Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengecam kasus teror dan ancaman pembunuhan terhadap wartawan di Jakarta, juga panitia dan narasumber diskusi di Fakultas Hukum UGM yang terjadi beberapa waktu lalu. Menurutnya, hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Dalam waktu berdekatan, terjadi dua kasus ancaman pembunuhan. Pertama, terjadi kepada salah seorang wartawan atas pemberitaan terkait Presiden Joko Widodo (Jokowi), serta panitia dan narasumber diskusi bertajuk 'Persoalan pemakzulan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatangeraan'. Akibat ancaman tersebut, kegiatan diskusi pun dibatalkan.
Menurut HNW, kegiatan diskusi maupun pers selayaknya dihormati dan terbebas dari intervensi dari pihak manapun. Ia meminta aparat kepolisian mengusut peristiwa tersebut, guna menyelamatkan praktik demokrasi di Tanah Air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Teror, intimidasi dan ancaman pembunuhan terhadap wartawan, narsum, dan panitia adalah kejahatan yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila, prinsip negara demokrasi, hukum serta tuntutan reformasi. Karenanya teror-teror seperti itu harus diusut tuntas, pelakunya dijatuhi hukuman keras, agar kejahatan seperti ini tak diulangi lagi," kata HNW dalam keterangannya, Minggu (31/5/2020).
Di era demokrasi dan reformasi, kata HNW, tidak dibenarkan melancarkan aksi teror untuk menunjukkan ketidaksepahaman kepada pihak lain. Teror dan ancaman pembunuhan tidak bisa mendapatkan tempat di Indonesia.
"Ini malah ada dua teror dan ancaman pembunuhan terhadap wartawan dan kegiatan di kampus, yang dipertontonkan dengan vulgar kepada publik. Bahkan membuat diskusi ilmiah di kampus UGM sampai dibatalkan," kata HNW.
Mengenai ancaman teror yang mengatasnamakan nama aktivis ormas Muhammadiyah di Klaten, HNW memandang hal itu sebagai upaya pencemaran nama besar Muhammadiyah. Meskipun, hal itu dibantah oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Klaten.
"Saya sangat yakin kader Muhammadiyah yang terkenal dengan akhlak mulia dan intelektualitas tingginya, tidak akan menggunakan cara-cara negatif itu. Dengan mengusut tuntas, polisi sekaligus dapat mencegah terjadinya adu domba dan fitnah terhadap Muhammadiyah," imbuh HNW yang merupkan putra mantan pimpinan Muhammadiyah dan 'Aisyiyah di Prambanan Klaten.
Sementara ancaman kepada wartawan, menurut HNW, menjadi pengingat bagi insan pers agar lebih serius mempraktekkan kode etik jurnalistik. Namun, ia menegaskan teror dan ancaman pembunuhan untuk menyampaikan keberatan kepada pemberitaan di media merupakan tindakan yang salah, sebab sudah ada mekanisme untuk menyatakan keberatan yang diatur oleh Undang-Undang Pers.
"Silakan dilaporkan saja ke Dewan Pers. Nanti akan dinilai apakah memang benar wartawannya yang salah kutip, atau memang narasumbernya yang salah memberikan keterangan (dan kemudian dia ralat). Jadi, bukan dengan teror dan ancaman pembunuhan," ungkap HNW.
HNW turut mengapresiasi langkah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan asosiasi pengajar di fakultas hukum Indonesia, dan PP Muhammadiyah, yang menyuarakan keberatannya terhadap intimidasi dan teror dalam kasus tersebut. Ia menganggap tindakan tersebut sebagai upaya memperjuangkan Pancasila.
"Semua pihak harus ikut mengawal praktek demokrasi Pancasila, apalagi jelang peringatan hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni, yang nilai-nilainya wajib kita jaga dan perjuangkan bersama, bukan hanya sekadar perayaan tahunan yang bersifat seremonial. Karena itu Polisi harus segera melakukan kewajibannya; usut tuntas, tegakkan hukum yang benar dan adil," pungkasnya.
(akn/ega)