Jalan Terjal Pilkada 2020
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Jalan Terjal Pilkada 2020

Senin, 08 Jun 2020 10:10 WIB
Marwanto,S.Sos.,M.Si
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jalan Buntu Pilkada 2020
Jakarta - Rapat kerja antara pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu pada Rabu (27/5) akhirnya menyetujui pilkada digelar 9 Desember 2020. Hasil rapat tersebut menambah kepastian setelah sebelumnya pemerintah menerbitkan Perppu No 2 tahun 2020 yang mengamanatkan pilkada dilaksanakan Desember 2020. Dengan demikian, untuk kesekian kali pilkada akan diselenggarakan dalam kondisi yang tidak ideal.

Sejak digelar pertama pada 2005, penyelenggaraan pilkada di Indonesia selalu diwarnai persiapan yang minim dan kentalnya penetrasi politik di penyusunan regulasi. UU No 32 tahun 2004 yang menjadi dasar pelaksanaan pilkada fase pertama (2005-2007), ditandatangani oleh Megawati hanya beberapa hari sebelum mengakhiri jabatannya sebagai presiden. Kemudian, pilkada fase kedua (2010-2012), ditandai perubahan regulasi yang berulang-ulang, sehingga dari sisi penyelenggara harus berusaha menyesuaikan.

Fase ketiga pilkada (2015, 2017, 2018 dan 2020) yang menyerentakkan pelaksanaannya di sejumlah daerah membuat even demokrasi lokal dilaksanakan beririsan waktunya dengan pemilu. Pilkada 2015 hanya beberapa saat setelah KPU merampungkan Pemilu 2014. Sedangkan Pilkada 2018 waktunya beririsan dengan Pemilu 2019.
Dari semuanya itu, sejarah akan mencatat secara khusus pelaksanaan Pilkada 2020.

Memang penyelenggara sudah rampung dari tugasnya melaksanakan Pemilu 2019, dan belum menyiapkan Pemilu 2024. Namun adanya bencana non-alam pandemi Covid-19 membuat Pilkada 2020 harus ditempuh melewati jalan yang teramat terjal. Jalan terjal itu diawali dengan ketidakpastian regulasi dan ditambah lagi sikap para elite politik yang berubah-ubah. Simak saja, di awal pandemi ketika banyak orang berpedoman pada salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi), sejumlah elite politik bersikap memandang perlu menunda pilkada.

Memang, tak dipungkiri pandemi telah menggugah sekaligus membangkitkan rasa kemanusiaan yang selama ini tenggelam ditelan hiruk pikuk kemajuan teknologi, pertumbuhan ekonomi, dan dinamika politik. Komitmen para elite untuk mengutamakan urusan kemanusiaan terlihat pada rapat kerja tripartit (Pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu) pada 30 Maret 2020. Selain bersepakat menunda juga akan mengalihkan anggaran pilkada yang masih tersisa Rp 9 triliun untuk penanganan pandemi.

Pemerintah secara umum juga menunjukkan komitmennya dengan menerbitkan serangkaian paket regulasi untuk menangani pandemi (Perppu Nomor 1 tahun 2020, PP Nomor 21 tahun 2020, dan Kepres Nomor 11 tahun 2020). Komitmen tersebut menunjukkan para elite politik lebih mementingkan urusan kemanusiaan di atas kepentingan politik. Pendek kata, urusan kemanusiaan menjadi panglima.

Padahal pasca runtuhnya rezim Orde Baru (yang menjadikan ekonomi sebagai panglima), seiring Indonesia memasuki era Reformasi, berlakulah era politik sebagai panglima jilid II --setelah sebelumnya era politik sebagai panglima (jilid I) pernah dipraktikkan rezim Orde Lama. Dengan adanya pandemi, era politik sebagai panglima (jilid II) akan segera digantikan dengan kemanusiaan sebagai panglima. Penyelenggara pemilu pun lega sebab pilkada akan diundur setelah pandemi benar-benar reda.

Namun komitmen elite politik untuk menjadikan kemanusiaan sebagai panglima terus mendapat godaan. Rapat kerja tripartit pada 14 April 2020 memutuskan pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020. Disusul terbitnya surat Mendagri nomor 270/2931/SJ tanggal 21 April 2020 yang melarang anggaran pilkada untuk penanganan pandemi Covid-19. Keputusan rapat kerja tripartit tersebut tentu belum bisa menjadi pegangan. Sebab, yang dapat memberi kepastian hukum adalah terbitnya Perppu atau revisi terhadap UU No 10 tahun 2016 tentang pilkada.

Hingga akhir April, Perppu yang diharapkan oleh penyelenggara tidak kunjung terbit. Sedangkan para pegiat pemilu mendorong jika Perppu terbit tidak perlu mencantumkan waktu pelaksanaan. Awal Mei Perppu memang terbit dengan mencantumkan klausul pemungutan suara dilaksanakan Desember 2020. Namun secara umum Perppu tersebut masih menggantung nasib Pilkada 2020. Pasal 201A (ayat 3) Perppu nomor 2/2020 intinya mengatur bahwa jika pandemi belum berakhir maka pemungutan suara dijadwal lagi. Suasana tarik ulur ini sungguh membuat penyelenggara berada dalam ketidakpastian.

Akhirnya, rapat kerja tripartit pada 27 Mei kemarin kian meneguhkan pilkada akan jadi digelar tahun ini. Namun, apakah jalan terjal itu sudah berakhir? Jawabnya belum. Ada beberapa catatan yang perlu disampaikan. Pertama, penyelenggara (KPU dan Bawaslu) perlu menyiapkan secara matang protokol pilkada di era pandemi. Protokol tersebut akan menjadi panduan teknis bagi penyelenggara tingkat di bawah (ad-hoc). Protokol ini penting, karena kita tidak ingin nyawa sebagai taruhan atau tumbal dalam menegakkan demokrasi.

Kedua, tambahan anggaran yang diajukan oleh KPU maupun Bawaslu benar-benar harus bisa dijamin. Tanpa adanya tambahan anggaran, protokol pilkada di era pandemi yang dibuat penyelenggara akan menjadi sia-sia. Di tengah membengkaknya anggaran untuk penanganan pandemi, pemerintah harus kerja keras menjamin hal ini.

Ketiga, era normal baru yang masih dalam rabaan perlu diantisipasi, mengingat dimungkinkan adanya pandemi gelombang kedua. Jika benar gelombang kedua akan lebih dahsyat, semua pihak harus siap jika tahapan pilkada yang dilanjutkan berhenti di tengah jalan.

Di satu pihak (penyelenggara pilkada dan pemerintah) ada yang mati-matian berjuang menghadapi tiga hal itu. Sementara di pihak lain (para politisi yang akan berkompetisi) mati-matian menyiapkan amunisi untuk bertarung. Ketika rakyat masih ketakutan menghadapi pandemi, mereka tak hanya disuguhi tontonan politik yang membuat miris, tapi dipaksa ikut berpartisipasi di dalamnya.

Marwanto peneliti di Studi Literasi Demokrasi dan Budaya (StiL_Daya)

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads