traumatis yang dialaminya kepada reporter detikX pekan lalu.

Sejak itu, hari-hari Nana di apartemen anggota Dewan ini seperti di neraka. Bukan hanya gaji yang tidak dibayar, Nana juga kerap mendapat kekerasan verbal dari majikannya—istilah lama yang sekarang dikenal sebagai pemberi kerja. Nana bilang kerap dicerca dengan sebutan nama-nama binatang kalau dianggap gagal menghentikan tangis anak majikannya.

Tidak jarang kekerasan verbal itu berujung pada kekerasan fisik. Perempuan asal Brebes, Jawa Tengah, ini mengaku pernah dicambuk dengan kabel, disiram air panas, hingga ditimpuk dengan benda-benda keras. Saat marah, majikannya tidak akan segan melempar barang apa pun yang ada di dekatnya ke arah Nana.

“Pernah mata saya itu dia buatnya bengkak sampai merah semua,” kenang Nana. “Waktu itu saya sampai nggak bisa melihat, sampai saya meraba-raba.”

Nana bukannya tak pernah mencoba kabur. Dia sudah berusaha berkali-kali. Segala macam cara juga telah dicoba, tetapi gagal. Sistem keamanan apartemen yang ketat dan menggunakan akses kartu untuk keluar-masuk menghalangi upaya pelarian Nana.

Pekerja rumah tangga menggelar aksi unjuk rasa mendesak pengesahan RUU PPRT di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu (25/01/2023). 
Foto : Agung Pambudhy/detikcom

Di tempat Nana bekerja dulu, hanya para majikanlah yang memiliki akses kartu keluar-masuk apartemen. Pekerja rumah tangga (PRT), seperti Nana, tidak dibiarkan memiliki akses kartu keluar-masuk tersebut. Nana seperti terkurung.

Pernah suatu pagi Nana berupaya keluar dari apartemen majikannya. Saat itu dia meminta bantuan kepada seorang sekuriti apartemen untuk membantunya keluar. Bukannya membantu, penjaga apartemen ini malah melaporkan tindakan itu kepada majikan Nana.

Nana pun dipaksa kembali ke unit apartemen majikannya. Di situ dia kembali dihantam bertubi-tubi karena telah berupaya kabur.

Kekerasan yang sama terus didapatkan Nana selama bekerja pada anggota DPR ini. Puncaknya terjadi pada September 2015. Nana masih ingat betul bagaimana bogem mentah majikannya mendarat di wajahnya berkali-kali. Nana dihajar sampai bonyok lantaran dituding hendak mengganggu anak si majikan yang tengah tidur.

“Padahal anaknya sudah bangun. Langsung dia marah-marah, narik saya keluar,” beber Nana mengingat kembali getir kekerasan yang dialaminya. "Saya dipukul, ditendang, mata saya tutupin, terus sampai jari saya itu lepas kukunya."

Sampai sekarang, tempurung belakang kepala Nana masih terasa nyeri, telinganya cacat, menjelang tidur matanya sukar terpejam. Trauma juga menghantui hidupnya. Sedangkan anggota Dewan tersebut pada 2016 dipecat dari DPR RI dan partainya. Dia divonis hukuman kurungan penjara 1,5 tahun karena terbukti melakukan kekerasan verbal dan fisik terhadap Nana.

Urgensi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Nana hanyalah satu dari ribuan PRT yang menjadi korban kekerasan. Jaringan Advokasi Nasional PRT (Jala PRT) mencatat, dalam kurun waktu 2017-2022, kasus kekerasan terhadap PRT mencapai angka 2.637 kasus. Mulai kekerasan fisik, kekerasan psikis, hingga kekerasan ekonomi.

Koordinator Jala PRT, Lita Anggraini, mengungkapkan kekerasan yang diderita oleh PRT kerap terjadi secara simultan. Selain mendapat kekerasan fisik misalnya, para PRT secara bersamaan mendapat kekerasan psikis dan ekonomi. Istilahnya, kata Lita, mereka para bibi kerap menjadi korban multi-kekerasan.

