KPK bicara soal risiko-risiko yang terjadi jika pilkada tetap dilakukan pada masa pandemi virus Corona (COVID-19). KPK menyebut program penanganan COVID-19 berpotensi dijadikan alat untuk politik uang.
"Risiko yang dihadapi, politik uang akan bersembunyi di program COVID-19," kata Direktur PJKAKI KPK Sujanarko dalam diskusi bertema 'Menolak Pilkada di Tengah COVID-19: Perspektif Ancaman Politik Uang/Korupsi pada Pilkada 2020', Selasa (16/6/2020).
Sujanarko melihat potensi politik uang itu bisa muncul dengan memanfaatkan program bantuan sosial (bansos) penanganan COVID-19. Sebab, menurutnya, hal itu sudah terlihat saat bansos yang justru dimanfaatkan sebagai ajang kampanye.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena bansos itu kemarin banyak juga yang viral medsos digunakan untuk kampanye, yang celakanya bansos itu diberikan bukan by name dan by address, tapi dalam bentuk uang tunai dan ini akan sangat berbahaya dalam konteks korupsi," sebutnya.
Ia juga mengatakan pilkada di tengah pandemi virus Corona berpotensi mengurangi partisipasi publik. Ia menyebut, jika partisipasi publik rendah, potensi terjadi terjadi korupsi bisa makin tinggi.
"KPK punya pengalaman menarik. Ada satu wilayah kota di Sumatera yang berkali-kali ditangkap KPK. Apa yang terjadi saat pemilu kemarin partisipasi pemilih sangat rendah, kalau nggak salah 26 persen. Bisa dibayangkan dengan persentase yang rendah itu, kalau ada 4 kandidat saja, kira-kira para pengusaha yang korup itu bisa mengkooptasi pilkada," ujar Sujanarko.
Simak video 'Peneliti LIPI Sarankan Pilkada Petakan Risiko COVID-19':