Organisasi Kesehatan dunia (WHO) mengganti nama penyakit yang disebabkan oleh SARS-Cov-2 dari Corona Wuhan menjadi Covid-2019 disingkat Covid-19 atau Covid. Alasan singkatnya adalah supaya tidak menjadikan bangsa atau negara asal merebaknya penyakit tersebut sebagai sebuah stigma yang mengarah kepada merebaknya kebencian berdasarkan ras.
Celakanya kejadian pertama di Wuhan menjadi kesempatan bagi sebagian pemrakarsa teori konspirasi untuk segera memberi label made in virus itu. Serentetan analisis yang sepintas logis disusun supaya rasional. Alur pikir awam atau alur pikir emosional segera menganggukkan kepala tanda setuju, lalu menjadikannya keyakinan yang dibenarkan dalam pikiran. Sempat timbul rasis anti Cina di seluruh pelosok bumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di media sosial ramai diberitakan bahwa seorang Guru Besar Fisiologi Kedokteran berkebangsaan Jepang, Profesor Dr Tasuku Honjo, menciptakan sensasi di depan media dengan mengatakan bahwa virus korona itu tidak alami. Scientist Jepang penerima Nobel itu beralasan, jika alami SARS-Cov-2 itu tidak akan mempengaruhi seluruh dunia seperti ini. Karena sesuai sifat virus, ia tidak akan mampu hidup dengan aman di beberapa suhu yang berbeda di berbagai negara. Jika ia alami, ia akan berdampak buruk hanya pada negara-negara yang memiliki suhu yang sama dengan Wuhan. Ia pasti sudah menyebar di tempat dingin, tetapi mati di tempat panas.
Sebaliknya jika SARS-Cov-2 mampu menyebar di negara seperti Swiss, dengan cara yang sama menyebar di daerah gurun maka inilah alasan utama yang menandakan bahwa ia dibuat. Honjo telah melakukan 40 tahun penelitian tentang hewan dan virus, SARS-Cov-2 sepenuhnya buatan.
Honjo telah bekerja selama 4 tahun di laboratorium Wuhan di Cina. Honjo sepenuhnya kenal dengan semua staf laboratorium di Wuhan. Dia mengaku telah menelepon mereka semua setelah merebaknya Covid, tapi semua ponsel mereka mati selama 3 bulan terakhir. Sekarang dipahami bahwa semua teknisi laboratorium ini telah meninggal.
Berdasarkan semua pengetahuan dan penelitiannya sampai saat ini, Hanjo dapat mengatakan dengan keyakinan 100% bahwa korona tidak alami. Ia bukan berasal dari kelelawar, Cina telah membuatnya.
Hanjo berani menggaransi pernyataannya dengan mengatakan bahwa jika yang ia katakan terbukti salah, saat ini atau bahkan setelah kematiannya, pemerintah Jepang boleh membatalkan penghargaan Nobel yang ia peroleh.
Ia melanjutkan, tapi Cina berbohong dan kebenaran ini suatu hari akan bisa diungkapkan kepada semua orang.
Sejarah Tahu
Dean Koontz, penulis yang membesut novel terkenal "The Eyes of Darkness" pada 10 Mei 1981 di USA. Dipublikasikan oleh Pocket Books, berjumlah 312 halaman. Tak terlalu tebal. Namun sudah cukup untuk menggambarkan apa yang akan di-video-kan pada 2020 sekarang. Terlebih ketika "Contagion", pada tahu 2011 sudah difilmkan.
Sutradara Steven Soderbergh membesut film yang 'persis' seperti kondisi sekarang. Ditambah novel Koontz yang berkisah tentang virus dari Wuhan. Apa yang dibayangkan orang? Mungkinkah sekedar kebetulan? Atau kegiatan yang sudah lama dirancang? Lalu dari mana asalnya Covid-19 yang diinfokan berasal dari Wuhan? Media membicarakan bahwa virus itu memang berasal dari Paman Sam!
Dari informasi para pakar biologi molekuler ditemukan bahwa struktur sekuen Ribonucleic acid (RNA) Covid-19 ternyata 88 prosen identik dengan virus corona di kelelawar. Namun 79.5 prosen identik dengan virus corona Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang mematikan.
Apa artinya? Covid-19 adalah Novel Corona Virus. Ia mahluk (hidup) baru yang muncul atau dimunculkan?
Covid memiliki kedua kemampuan genetik, daya adaptasi yg kuat seperti yang terdapat pada virus corona kelelawar, namun sangat mematikan seperti virus corona SARS.
Lima tahun yang lalu (2015) Bill Gates mengingatkan ulang. Pada waktu itu dia menjelaskan lebar dan panjang. Sambil mengingatkan ulang film Contagion. Ia ulas balik Perang Dunia I tahun 1918 dan flu Spanyol yang menelan jutaan korban. Lengkap dengan kisah Ebola dan jumlah jutaan manusia yang menjadi korban. Lebih dari 50 jutaan orang.
Titik pentingnya dia ingatkan. Akan yang bakal dunia hadapi di masa datang. Bukan perang nuklir seperti yang semula sangat ditakutkan. Tetapi perang biologi yang sejatinya seluruh dunia belum siap mengadang. Belum siap tenaga, peralatan, dan segala prasarana yang seharusnya disediakan!
Bisa jadi novel "The Eyes of Darkness" dan film "Contagion" di atas mengisyaratkan egoisme terpendam. Hasrat untuk menjadi penguasa dunia di abad sekarang?
Kita semua terang benderang dengan kisah Fir'aun yang sangat melegenda. Dahulu raja Fi'aun merupakan raja di atas awan. Ia berkonspirasi dengan Hamam perdana menterinya yang juga memiliki sifat sangat sealiran. Didukung Qorun yang kekayaannya melampaui kekayaan seluruh penduduk alam.
Fir'aun sampai menganggap dirinya sebagai Tuhan karena merasa tak ada satu pun raja atau siapa pun yang bakal mengalahkan. Berulang al-Quran menyebut Fir'aun sebagai orang yang sangat melampaui batas. Menindas Bani Isra'il qaum Nabi Musa as. Fir'aun merasa menjadi bangsa di atas siapa pun, dia benar-benar merasa Tuhan.
Nabi Musa berulangkali mengingatkan kekeliruan Fir'aun. Nabi Musa meminta Bani Isra'il dibebaskan dari penganiayaan tak berperikemanusiaan. Bayi-bayi lelaki mereka dibinasakan, sedangkan yang perempuan dibiarkan hidup. Kebiadaban yang tak perlu diulang.
Mungkin saat ini ada juga negara yang memiripkan dirinya dengan negara Fir'aun. Hanya saja tidak berani terang-terangan menginformasikan ke dunia internasional.
Tak pelak Tuhan menimpakan bencana kepada negeri Fir'aun. Nabi Musa sambil terus-menerus mengingatkan untuk segera kembali ke jalan Tuhan namun tak pernah dihiraukan. Setiap kali Fir'aun dan para pendukungnya tidak mampu menghindarkan bencana, berulang ia memohon kepada Nabi Musa untuk menghalau segala pandemi di masanya melalui berdoa kepada Tuhannya Nabi Musa. Banjir darah, pandemi katak, pandemi belalang yang tidak meninggalkan satu pun biji gandum tersisa di batang-batangnya. Setiap kali Nabi Musa memohonkan doa dan setiap kali diselamatkan Tuhan, Fir'aun selalu kembali melampaui batas. Akhirnya ia dan seluruh qaumnya dibinasakan Tuhan.
Apa pun yang dituju oleh si pembuat Covid tampa ijin Tuhan pasti tidak akan terjadi. Berarti Covid dibuat atau buatan, semuanya telah diijinkan Nya untuk menimpa penduduk bumi.
Hukum ketertarikan (The Law of Attraction) mengatakan bahwa, prilaku positif menarik peristiwa positif, sebaliknya perilaku negatif menarik peristiwa negatif. Pasti Tuhan tidak akan menimpakan peristiwa negatif kepada sekelompok orang yang perilakunya menjadikan bumi ini aman. "Mengapakah Tuhanmu akan menyiksamu jika kamu bersyukur (memanfaatkan nikmat sesuai petunjukNya) dan kamu beriman (yakin) kepadaNya (terbukti dengan menjalankan petunjukNya itu)?" (QS an-Nisaa 4:147).
Bila perbuatan negatif, keangkuhan yang merajalela, berbuat sewenang-wenang atas orang-orang atau bangsa lain diterus-teruskan, sedangkan tidak ada bangsa yang mengingatkan dan mencegah, maka orang-orang atau negara yang tidak mencegahnya bisa turut "menikmati" bencana yang ditimpakan. "Dan peliharalah dirimu dari fitnah yang tidak hanya menimpa qaum yang dzalim saja diantara kamu", (QS al-Anfal 8:25) tetapi juga menimpa orang-orang yang tidak mau mengingatkan atau tidak mau berusaha menggagalkan upaya buruknya itu.
Entah Covid ini buatan atau sengaja dibuat, yang jelas pandemi ini harus segera padam. Bagi kita sangat penting mengevaluasi perbuatan kita selama ini, hendak bermitra dengan semua penduduk bumi atau mau menjadi paling digdaya, mengganti posisi Fira'aun yang jelas binasa. Mari kita belajar jumawa, bergandeng tangan mendiami bumi ini dengan kasih sayang karena-Nya.
Shiyam (puasa) di bulan ramadlan ini, merupakan kesempatan untuk menghempas ke-aku-an, egoisme, mengoptimalkan altruisme, melejitkan kasih sayang kepada semesta. Sehingga menjadi kesempatan memohon curahan rahmat dan kasih sayang Tuhan untuk menghempas pandemi agar segera hilang. Bukankah Nabi Musa pernah membuktikan?
Abdurachman
Guru Besar FK Unair, Takmir Masjid FK Unair
*Tulisan ini adalah kiriman pembaca, sehingga seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab pembaca. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi artikel, baik sebagian maupun seluruhnya.
(erd/erd)