Aksi para pekerja rumah tangga di Kementerian Ketenagakerjaan, saat mendesak UU PRT masuk dalam prioritas prolegnas 2018-2019 dan segera disahkan sebagai UU, Kamis (15/2/2018). 
Foto : Lamhot Aritonang/detikcom

Musababnya, kata Lita, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap PRT sebagai pekerjaan rendahan. Seolah-olah PRT hanyalah budak yang bisa diperlakukan seenaknya. PRT dianggap sebagai orang-orang kelas dua.

Bahkan, dalam banyak kasus, sambung Lita, PRT dipaksa selalu mengangguk atas apa yang diperintahkan majikannya. Mereka tidak boleh berkata lelah atau mengantuk. Sebab, itu akan dianggap sebagai bentuk penolakan. Dalam konteks masyarakat yang masih menganggap PRT sebagai babu, penolakan PRT itu pun cenderung bakal memunculkan sikap intimidatif dari majikannya, yang biasanya berujung pada tindak kekerasan.

“Dan (Indonesia) selama ini belum mengatur dan belum memberikan perlindungan berbasis hukum (kepada PRT),” tutur Lita saat berbincang dengan reporter detikX di halaman gedung MPR/DPR pekan lalu.

Fakta tersebut, beber Lita, menunjukkan betapa rentannya posisi PRT, yang selama ini masih terus dianggap sebagai pekerja informal. Pekerjaan sebagai PRT dianggap tidak setara dengan pekerjaan formal lainnya, seperti pegawai swasta atau aparatur sipil negara, sehingga perlindungan hak terhadap PRT kerap diabaikan.

Abainya perlindungan hak ini, kata Lita, menyebabkan PRT rentan terhadap eksploitasi. Mereka juga tidak jarang menjadi korban penipuan yang dilakukan oleh agen atau penyalur PRT. Sebagian dari mereka bahkan menjadi korban perdagangan manusia.

Karena itu, dibutuhkan suatu rancangan undang-undang (RUU) baru yang bisa melindungi hak PRT. Apalagi, berdasarkan data International Labour Organization (ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015, jumlah PRT di Indonesia juga cukup besar, yakni mencapai 4,2 juta pekerja. Mereka semua butuh dilindungi haknya.

“Adanya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) bisa menjadi salah satu pencegahan eksploitasi, penipuan, trafficking yang dilakukan oleh penyalur, calo, agen ke PRT, dan si pemberi kerja,” beber Lita.

“Jadi RUU PPRT ini berusaha menggeser paradigma tersebut. Menggeser paradigma bahwa pekerja rumah tangga itu adalah urusan privat. Hal-hal terkait kesejahteraan mereka itu bukan sesuatu yang didiskusikan secara publik,” terang Nabiyla saat dihubungi reporter detikX pekan lalu. “Paradigma itu yang berusaha untuk didobrak.”

UU PPRT juga bakal mengatur proses rekrutmen dari hulu hingga hilir. Kewajiban penyalur, pekerja, hingga pemberi kerja diatur secara rinci sehingga diharapkan dapat meminimalkan tindak kekerasan yang kerap diterima PRT.

Di luar itu, hak-hak lain, seperti upah, jam kerja, libur, cuti, pelatihan, hingga jaminan sosial ketenagakerjaan juga turut diatur dalam RUU ini. Dengan demikian, PRT, yang selama ini dianggap sebagai pekerja informal, juga diharapkan bisa merasakan hak-hak selayaknya pekerja formal.

Penantian Panjang

Penantian panjang akan hadirnya aturan formal yang melindungi hak-hak PRT ini pun kini menemui sedikit titik terang. Beberapa langkah lagi, RUU PPRT bakal disahkan sebagai UU.

