"Sekarang dapat Rp 10 ribu saja sudah untung. Itu hasil seharian berkeliling," kata Suprianto (50) seorang pemulung di kawasan pantai Pangandaran.
Berhentinya aktivitas pariwisata di pantai Pangandaran rupanya berdampak pada produksi sampah. Minim sampah berarti minim pula remah-remah rupiah yang dikumpulkan Suprianto. "Botol bekas minuman tak ada lagi. Mau memulung apa di pantai, makanya sekarang saya pindah ke pasar," kata Suprianto.
Kesulitan tak sampai di sana, Suprianto juga mengaku sekarang susah menjual barang bekas yang dikumpulkannya. Kalau ada yang menampung, harganya tidak seberapa.
"Botol air mineral yang biasanya laku Rp 3 ribu per kg sekarang hanya diterima Rp 1.500 per kg. Pengepulnya juga lagi pusing, nggak ada duit," kata Suprianto seraya menjelaskan 1 kg botol air mineral itu jumlahnya sebanyak 100 botol.
Suprianto tinggal seorang diri di sebuah gubuk yang dia dirikan di sebidang tanah sengketa tepat di belakang Pasar Wisata Pangandaran. Di tanah kebun itu banyak gubuk-gubuk lain yang dihuni oleh kaum miskin urban Pangandaran. Di balik gemerlap dunia pariwisata pantai, para pendatang itu bertahan hidup dalam kemiskinan.
"Sejak 2017 saya tinggal di sini, asli dari Karangtanjung Pandeglang. Hidup sendiri. Istri sudah meninggal," kata Suprianto. Dia mengaku terbiasa tidur kedinginan dan menahan lapar.
Keinginan untuk pulang kampung dia pupus karena tak punya uang. Begitu pula dengan impian untuk berdagang es durian, profesi yang sempat dia tekuni beberapa tahun lalu. "Kalau ada modal saya bisa membuat es durian. Dulu pernah berdagang tapi bangkrut," katanya.
Di bulan Ramadhan ini dirinya mengaku tak berpuasa. "Sahurnya mau makan apa, buka puasanya bagaimana?. Lagi sulit seperti ini, malah bingung. Memang suka ada yang datang bagi-bagi makanan, tapi tak tentu," ujarnya. (mso/mso)