Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat meminta pemerintah memperbaiki koordinasi antar kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah, untuk menghilangkan hambatan birokrasi dalam setiap kebijakan. Menurutnya, hambatan koordinasi terlihat pada penanganan COVID-19 di Tanah Air.
"Koordinasi saya lihat memang titik lemah birokrasi kita. Upaya untuk memperbaikinya harus dimulai dari pimpinan negara, daerah sampai pimpinan kementerian dan lembaga harus punya leadership yang kuat dan efektif menerapkan koordinasi," ujar Lestari yang akrab disapa Rerie, Senin (11/5/2020).
Masalah koordinasi dalam birokrasi, ungkap Rerie, sudah ada sejak rezim Orde Baru. Ketika itu, ada empat konsep yang akan diterapkan dalam birokrasi, yaitu koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi. Namun, konsep tersebut tidak terlaksana hingga Orba berakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyaknya tantangan yang dihadapi tentunya membutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak, sehingga kita membutuhkan koordinasi yang kuat dalam birokrasi agar mampu mengatasi persoalan yang ada," imbuh Rerie.
Kegagapan pemerintah pada awal wabah COVID-19 masuk ke Indonesia, lanjut Rerie, seharusnya menjadi pelajaran bersama bagi setiap birokrasi di pemerintahan untuk segera diperbaiki.
Legislator Partai NasDem itu menegaskan, di tengah ketidakpastian dampak pandemi COVID-19 hendaknya pemerintah dan masyarakat tidak berdebat soal makna dari sebuah kata. Oleh sebab itu, pemimpin seharusnya tidak mengeluarkan pernyataan multitafsir dan menimbulkan kegaduhan.
"Efek pandemi COVID-19 ini multidimensi, mulai dari sektor ekonomi, sosial bahkan budaya, jadi perlu penanganan yang komperhensif dan harus segera. Jangan malah kita gaduh meluruskan pernyataan para pejabat," terang Rerie.
Rerie mendorong agar pemerintah segera melakukan test yang masif dalam jumlah yang memadai, sehingga penanganan COVID-19 bisa lebih efektif. Test masif dalam bentuk pengujian spesimen PCR yang dilakukan oleh laboratorim medis Indonesia, diakui Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas yang disiarkan secara langsung di YouTube Setpres, Senin (11/5), berjumlah empat sampai lima ribu sampel per hari. Angka itu masih jauh dari target, yakni 10 ribu spesimen per hari.
Sementara itu, Worldometer mencatat per Senin (11/5) rasio tes berdasarkan jumlah tes per satu juta penduduk Indonesia adalah 579. Angka itu masih di bawah Namibia yang melakukan 607 tes per satu juta penduduk.
Di Asia, rasio tes di Indonesia masih jauh di bawah India yang mampu melakukan 1.213 test per satu juta penduduknya. Bahkan di Asia Tenggara, rasio tes Filipina jauh lebih baik yaitu 1.489 tes per satu juta penduduk.
Rendahnya realisasi tes, menurut Jokowi, disebabkan belum optimalnya fungsi laboratorium yang dimiliki pemerintah. Dari 104 jaringan laboratorium rujukan, hanya 53 laboratorium yang beroperasi optimal. Salah satu kendala yang dihadapi adalah kekurangan tenaga laboratorium.
Kendala tersebut, ungkap Rerie, harus segera diatasi dengan langkah kolaborasi dan koordinasi sejumlah institusi yang memiliki tenaga laboratorium, agar bisa diperbantukan untuk menguji sampel dalam test masif COVID-19.
"Tentu saja harus ada penyesuaian di sana-sini agar para tenaga laboratorium yang diperbantukan bisa memproses sampel dalam test masif itu. Perlu koordinasi yang baik untuk merealisasikannya," kata Rerie.
(ads/ads)