Koordinator Koalisi Sipil RUU PPRT Eva Kusuma Sundari menceritakan RUU PPRT mulai dirancang pada 2004. Namun pembahasan RUU ini sempat terhenti lantaran adanya perbedaan pandangan dari beberapa fraksi di DPR RI. Baru pada 2020, RUU ini kembali dibahas dengan dibentuknya Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT.

Pada 2020 itu pula, RUU PPRT itu masuk sebagai salah satu RUU prioritas dan ditetapkan sebagai program legislasi nasional oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. RUU ini kemudian berulang kali dibahas oleh Badan Musyawarah DPR.

Sayangnya, tiga tahun berlalu, Ketua DPR RI Puan Maharani masih belum juga mengagendakan rapat paripurna RUU tersebut. DPR justru memprioritaskan RUU lain untuk disahkan. “Kita disalip sepuluh undang-undang baru yang kita hitung sejak 2020,” ungkap Eva ketika dihubungi reporter detikX pada Sabtu, 18 Maret 2023.

Mandeknya pembahasan RUU ini direspons pemerintah dengan membentuk Gugus Tugas Percepatan RUU PPRT pada 2022. Tetapi, lagi-lagi, RUU PPRT ini tertahan di meja pimpinan DPR RI hingga awal 2023.

Melihat lambatnya proses pembahasan RUU PPRT itu, Presiden Joko Widodo pun mengambil langkah taktis. Sekitar pertengahan Januari lalu, Jokowi mendesak DPR dan pemerintah mempercepat pembahasan beleid tersebut. Tetapi desakan dari Jokowi ini pun seakan-akan tidak digubris oleh pimpinan DPR RI.

Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran berunjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Selasa (13/1/2015).
Foto : Lamhot Aritonang/detikcom

Politikus Partai NasDem Willy Aditya, yang juga merupakan Ketua Panja RUU PPRT, membawa pernyataan Jokowi ini dalam lobi-lobi informal di DPR. Tujuannya tidak lain untuk mempercepat proses pembahasan RUU PPRT ini ke rapat paripurna. Partai NasDem bahkan juga mengambil langkah akan melaporkan pimpinan DPR ke Mahkamah Kehormatan Dewan lantaran dianggap terlalu lamban memproses pengesahan RUU PPRT.

“Pimpinan yang tidak memparipurnakannya. Saya sudah berulang kali bersurat, bahkan di Bamus sering ribut,” jelas Willy kepada reporter detikX pekan lalu.

Waktu itu Puan berdalih bahwa pembahasan RUU PPRT belum tepat jika dilaksanakan dalam waktu dekat. Sebab, kata Puan, masih ada beberapa pasal yang dianggap butuh pendalaman lebih jauh. Pembahasan terkait penundaan pembahasan RUU PPRT ini pun sudah dibicarakan Puan dalam rapat pimpinan DPR RI pada 21 Agustus 2021.

“Keputusan rapim saat itu menyetujui untuk melihat situasi dan kondisi terlebih dulu,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya kepada media pada Kamis, 23 Maret lalu.

Kendati demikian, desakan dari para PRT dan sejumlah instansi terkait membuat Puan luluh. Pada Selasa, 21 Maret lalu, RUU PPRT pun dibahas dalam rapat paripurna DPR RI. Hasilnya, semua fraksi setuju agar RUU PPRT disahkan sebagai RUU inisiatif DPR RI.

Sekarang, proses RUU PPRT menjadi UU hanya tinggal satu tahap lagi. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pengesahan RUU PPRT menjadi UU tinggal menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) dan surat presiden (surpres). Surpres tersebut bakal menunjuk perwakilan pemerintah yang ditugaskan untuk membahas RUU PPRT ini bersama DPR.

“Nah, kalau sudah surpres, saya kira pembahasannya tidak akan memakan waktu yang lama,” pungkas Eddy, begitu sapaan akrabnya, saat dijumpai reporter detikX di rumah dinasnya di kawasan Jakarta Selatan pada Kamis, 23 Maret lalu.


Reporter: Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE