Polri genap berusia 74 tahun. Ada pujian dan ada pula kritik tajam mewarnai perayaan HUT Bhayangkara itu.
Pujian salah satunya disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya saat memimpin Upacara Hari Bhayangkara yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (1/7/2020), dan disiarkan secara live melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden. Upacara digelar secara sederhana dengan mematuhi protokol kesehatan.
"Atas nama rakyat, bangsa, dan negara saya mengucapkan selamat Hari Bhayangkara ke-74 kepada Keluarga Besar Kepolisian Republik Indonesia di mana pun saudara-saudara bertugas. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas pengabdian, pengorbanan, dan sumbangsih saudara-saudara sekalian dalam rangka menjaga keamanan, menjaga ketertiban dalam menegakkan hukum serta dalam memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat," kata Jokowi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jokowi dalam pidatonya menyinggung soal penanganan virus Corona (COVID-19). Menurut Jokowi, pandemi COVID-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia merupakan cobaan yang berat
"Kita harus terus berikhtiar dan bekerja keras untuk mengatasi permasalahan kesehatan maupun permasalahan ekonomi. Dalam situasi yang sulit sekarang ini, kehadiran dan keterlibatan seluruh jajaran Polri sangat, sangat dibutuhkan," ujar Jokowi.
Selain itu, Jokowi meminta agar Polri mewaspadai ancaman stabilitas keamanan dalam negeri juga perlu terus diwaspadai, terutama menjelang pelaksanaan pilkada serentak di akhir tahun 2020 di bulan Desember.
"Selain tugas yang sama pernah dilakukan di pilkada serentak 2017 dan 2019, kali ini juga harus menjaga protokol kesehatan. Saya tahu tugas ini tidaklah mudah namun saya yakin Polri, TNI, serta penyelenggara dan pengawas pemilu akan mampu menjalan tugas ini dengan baik," kata Jokowi.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merilis catatan untuk Polri di hari ulang tahun Bhayangkara ke-74. Ada 6 permasalahan utama, menurut YLBHI, harus diperhatikan dan dibenahi Polri agar institusi ini baik ke depannya.
"Dalam Hari Bhayangkara tahun 2020 ini, YLBHI menyampaikan catatannya dalam pers rilis ini. Selama menjalankan bantuan hukum struktural, YLBHI bersama 16 kantor LBH di 16 provinsi kerap menerima pengaduan dari pencari keadilan dan mendampingi masyarakat miskin, minoritas, dan rentan. Selama tahun 2019-2020, YLBHI mencatat beberapa permasalahan utama berkaitan dengan Kepolisian RI," ujar YLBHI dalam rilis yang berjudul 'Temuan YLBHI, Kepolisian RI: Menegakkan Hukum dengan Melanggar Hukum dan HAM, Serta Mengancam Demokrasi', yang diterima, Rabu (1/7/2020).
YLBHI mengatakan ada 6 catatan permasalahan Polri dalam menegakkan hukum di Indonesia. Salah satunya itu saat menangani pelaporan dugaan tindak pidana penodaan agama. Menurut YLBHI, dalam memproses kasus ini sering kali muncul ketidakjelasan perkara.
"Dari 38 kasus yang terkait penodaan agama yang dipantau oleh YLBHI sepanjang Januari hingga Mei 2020, 16 kasus telah diselidiki dan 10 kasus telah disidik serta ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik kepolisian di seluruh Indonesia. Namun masuknya perkara ini ke ranah penyelidikan dan penyidikan sangat dipengaruhi oleh desakan massa atau publik, sehingga alasan gangguan ketertiban umum masih kerap menjadi alasan penangkapan dan penahanan. Bahkan penangkapan dan penahanan tersebut tidak jarang berbuntut pada tidak jelasnya perkara tersebut sehingga yang tampak, polisi hanya menjadi alat pelegitimasi desakan massa atau publik semata," katanya.
Kedua, yaitu masalah keterlibatan Polri dalam konflik lahan dan perampasan tanah. YLBHI menyebut Polri sering kali menjadi salah satu aktor dominan dalam kasus ini untuk melindungi salah satu yang memiliki kepentingan terkait lahan.
"YLBHI menemukan Polisi adalah salah satu aktor dominan yang terlibat dalam perampasan lahan baik untuk kepentingan modal maupun pemerintah atas nama pembangunan/kepentingan umum. YLBHI menemukan dalam konflik lahan di masa pandemi COVID-19 menunjukkan polisi terlibat dalam lebih dari 75% konflik lahan," katanya.
Catatan berikutnya, Polri dinilai menggunakan pasal makar secara sembarangan dan dianggap mengembalikan dwifungsi polisi. YLBHI pun langsung menyinggung Ketua KPK Firli Bahuri yang masih aktif di Polri.
"Misalnya Ketua KPK RI hingga 2023 nanti, Komjen Firli Bahuri yang juga masih berstatus anggota POLRI aktif dan beralasan di KPK adalah penugasan. Selain Firli, tercatat ada 13 polisi lainnya dengan posisi paling rendah Inspektur Jenderal (Irjen) dan paling tinggi Jenderal yang mengisi posisi strategis lembaga dan kementerian seperti Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Menteri Dalam Negeri, Duta Besar, hingga menjadi Direktorat Jenderal maupun Inspektorat Jenderal di beberapa Kementerian," ucapnya.
Kemudian YLBHI juga menyoroti tingginya kasus penyiksaan akhir-akhir ini. Tak hanya itu, dia juga menyinggung kasus penyerangan Novel Baswedan. YLBHI juga menyebut dalam penyelidikan dan penyidikan Polri penuh pelanggaran.
Oleh karena itu, YLBHI meminta Presiden Jokowi memberi perhatian serius dengan mengawasi kinerja Polri. Dia juga meminta Polri patuh pada prinsip HAM dalam menjalankan tugasnya.
Berikut ini pernyataan lengkap YLBHI:
"Temuan YLBHI, Kepolisian RI : Menegakkan Hukum dengan Melanggar Hukum dan HAM, Serta Mengancam Demokrasi"
Setiap tanggal 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara atau hari Kepolisian Republik Indonesia. Untuk itu, penting mengingat salah satu mandat Reformasi yaitu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
Bagian menimbang c dan d TAP MPR tersebut menyatakan "bahwa sebagai akibat dari penggabungan tersebut terjadi kerancuan dan tumpang tindih antara peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia sebagai kekuatan pertahanan negara dengan peran dan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat". Dan "Bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat".
Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi pembentukan UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI yang menegaskan bahwa fungsi kepolisian meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dalam Hari Bhayangkara tahun 2020 ini, YLBHI menyampaikan catatannya dalam pers rilis ini. Selama menjalankan bantuan hukum struktural, YLBHI bersama 16 kantor LBH di 16 provinsi kerap menerima pengaduan dari pencari keadilan dan mendampingi masyarakat miskin, minoritas, dan rentan. Selama tahun 2019-2020, YLBHI mencatat beberapa permasalahan utama berkaitan dengan Kepolisian RI sebagai berikut:
1. Penanganan Pelaporan Dugaan Tindak Pidana Penodaan Agama
Dari 38 kasus yang terkait penodaan agama yang dipantau oleh YLBHI sepanjang Januari hingga Mei 2020, 16 kasus telah diselidiki dan 10 kasus telah disidik serta ditetapkan sebagai Tersangka oleh Penyidik Kepolisian di seluruh Indonesia. Namun masuknya perkara ini ke ranah penyelidikan dan penyidikan sangat dipengaruhi oleh desakan massa atau publik sehingga alasan gangguan ketertiban umum masih kerap menjadi alasan penangkapan dan penahanan. Bahkan penangkapan dan penahanan tersebut tidak jarang berbuntut pada tidak jelasnya perkara tersebut sehingga yang tampak, polisi hanya menjadi alat pelegitimasi desakan massa atau publik semata. Bahkan pasal yang digunakan untuk memidanakan pelaku semakin meluas, terbukti dengan diberlakukannya pasal-pasal di dalam UU ITE, dimana sebelumnya penyidik hanya menggunakan Pasal 156a KUHP.
2. Keterlibatan dalam konflik lahan dan perampasan tanah
Dalam temuan laporan perampasan tanah selama pandemi COVID-19, YLBHI menemukan Polisi adalah salah satu aktor dominan yang terlibat dalam perampasan lahan baik untuk kepentingan modal maupun pemerintah atas nama pembangunan/kepentingan umum. YLBHI menemukan dalam konflik lahan di masa pandemi COVID-19 menunjukkan polisi terlibat dalam lebih dari 75% konflik lahan.
Secara garis besar, keterlibatan itu dilakukan dalam tahapan; pertama, menyediakan personil untuk mengamankan aksi-aksi perampasan lahan di lapangan. Setelahnya ketika terjadi perlawanan dari warga, terjadi proses kriminalisasi rakyat terutama pemilik lahan atau masyarakat sekitar yang memiliki kepentingan langsung terhadap lahan atau potensial korban terdampak termasuk kriminalisasi terhadap pendukung-pendukung rakyat terutama aktivis pendamping, jurnalis yang memberitakan kasus, mahasiswa, maupun dosen yang berkomentar kritis. Ketiga, memfasilitasi impunitas terhadap pelaku perampasan. Polanya, dengan menolak dan/atau mendiamkan laporan korban (undue delay), mempermainkan pasal, hingga jika terpaksa harus ada tersangka, maka perkara akan dibatasi pada pelaku lapangan tidak menyentuh otak pelakunya. Dalam laporan ini YLBHI tidak menemukan polisi yang melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam kasus perampasan lahan pernah diadili menurut hukum. Semakin kuat modal atau afiliasi pihak yang di-backing dengan kekuasaan, maka semakin kuat pula aparat mem-backing-nya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah sumber daya yang diturunkan, hingga cara dan alat yang digunakan.
3. Menjadi Bagian dalam Tanda-tanda Otoritarianisme Pemerintah
a. Membatasi Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Melalui PP No. 60 Tahun 2017 yang Bertentangan dengan UU No. 9 Tahun 1998
Pasal 9 UU No. 9 Tahun 1998 mengatur penyampaian pendapat di muka umum pada dasarnya adalah hak karenanya cukup memberitahu kepada kepolisian, bukannya meminta izin. Penyampaian pendapat di muka umum ini dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi; pawai; rapat umum; dan/atau mimbar bebas. Namun, PP No. 60 Tahun 2017 mengatur untuk keramaian umum memerlukan izin dan dapat ditolak. Bentuk kegiatan keramaian umum meliputi: keramaian; tontonan untuk umum; dan arak-arakan di jalan umum. Kepolisian menggunakan PP ini untuk meminta izin penyampaian pendapat di muka umum yang artinya bertentangan dengan UU No. 9 Tahun 1998.
b. Penggunaan Pasal Makar oleh Kepolisian Secara Sembarangan
Pasal 104 KUHP yang diterjemahkan sebagai "makar" dalam bahasa Belanda tertulis "aanslag". Aanslag berarti serangan. Artinya apabila tidak ada serangan atau percobaan serangan maka belum dapat dikatakan makar. Tercatat Kepolisian mengenakan pasal ini untuk aksi demonstrasi terkait Papua, dan suara kritis lainnya.
c. Mengembalikan Dwi Fungsi Aparat Keamanan: Polri
TAP MPR No. VI/2000 juga menyasar Polri dalam mengatakan dwi fungsi mengganggu demokrasi. Setidaknya belasan anggota Polri menempati berbagai posisi di Kementerian/Lembaga Negara.
