Namun cara itu sepertinya sulit bagi kita. Negara-negara lain juga tidak mengambil langkah itu. Yang diambil adalah langkah moderat, yaitu menyadari virus masih tetap ada, "menoleransi" penyebarannya sampai pada level tertentu, dan melakukan penanganan medis terhadap pasien yang tertular. Bila jumlah pasien sembuh lebih banyak daripada jumlah pasien baru, situasi sudah bisa dianggap baik.
Jumat pekan lalu Gubernur DKI mengumumkan kebijakan, yang bagi saya cukup membingungkan. Judulnya, PSBB diteruskan. Tapi kita memasuki masa transisi, dengan secara bertahap membuka tempat-tempat orang berkumpul, seperti tempat ibadah, tempat belanja, dan tempat kerja. Sekilas dari judul pengumuman kesannya kita akan meneruskan PSBB, tapi isinya adalah pelonggaran PSBB. Sebenarnya apa yang diinginkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah?
Berbagai negara sudah melakukan pelonggaran. Misalnya Italia, Jerman, Inggris, Jepang, dan lain-lain. Apa pertimbangannya? Kurva jumlah pasien mereka sudah mendatar. Tren pertambahan pasien baru sudah menurun. Artinya, setiap hari masih ada pasien baru, tapi jumlah pasien baru ini cenderung menurun. Tren itu sudah terjadi 2-3 minggu terakhir.
Bagaimana dengan kita? Kurva kita justru sedang menanjak. Kasus baru terus bertambah, dan angka penambahan pasien baru secara harian juga terus bertambah. Kita masih jauh dari situasi di berbagai negara tadi. Kalau dilihat secara lokal pun masih jauh dari itu. Jakarta, misalnya, masih jauh dari stabil. Pertumbuhan pasien memang tidak tinggi, sekitar 100 orang per hari. Tapi angkanya naik turun. Kadang bisa menembus ke 150 lebih. Artinya, kita memilih untuk melonggarkan diri, sebelum syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi.
Apa pertimbangannya? Sepertinya pertimbangan ekonomi. Toko-toko yang tutup telah membuat banyak orang menganggur. Kalau terus dibiarkan, tokonya bangkrut, pengangguran akan makin banyak. Di sektor-sektor informal juga sudah banyak orang yang tidak lagi punya pemasukan. Bila disuruh bersabar lebih lama, mereka tidak akan tahan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa PSBB yang diterapkan di berbagai daerah memang ganjil. Yang saya amati, penerapannya tidak merata. Artinya, ada orang-orang yang harus berhenti mencari nafkah dengan alasan PSBB, tapi di sisi lain ada orang-orang yang dibiarkan bebas berkeliaran. Itu ibarat kita membangun tembok kokoh di depan rumah kita dengan tujuan mencegah orang luar masuk, tapi di belakang rumah terbuka lebar.
Pasar-pasar masih buka seperti biasa. Tidak ada protokol khusus yang diterapkan. Setelah ditemukan kasus positif di pasar itu, barulah ada tindakan. Dua minggu yang lalu, di akhir pekan saya berkeliling dengan mobil untuk memantau situasi. Di suatu tempat di Kabupaten Bekasi, yang merupakan daerah merah, pasar malam masih buka seperti biasa.
Artinya, di berbagai tempat PSBB itu tidak ada dalam kenyataan harian. Adanya hanya dalam berita TV. Dalam situasi itu pengetatan hanya bermakna pemaksaan secara tidak adil kepada sekelompok orang, sementara orang lain dibiarkan. Meneruskan PSBB hanyalah melanjutkan ketidakadilan.
Dalam pandangan saya, kita tidak sedang menerapkan protokol penanganan model mana pun. Kita menerapkan protokol kita sendiri, yaitu protokol suka-suka. Sebagian rakyat kita tidak peduli soal adanya wabah. Pemerintah juga tidak sangat serius menanganinya. Kita terbiasa dengan pola seperti ini, yaitu melakukan sesuatu setengah hati dan asal-asalan.
Apa yang akan terjadi setelah ini? Jumlah pasien akan terus bertambah. Kalau melihat tren sekarang, penambahannya akan makin cepat. Kita sedang menuju ke angka pertumbuhan pasien 1000 orang per hari secara nasional. Pada saat itu kita justru melonggarkan diri. Kemungkinan terjadinya ledakan jumlah pasien sangat besar. Tapi kan pelonggaran hanya di daerah tertentu? Ya. Tapi pengaruhnya akan segera melebar ke daerah lain.
Pemerintah akan membuka tempat-tempat berkumpul dengan syarat akan menerapkan protokol yang ketat. Kenyataannya dalam masa PSBB saja protokolnya tidak dipatuhi, bagaimana mungkin setelah dilonggarkan akan dipatuhi?
Pada akhirnya kita sebenarnya tidak akan menuju kepada kenormalan baru. Kita sedang kembali kepada kenormalan lama, yang selama ini kita anut. Sadarkah Anda bahwa selama ini kita biasa menganggap normal hal-hal yang bagi negara lain tidak normal? Banjir di ibu kota sudah dianggap sesuatu yang normal selama puluhan tahun. Macet juga begitu. Kedua masalah itu menghantui hampir semua kota besar, ibu kota provinsi, tapi sangat sedikit yang melakukan penanganan dengan benar.
Hampir semua ibu kota provinsi kita tidak punya dan tidak merancang sistem transportasi massal yang memadai untuk mengurangi dan mencegah kemacetan. Juga sangat sedikit kota yang punya perencanaan tata kota yang baik. Kita terbiasa seadanya dan suka-suka. Kita sedang kembali ke situ.
(mmu/mmu)