SPOTLIGHT

Pembunuhan Yosua dan Rancunya Tugas Ajudan

Kasus pembunuhan ajudan Ferdy Sambo mengungkap permasalahan dalam pengangkatan ajudan. Aturan penggunaan ajudan pun tidak jelas.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Senin, 5 September 2022

Ada perasaan bangga pada diri T ketika lolos seleksi aide-de-camp (ADC) dan menjadi ajudan seorang jenderal polisi belasan tahun lalu. Bagaimana tidak, sebagai seorang polisi rendahan, T bisa sangat dekat dengan perwira tinggi Polri, sesuatu yang tidak bisa dirasakan teman-teman lain sepangkatnya.

Bagi T, itu adalah peluang agar namanya bisa dikenal banyak orang, khususnya para pejabat Polri di Jakarta. Sebab, dengan menjadi ajudan seorang komisaris jenderal, dia banyak membantu tugas-tugas kedinasan bosnya, termasuk berkomunikasi dengan banyak orang.

Salah satu komunikasi yang paling berkesan adalah T sering ‘memerintah’ seorang komisaris besar polisi yang jadi bawahan bosnya. “Saya ke ruangannya dan bilang bahwa dia dipanggil oleh Bapak,” kata T cengengesan. “Dia kemudian langsung lari ke ruangan Bapak.”

Beberapa tahun kemudian, setelah bosnya pensiun dan T kembali ke kesatuannya di Jawa Timur dengan pangkat perwira pertama, si kombes menjadi atasan T dengan pangkat jenderal. Tentu si jenderal masih ingat pada T dan kelakuannya ketika di Jakarta.

Pada suatu pertemuan yang dihadiri banyak polisi, jenderal itu berpidato dan berseloroh tentang T. “Kau ini dulu sering nyuruh-nyuruh saya waktu di Jakarta,” kata si jenderal sambil menunjuk-nunjuk T.

Selain dekat dengan banyak pejabat Polri, T beruntung karena bosnya adalah orang baik. Bosnya profesional, tidak pernah mencampuradukkan urusan dinas dengan urusan pribadi.

Keberuntungan itu tidak didapat semua ajudan jenderal polisi. T mengatakan ada banyak ADC yang diperlakukan semena-mena: disuruh menyapu, mencuci pakaian, menyetrika, dan lain-lain.“Kalau berbuat salah, bahkan ada yang sampai ditempeleng,” katanya “Ini bukan hanya yang jadi ADC pati Polri. Kan, ada juga polisi jadi ADC pejabat negara.”

Cerita T dibenarkan oleh F, eks ajudan jenderal polisi lainnya, yang kini sudah menjadi perwira menengah. F mengatakan banyak ADC yang diperintah bosnya bukan untuk tugas-tugas kedinasan, tetapi untuk kepentingan keluarga.

Ferdy Sambo dan para ajudannya ketika menjabat Kadiv Propam Mabes Polri 
Foto : Istimewa

Misalnya menyetir mobil dan mengamankan rumah. F mengatakan bosnya bisa membedakan apa tugas polisi yang menjadi ajudan, dan apa tugas yang seharusnya dikerjakan sipil biasa.

Karena itulah bosnya membayar jasa sopir dan satpam yang bukan dari Polri. “Tugas ajudan itu sebenarnya, ya, melekat dengan urusan dinas saja. Kalau urusan pribadi, ya, kita tidak ikut campur,” kata F.

Menurut F, memang tidak ada aturan rigid mengenai tugas-tugas ajudan. Karena itu, pengalaman setiap ajudan berbeda-beda. “Semua tergantung bosnya,” kata dia.

Tugas ajudan pejabat Polri menjadi sorotan setelah Inspektur Jenderal Ferdy Sambo diduga membunuh ajudannya, Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua, di rumah dinasnya pada Jumat, 8 Juli 2022. Proses hukum kasus tersebut memperoleh fakta-fakta mengenai hubungan keluarga Sambo dengan para ajudannya.

Sambo, yang menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, memiliki delapan ajudan. Para ajudannya mengerjakan tugas-tugas untuk kepentingan keluarga, di antaranya menyetir mobil, menyetrika baju, dan mengantar makanan untuk anaknya.

Aturan mengenai penggunaan polisi sebagai ajudan tercantum dalam Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Kepolisian di Luar Struktur Organisasi. Di aturan itu, ajudan disebut merupakan satu dari tujuh jabatan fungsional. Para pejabat negara berhak memiliki dua ajudan. Namun tidak dijelaskan mengenai tugas pokok dan fungsi ajudan.