Misalnya Ketua KPK RI hingga 2023 nanti, Komjen Firli Bahuri yang juga masih berstatus Anggota POLRI aktif dan beralasan di KPK adalah penugasan. Selain Firli, tercatat ada 13 polisi lainnya dengan posisi paling rendah Inspektur Jenderal (Irjen) dan paling tinggi Jenderal yang mengisi posisi strategis lembaga dan kementerian seperti Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB), Menteri Dalam Negeri, Duta Besar hingga menjadi Direktorat Jenderal maupun Inspektorat Jenderal di beberapa Kementerian.
d. Melawan Putusan MK dengan Mengkriminalkan "Penghina" Presiden
Surat telegram Kapolri bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 tertanggal 4 April 2020 salah satunya memerintahkan adanya tindakan yang memberi efek jera kepada penghinaan terhadap penguasa/presiden dan pejabat pemerintah. Padahal Putusan MK putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah membatalkan Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP. Pertimbangan putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 juga mengubah Pasal 207 KUHP menjadi delik aduan sehingga korban penghinaan harus melakukan pengaduan terlebih dahulu. Artinya tanpa laporan Presiden tidak boleh ada kasus penghinaan Presiden yang dijalankan kepolisian.
e. Pemberangusan Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Setidaknya sejak Februari 2020 teridentifikasi beberapa pola untuk memberangus suara kritis, baik kritik kepada RUU Omnibus Law Cipta Kerja, penanganan Pandemi Covid-19 dan lainnya. Hal ini menimpa setidaknya menimpa kelompok buruh, mahasiswa, petani, akademisi, aktivis dan lainnya. Setidaknya terdapat empat pola yaitu: 1) intimidasi, 2) peretasan, 3) kriminalisasi dan 4) pengawasan. Kriminalisasi dan pengawasan dilakukan oleh Pemerintah sedangkan intimidasi dan peretasan setidaknya terjadi pembiaran karena tidak pernah ada kasus yang naik ke penuntutan. Bandingkan dengan kasus penghinaan atau peretasan lain yang anggota Polri menjadi pelapornya.
Sepanjang tahun 2019 YLBHI memperoleh laporan pemantauan LBH-LBH tentang pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di muka umum yang terjadi di Indonesia. YLBHI mencatat setidaknya terdapat 78 kasus pelanggaran dengan korban mencapai 6.128 orang, 51 orang diantaranya meninggal dunia, dan 324 orang dari korban merupakan anak-anak. Dari 78 kasus tersebut 67 kasus tercatat dilakukan oleh aparat kepolisian, baik dari level kepolisian sektor (Polsek), resort (Polres), level daerah (Polda), hingga Mabes Polri menjadi aktor pelanggar. Satuan dari internal kepolisian yang melakukan pelanggaran juga tampak beragam, dari satuan Intelkam, Sabhara, Brimob, bahkan Satlantas. Pelanggaran terjadi dalam berbagai jenis, mulai dari penghalangan dan/atau pembatasan aksi, tindakan berkaitan dengan alat/data pribadi, pembubaran tidak sah, tindakan kekerasan, perburuan dan penculikan, kriminalisasi, hingga penghalangan pendampingan hukum.
YLBHI mencatat terjadi pergeseran cara pandang pemerintah khususnya aparat penegak hukum khususnya kepolisian tentang demonstrasi; dari sebuah hak yang dilindungi Konstitusi dan UU menjadi tindakan yang perlu diwaspadai bahkan menjadi sebuah kejahatan. Hal ini ditandai dengan munculnya kebijakan yang membatasi hak menyampaikan pendapat di muka umum. Penghalang-halangan, perburuan hingga penangkapan tidak beralasan setelah aksi menunjukkan aparat menganggap sifat dasar demonstrasi adalah melanggar hukum.
Dalam hal ini ditemukan juga aparat kepolisian justru menjadi akselerator pembungkaman dengan model laporan oleh internal kepolisian, misal dalam upaya kriminalisasi terhadap Dandhy Dwi Laksono dan Ravio Patra. Sementara disisi lain terjadi tebang pilih kasus, saat banyak peretasan terhadap warga negara yang kritis dan menjadi permasalahan publik, pelaporan tersebut tidak dilakukan.