Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) menjeratkan dakwaan terhadap 28 warga Korea Utara (Korut) dan lima warga China, atas dugaan mengoperasikan jaringan pencucian uang yang memindahkan dana miliaran dolar AS melalui bank-bank global demi menghindari sanksi nuklir Korut.
Seperti dilansir AFP, Jumat (29/5/2020), jaringan itu memproses lebih dari US$ 2,5 miliar (Rp 37,1 triliun) melalui lebih dari 250 front company atau semacam perusahaan cangkang, yang tersebar di Thailand, Libya, Austria, Rusia, China dan Kuwait demi menghindari sanksi.
Menurut dokumen dakwaan yang diajukan ke pengadilan federal di Washington DC itu, dana yang dicuci itu digunakan untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan oleh Korut dan untuk memperkaya para tersangka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar dari mereka yang didakwa berkaitan dengan jaringan 'terselubung' dari cabang Bank Dagang Asing Korut (FTB) yang masuk daftar hitam. Di antara mereka yang didakwa terdapat dua orang yang menjabat sebagai presiden bank tersebut, Ko Chol Man dan Kim Song Ui, dan dua wakil presidennya.
Puluhan warga Korut dan China itu didakwa menggunakan perusahaan cangkang untuk membersihkan transaksi dolar AS melalui jaringan finansial yang transit via AS, yang merupakan ilegal bagi Bank Dagang Asing dan entitas lainnya yang ada di bawah sanksi nuklir dan perdagangan yang dijatuhkan ke Korut oleh AS.
Dalam skema yang beroperasi dari tahun 2013 hingga tahun ini, para terdakwa dan konspiratornya 'menyembunyikan keterlibatan FTB dalam pembayaran dolar AS dari bank koresponden untuk mengelabui bank-bank saat proses pembayaran'. Pada saat itu, AS telah menyita sekitar US$ 63 juta dari dana itu.
Tonton juga video 'China Kekang Hong Kong, AS Siapkan Respon':
Dakwaan dari Departemen Kehakiman AS itu tidak memberikan informasi soal bagaimana Korut menghasilkan uang sebanyak itu. Namun dana sebesar itu dimaksudkan untuk digunakan untuk segala hal, mulai dari membeli barang-barang mewah hingga menyediakan pasokan untuk program senjata nuklir Korut.
Rezim Kim Jong-Un berupaya selama beberapa tahun ini mengatasi embargo terhadap aktivitas perdagangan dan keuangan, yang didukung Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Embargo itu diberlakukan karena Korut melanggar resolusi yang melarang pengembangan senjata nuklir.
"Melalui dakwaan ini, Amerika Serikat menunjukkan komitmennya untuk menghambat kemampuan Korea Utara dalam mengakses sistem keuangan AS secara ilegal, dan untuk membatasi kemampuan Korut dalam menggunakan hasil dari tindakan-tindakan terlarang untuk meningkatkan persenjataan penghancur massal yang ilegal," ujar pelaksana tugas (Plt) jaksa AS untuk Washington DC, Michael Sherwin, dalam pernyataannya.
Untuk jumlah terdakwa, dakwaan ini menjadi kasus sanksi terbesar yang dijeratkan AS terhadap Korut. Namun, seperti dikatakan salah satu pejabat AS yang enggan disebut namanya, dakwaan ini lebih sebagai kasus 'name and shame' -- untuk mempermalukan dan mengekspose seseorang, karena tidak ada indikasi apakah para tersangka yang didakwa akan ditangkap atau disidangkan.