Para pejabat yang bisa menggunakan ajudan polisi adalah pejabat pemerintah, pejabat negara asing yang berkedudukan di Indonesia, mantan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, suami atau istri Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, kepala badan/lembaga/komisi, calon Presiden dan calon Wakil Presiden Republik Indonesia, atau pejabat lainnya atas persetujuan Kapolri.

Pada 2014, Wakapolri Komjen Badrodin Haiti pernah mengeluarkan perintah tegas yang soal penugasan anggota kepolisian sebagai ajudan. Melalui surat bernomor ST/429/IV/2014, Polri menegaskan tiga hal penting. Pertama, tidak boleh ada anggota Polri yang menjadi ajudan kapolres dan istrinya, anggota DPRD, dan sekretaris pribadi direktur, wakil direktur, dan kepala biro.

Kedua, anggota Polri yang bertugas pada bagian administrasi digantikan dengan PNS. Ketiga, anggota Polri yang bekerja tidak sesuai tugas pokok dan fungsinya harus dikembalikan sesuai tupoksinya.

Kala itu, Badrodin menegaskan, Polri ingin memaksimalkan pelayanan kepada publik. “Mabes Polri memprioritaskan pelayanan kepada masyarakat, sehingga personel Polri 80 persennya ada di polres dan polsek. Nah, yang di polres ini jangan dijadikan ajudan. Optimalkan saja untuk pelayanan,” kata Badrodin.

Menurut Badrodin, aturan itu sudah lama berlaku. Bila kapolres hendak memakai jasa sopir atau sekretaris pribadi, cukup diambil dari PNS saja. “Kalau mau pakai sopir atau sekretaris pribadi, cukup pakai PNS saja. Biar anggota yang sudah dikerahkan ke polres-polsek ini diberdayakan untuk operasional,” kata dia.

Pengamat kepolisian Bambang Rukminto menjelaskan memang ada ketimpangan antara jumlah polisi dan masyarakat di Indonesia. Sekitar 200 juta orang sangat tidak sebanding dengan polisi yang hanya 400 ribu.

Itu sebabnya, penugasan anggota sebagai ajudan perlu diatur ulang agar kerja polisi sebagai penjaga keamanan sektor publik menjadi lebih efektif. Bukan justru malah ditugaskan untuk pengawalan dan pengamanan individu, apalagi pejabat Polri sendiri.

“Bayangkan kalau seorang kapolres punya dua ajudan, misalnya, dikali dengan 500 polres, sudah 1.000 polisi yang digunakan untuk kepentingan pribadi,” kata dia. Belum lagi, jika ditambah dengan jumlah personel yang ditugaskan mengamankan properti privat, seperti perusahaan.

Komjen Pol (Purnawirawan) Ito Sumardi
Foto: Elza Astari/detikcom 

Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Ito Sumardi pun heran dengan Sambo yang bisa memiliki delapan ajudan. Menurutnya, ini menunjukkan ada masalah dalam manajemen sumber daya manusia Polri. Pada masa dirinya masih aktif sebagai polisi, ajudan perwira tinggi hanya berjumlah dua orang. “Kalau sampai delapan (seperti Sambo), Kapolri saja kalah banyak,” kata Ito pekan lalu.

Apalagi untuk orang seperti Sambo. Ito memandang, Sambo masih terlalu muda untuk menjadi jenderal bintang dua dan menjabat Kadiv Propam. “Sambo itu masih terlalu muda. Usia 46 sudah mendapat bintang dua. Saya usia 46 saja masih kombes,” katanya.

Sambo saat ini berusia 49 tahun. Dia menjabat Kadiv Propam dengan bintang dua di pundaknya pada 2020. Dia hanya merasakan satu tahun sebagai jenderal bintang satu pada tahun sebelumnya, saat dia menjadi Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. “Sambo itu, kan, dari direktur langsung loncat menjadi polisinya polisi, Kadiv Propam,” kata Ito.

Menurut Ito, Polri terlalu cepat mempromosikan Sambo. Padahal ada banyak orang yang lebih senior dan lebih berprestasi daripada Sambo. “Menurut saya, seorang pimpinan itu memerlukan maturity, kedewasaan. Kalau terlalu cepat diorbitkan dan memiliki kekuasaan yang sangat besar, dia akan abuse of power.”


Reporter: May Rahmadi, Thovan Ahmad Sugandi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE