Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dikatakan demikian karena saat ini bangsa Indonesia tengah berkutat untuk keluar dari kepungan pandemi COVID-19 yang telah menewaskan lebih dari seribu lima ratus orang serta melumpuhkan perekonomian nasional. Dalam situasi seperti saat ini, tentu saja tidak akan kita jumpai kemeriahan seperti perayaan tahun-tahun sebelumnya yang lazimnya disemarakkan dengan upacara bendera, menyanyikan lagu nasional, hingga kompetisi bertemakan Pancasila dalam berbagai bentuk kegiatan yang digelar oleh instansi-instansi dan badan-badan usaha milik Pemerintah.
Namun demikian, situasi hari ini pada hakikatnya membuka cakrawala kebangsaan yang baru bagi segenap bangsa Indonesia bahwa postur dan konstruksi ancaman kebangsaan tak melulu hal-hal yang sifatnya konvensional. Pandemi COVID-19 ini menjelma sebagai batu uji kebangsaan perihal seberapa kuat pemahaman dan implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat (philosophische grondslag) oleh bangsa Indonesia di tengah situasi krisis. Dalam konteks pemahaman yang lebih jauh, pandemi COVID-19 ini juga dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai resiliensi Pancasila dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan.
Bukti sahih
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat kembali perjalanan sejarah bangsa Indonesia di masa lampau, tak ada keraguan bahwa Pancasila adalah model ideologi yang paripurna dan paling relevan dengan corak keberagaman bangsa Indonesia. Upaya segelintir pihak pada era 1940-an dan 1960-an yang hendak mengganti Pancasila dengan komunisme pada akhirnya gagal total karena kuatnya resistensi masyarakat dan kokohnya bangunan kebangsaan yang relatif muda pada masa itu. Kegagalan PKI dalam memancangkan ideologi komunisme di tanah air semakin memperkukuh mentalitas kebangsaan yang pada waktu itu masih berada pada tahap character building dan nation building. Inilah salah satu tonggak resiliensi Pancasila sebagai dasar negara.
Melacak lebih jauh lagi perjalanan sejarah Indonesia, akan ditemukan fakta menarik bahwa resiliensi Pancasila sudah terbentuk sejak awal formulasinya oleh founding fathers Indonesia. Penghilangan tujuh kata, yakni "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" di belakang sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan wujud keikhlasan dan tingginya kesadaran para bapak bangsa akan persatuan dan kesatuan. Konstruksi berfikir inilah yang berperan besar dalam mengukuhkan daya tahan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan dan kenegaraan hingga hari ini. Sebuah konstruksi berpikir yang menjunjung tinggi keberagaman masyarakat, bersifat menyatukan dan menghindari perpecahan.
Penetapan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila juga tak luput dari kontestasi yang sekali lagi menguji daya tahan Pancasila. Pihak yang pro dengan penetapan tanggal 1 Juni berpandangan bahwa rumusan Pancasila yang diperkenalkan Soekarno pada 1 Juni 1945, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga konsepsi final pada 18 Agustus 1945, merupakan satu kesatuan proses lahirnya Pancasila, sehingga tanggal 1 Juni dijadikan sebagai pijakan. Sedangkan pihak yang kontra beranggapan bahwa Pancasila juga merupakan ideologi sebuah partai politik tertentu, sehingga tidak perlu diperingati secara nasional. Ada risiko yang harus ditanggung jika tetap dikukuhkan, yakni bangkitnya kembali sentimen Piagam Jakarta.
Terlepas dari kontestasi pendapat dan pandangan tersebut, bangsa Indonesia pada akhirnya menempuh musyawarah mufakat untuk menetapkan 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila. Momen penetapan ini juga menjadi semacam penegasan perihal pemikiran bahwa Pancasila merupakan produk tunggal Soekarno dengan menegasikan para bapak bangsa lainnya yang menyumbangkan pemikiran tidak benar adanya. Hal ini bisa dirujuk dari pernyataan Soekarno sendiri: "... saya sekedar menggali di dalam bumi Indonesia dan mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita dengan cara seindah-indahnya ...". Secara tersirat Soekarno hendak menegaskan bahwa Pancasila sudah eksis dan hidup di tengah bangsa Indonesia sendiri.
Modalitas resiliensi
Merujuk pada berbagai momen yang menjadi momentum resiliensi Pancasila tersebut, kita sebagai bangsa Indonesia patut bersuka cita bahwa di tengah gempuran berbagai ancaman terhadap eksistensi Pancasila, Pancasila masih tertancap erat di sanubari kita sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Pancasila masih mendasari laku pikir dan sikap tindak segenap bangsa dalam mengayuh kapal NKRI guna secara perlahan tapi pasti merengkuh tujuan dan cita-cita nasional akan terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, serta sejahtera. Harus diakui masih terdapat kekurangan dalam implementasinya, namun semuanya masih bergerak dalam lajur yang benar (on the right track).
