Pemerintah bersama Komisi II DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyepakati pemilihan kepala daerah serentak dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Penyelenggaraan tiap tahapan dijanjikan menerapkan protokol pencegahan COVID-19 dengan ketat.
KPU sendiri meminta anggaran tambahan sekitar Rp 535 miliar untuk melindungi penyelenggara, peserta pemilu serta pemilih dari bahaya terjangkit virus Corona. Duit sebesar itu rencananya digunakan untuk membeli baju pelindung diri, sarung tangan, cairan disinfektan, pelindung wajah, hingga masker.
Anggota KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menyampaikan soal aspek keselamatan, aspek pelaksanaan hak pilih, dan aspek ketersediaan alat pelindung masih dalam pembahasan internal KPU. Pengadaan masker misalnya berdasarkan standar protokol kesehatan, masyarakat diwajibkan memakai masker kalau keluar rumah atau mengikuti kegiatan di luar rumah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pembahasannya apakah seseorang yang tidak membawa masker, tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Padahal hak pilih itu merupakan hak konstitusional warga negara," ujar Raka dalam diskusi virtual yang digelar alumni Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Selasa, (2/6/2020).
Dalam pembahasan, menurut Raka muncul pilihan, setiap pemilih diimbau untuk menggunakan masker pada hari pemilihan. Namun tiap Tempat Pemungutan Suara menyediakan masker cadangan jika ada pemilih yang tidak membawa masker. "Lalu bagaimana jika ternyata yang tidak membawa lebih banyak daripada masker yang disediakan?," katanya.
Untuk mengantisipasi kekurangan tersebut, muncul opsi alternatif lainnya yakni dianggarkan masker bagi seluruh pemilih di tiap TPS. "Ambillah harganya misalnya Rp 2.500 atau Rp 5 ribu. Dikalikan seluruh pemilih. Ini yang sedang kita matangkan," ujar mantan Ketua KPU Provinsi Bali itu.
Dalam kesempatan itu juga, Raka mengakui penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi COVID-19 memiliki sejumlah risiko meliputi risiko reputasi, politik, keuangan, dan hukum. "Sukses tidaknya penyelenggaraan Pilkada 2020 ini juga akan menyangkut bagaimana reputasi KPU," ujarnya.
Ia menyatakan, reputasi KPU dipertaruhkan untuk menjaga kredibilitas dan kualitas pilkada di tengah wabah pandemi. Tak hanya KPU, tetapi juga penyelenggara pemilu lainnya, yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Terkait pengadaan alat-alat pelindung diri, pengamat pemilu dari Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampouw menyatakan peralatan protokol COVID-19 sebaiknya tak disiapkan KPU. "Mungkin lebih baik diberikan saja kepada Satgas COVID-19 untuk menyiapkannya. Sehingga tak perlu ada penambahan anggaran untuk itu di KPU. Sebab di Satgas kan sudah anggaran itu," katanya.
Pengadaan peralatan protokol COVID-19 pun perlu dipikirkan faedah dan maknanya. Tidak bisa serta merta disetujui tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh apa efek dan dampak positifnya. "Sebab kalau tidak, maka itu akan menjadi pemborosan besar yang sebenarnya tak perlu," ujar Jeirry.
Seperti soal masker, menurut Jeirry bulan Desember mendatang bisa diasumsikan masyarakat sudah lazim digunakan masyarakat. "Kita lihat dimana-mana orang berkeliaran dengan menggunakan masker. Hampir semua orang sudah punya masker kan. Jadi untuk apa lagi ada alokasi dana pengadaan masker itu," katanya.
Hal serupa juga diutarakan, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby. Menurut Alwan, KPU sebaiknya fokus mengurusi teknis dan tahapan pilkada. "Konsentrasi saja membuat aturan teknis yang sesuai dengan kondisi new normal ini," ujarnya.
Urusan alat pelindung seperti masker menurut Alwan seharusnya diserahkan pada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang ada sampai tingkat kabupaten/kota atau Kementerian Kesehatan. "Kalau masuk pengadaan alat pelindung, ya KPU akan disibukkan soal tender lagi dan tender lagi," katanya.