Salah satu kekuatan penting mengapa berbagai kelemahan dalam implementasi Pancasila masih bisa ditolerir dan bisa diarahkan kembali ke dalam koridor yang benar adalah, sekali lagi, resiliensi yang dimiliki oleh Pancasila itu sendiri. Resiliensi inilah yang menjadi self-reminder para pengambil keputusan misalnya, ketika memproduksi regulasi yang tidak sesuai nilai-nilai Pancasila. Resiliensi ini terinternalisasi dengan baik dalam postur kelembagaan negara, khususnya yang menjalankan kewenangan yudikatif semisal MA dan MK untuk melakukan cek-ricek dan kalibrasi apabila ada regulasi yang bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi. Resiliensi inilah yang menuntun pada konsistensi dan kekhidmatan dalam ber-Pancasila.
Konsistensi Indonesia dalam memegang teguh dasar negara jauh mengungguli negara-negara lain, khususnya negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. Tingginya ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) tak mampu menjebak Indonesia untuk berlaku pragmatis dalam berideologi. Kebijakan Amerika Serikat di bawah kendali Trump dengan mendengungkan slogan "Buy American, Hire American" misalnya, merupakan pilihan kebijakan yang mengingkari spirit kapitalisme dan liberalisme yang selama ini mereka yakini. Guncangan ekonomi domestik dan kekhawatiran akan perluasan pengaruh Tiongkok membuat Amerika Serikat di bawah rezim Trump tanpa sungkan berlaku pragmatis.
Pengalaman Amerika Serikat di bawah Trump telah lebih dahulu dilakukan oleh Tiongkok pada dekade 1970-an. Tiongkok yang pada waktu itu berada di bawah Deng Xiao Ping berlaku fleksibel dalam hal ideologi. Deng yang mengibaratkan kapitalisme dan komunisme sebagai kucing hitam dan kucing putih menegaskan bahwa Tiongkok tak peduli pada dikotomi itu. Yang terpenting bagi Tiongkok adalah bagaimana Tiongkok melesat sebagai negara maju dan berpengaruh di panggung dunia. Tiongkok di bawah rezim Deng berlaku pragmatis dan ambivalen dengan menerapkan praktik kapitalisme dan liberalisme pada sektor ekonomi, namun memegang teguh komunisme pada praktik politik.
Dengan bertolak pada fakta-fakta tersebut, kita sebagai bangsa Indonesia seyogianya bangga dengan upaya-upaya mempertahankan Pancasila yang telah ditempuh oleh para pendahulu kita. Ikhtiar mereka dalam menegakkan NKRI dan melestarikan Pancasila merupakan hal yang perlu diapresiasi setinggi mungkin. Bangsa Indonesia dengan tegas menolak ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila. Bangsa Indonesia juga dengan persisten menolak untuk terjebak dalam laku pragmatisme dalam berideologi. Lalu bagaimana kita menyikapi tantangan pandemi COVID-19 hari ini dengan menggunakan sudut pandang Pancasila sebagai dasar filsafat dan pedoman kebangsaan?
Pada hemat penulis, situasi wabah saat ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk menguji kembali resiliensi Pancasila seperti halnya periode-periode sebelumnya yang dapat dilalui dengan sukses. Berbeda dengan sebelumnya yang mana Pancasila lebih banyak digaungkan sebagai jargon-jargon kebangsaan. Situasi hari ini menuntut Pancasila untuk ditempatkan sebagai spirit dan elan vital dalam mengambil langkah-langkah taktis penanganan wabah. Pemerintah disibukkan dengan berbagai pilihan kebijakan dalam merespons permasalahan. Terkadang pilihan kebijakan tersebut menuai penolakan dari masyarakat hingga perbedaan pendapat di kalangan perumus kebijakan sendiri, khususnya antara pusat dan daerah.
Oleh sebab itu, jika kita hendak menyelesaikan permasalahan, kuncinya adalah mengembalikan lagi semuanya pada spirit Pancasila. Perbedaan pandangan, pola pikir, alternatif solusi, dan sebagainya dalam menyikapi pandemi adalah hal yang lumrah. Hanya saja yang perlu dipegang oleh semua komponen bangsa adalah keyakinan bahwa semua permasalahan dapat dipecahkan apabila semuanya bersatu padu dan bergotong royong. Prinsip-prinsip kemaslahatan bersama, persatuan kesatuan, musyawarah mufakat, serta keadilan sosial harus selalu melekat dalam laku pikir dan sikap tindak segenap bangsa dalam memerangi pandemi. Hal inilah yang menjadi modalitas untuk meneguhkan kembali resiliensi Pancasila. Akhir kata, selamat hari lahir Pancasila. Indonesia jaya!
Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024
(akn/ega)