Corona Tak Kunjung Selesai, Pembatasan Sosial Harus Diterapkan Hingga 2022?

Corona Tak Kunjung Selesai, Pembatasan Sosial Harus Diterapkan Hingga 2022?

BBC World - detikNews
Sabtu, 25 Apr 2020 14:57 WIB
VirusΒ Corona baru diperkirakan tak akan benar-benar musnah dalam waktu dekat (Getty Images)
Washington DC -

Apa jalan keluar dari pandemi ini? Para ahli dari berbagai disiplin ilmu mengevaluasi berbagai strategi. Inlah salah satu langkah.

Evaluasi ini sulit karena belum diketahui apakah SARS Cov-2 yang menyebabkan COVID-19 sama dengan virus Corona penyebab SARS pada tahun 2002-2003.

Saat ini dunia sains terbagi dua, antara yang mencoba menemukan vaksin pembasmi virus SARS Cov-2, atau mencari obat yang mampu menyembuhkan penyakit yang disebabkannya, COVID-19.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara belum ada yang pasti dari upaya ini, jaga jarak dan pembatasan gerak merupakan langkah utama untuk memperlambat penyebaran virus, dan mengurangi dampak terhadap sistem pelayanan kesehatan.

Satu model pembatasan sosial sedang dianalisis oleh peneliti di Harvard University School of Public Health.

ADVERTISEMENT

Dalam kasus Amerika Serikat, salah satu negara paling terdampak, para peneliti menjelajahi berbagai skenario termasuk kemungkinan penerapan jaga jarak berselang yang bisa berlangsung hingga tahun 2022.

[Gambas:Youtube]

Kewaspadaan permanen

Una cientfica procesa muestras de personas infectadas con coronavirus

Peneliti menjelajahi beberapa skenario termasuk penerapan jaga jarak berselang (Getty Images)

Stephen M. Kissler, Christine Tedijanto, Edward Goldstein, Yonatan H. Grad dan Marc Lipsitch adalah para peneliti yang menerbitkan hasil kajian mereka di jurnal Science.

"Sangat penting untuk paham masa depan penularan dari SARS-CoV-2," tulis mereka.

Berdasarkan beberapa faktor seperti musim, kekebalan, dan data dari AS, mereka menganalisis kemungkinan penyebaran virus terjadi hingga 2025 dan membuat beberapa perkiraan.

"Kami memproyeksikan pengulangan wabah SARS-CoV-2 lebih mungkin terjadi di musim dingin sesudah adanya gelombang pandemi yang parah," kata mereka.

Gelombang kedua ini bisa berakibat buruk karena sistem layanan kesehatan belum tentu mampu menanganinya.

Maka agar dampaknya tidak dramatis mereka menyarankan "pembatasan sosial yang diperpanjang atau diselang-seling hingga tahun 2022".

Memperkuat layanan kesehatan dan mengembangkan pengobatan yang efektif terhadap akibat virus itu "akan memperkuat keberhasilan jaga jarak berselang dan mempercepat didapatkannya kekebalan kelompok".

Para peneliti juga menyatakan pentingnya "melakukan kajian serologi jangka panjang untuk menentukan cakupan dan durasi imunitas terhadap SARS-CoV-2".

"Bahkan ketika sudah ada keberhasilan pemusnahan, pengawasan terhadap SARS-CoV-2 tetap harus ada, karena wabah masih mungkin terjadi hingga tahun 2024."

Apa yang diperlukan?

Un cartel en el piso lee:

Gelombang kedua wabah diperkirakan akan lebih buruk karena terbatasnya kemampuan fasilitas kesehatan (Getty Images)

Salah satu pertanyaan utama para peneliti adalah, apa yang akan terjadi ketika aturan tinggal di rumah mulai dicabut.

"Ketika jaga jarak tak diterapkan lagi dan kemungkinan penularan meningkat lagi di musim gugur, mungkin akan terjadi wabah di musim dingin. Ini akan bertumpuk dengan flu musiman, maka rumah sakit akan kewalahan," papar mereka.

Dr Fernando Rodrguez, profesor obat-obatan pencegahan dan kesehatan masyarakat di Autonomous University of Madrid (UAM) menyatakan, perlu diingat bahwa pendekatan para peneliti di Harvard University itu adalah "model teoritis, (...) dan tak ada bukti langsung".

Kajian mereka bersifat analisis dan bukan rekomendasi kebijakan. Para ilmuwan ini menekankan bahwa mereka tidak mendukung langkah atau kebijakan tertentu, melainkan bertujuan mengidentifikasi kemungkinan arah perkembangan pandemi ini.

"(Yang mereka usulkan) adalah langkah paling praktis mengendalikan wabah dan melakukannya secepat mungkin dengan sekecil mungkin korban dan biaya. Yang paling utama adalah melindungi sistem layanan kesehatan agar tidak kewalahan."

"Caranya adalah mempersilakan terjadinya peningkatan infeksi dan ini akan memungkinkan masyarakat secara pelan-pelan mengembangkan kekebalan kelompok (herd immunity). Lalu saat infeksi sangat tinggi, kita menjaga jarak lagi, dan begitu seterusnya," kata Rodrguez dalam percakapan dengan BBC Mundo.

Menurut Rodriguez, argumen yang mereka pakai, metode ini akan membuat orang bisa menjalankan kehidupan yang relatif normal dan ekonomi akan berjalan lagi, dan di saat yang sama membangkitkan kekebalan kolektif yang disebut juga herd immunity.

Herd immunity

Un edificio de apartamentos con personas en cuarentena asomadas al balcn

Mengembangkan kekebalan kelompok disebut sebagai salah satu opsi (Getty Images)

Konsep ini bermakna cukupnya jumlah orang dalam satu populasi yang memperoleh kekebalan terhadap penyakit ini sehingga secara efektif menghentikan penyakit tersebut.

Dengan logika itu, kekebalan tidak akan diperoleh lewat vaksin tapi dari penyakit tersebut. Lebih banyak orang terinfeksi, lebih banyak orang sembuh dan menjadi kebal.

Ini akan membentuk ketahanan dan wabah akan menurun karena tidak ada lagi yang bisa terinfeksi. Demikian menurut mereka yang mendukung teori ini.

"Sedikit demi sedikit kita akan tertular, dan ketika 60%, 70% populasi tertular, kita akan segera kembali ke normal," papar Prof Rodriguez.

Aturan tinggal di rumah seperti yang sekarang dijalankan di banyak negara mengurangi infeksi dan menghentikan gelombang kasus baru.

"Para peneliti Harvard berpendapat dengan cara ini kita akan sedikit sekali terinfeksi, tetapi kita harus tinggal di rumah sangat lama karena tanpa terinfeksi, orang tidak akan kebal," kata Rodriguez lagi.

Satu aspek yang dipertimbangkan oleh strategi pembatasan pergerakan berselang seling adalah "pada saat rumah sakit hampir penuh, kita lakukan pembatasan gerak lagi agar rumah sakit tidak kewalahan".

Menurut Rodriguez, skenario ini punya masalah dalam kelayakan penerapannya.

"Ini agak bermain-main dengan api karena saat infeksi meningkat dan kita bertindak cepat menahan orang di rumah, atau sistem pengawasan epidemi tidak berjalan, mungkin kita terlambat dan bisa menyebabkan rumah sakit kewalahan."

Dalam skenario ini, kapasitas layanan kesehatan, terutama unit perawatan intensif, harus ditingkatkan agar bisa mengendalikan situasi dengan efektif.

Rodriguez dan ahli lain berkeras bahwa kajian Harvard ini merupakan model teoritis berdasar simulasi matematis, dan penerapannya bisa sangat rumit.

'Belajar'

Personas en la calle, algunas con mascarillas, durante el brote de coronavirus en Londres, antes de la orden de confinamiento

Virus Corona dan akibat yang ditimbulkannya dianggap sebagai fenomena baru. (Getty Images)

Idenya adalah, sesudah melonggarkan aturan pembatasan pergerakan, ada kebutuhan untuk kembali mengetatkan kembali karantina.

"Yang baru dari sini adalah merancang de-eskalasi maka ada selang seling pengetatan pergerakan di masa depan."

Ini karena virus Corona dan akibat yang ditimbulkannya adalah fenomena baru.

"Kita sedang melakukan eksperimen alamiah. Hanya ketika kita menerapkannya, baru kita bisa mengetahui seberapa efektif langkah tersebut."

"Kita tahu bahwa tinggal di rumah merupakan langkah efektif, tapi tak diketahui dengan pasti berapa minggu dibutuhkan di satu negara sampai tidak ada lagi infeksi. Kita sedang belajar dari berbagai kasus."

Dan masih banyak lagi ketidakpastian dalam menghadapi virus Corona ini.

Melompat

Un hombre cerca de un automvil que pide fin del confinamiento

Penting menjaga ekspektasi orang yang menjalani karantina dan ingin menjalani kehidupan seperti sebelum karantina (Getty Images)

Menurut Dr Rebeca Cordero, profesor Sosiologi di European University, skenario yang menyarankan agar ada pembatasan gerak kemudian melonggarkannya, perlu memperhitungkan kebutuhan bentuk-bentuk transisi.

"Tidak boleh dianggap bahwa kita bisa melompat dari karantina kepada model kehidupan yang sebelumnya kita miliki," katanya kepada BBC Mundo.

Keseimbangan yang harus dijaga adalah: menjaga ekspektasi orang yang menjalani karantina bahwa mereka bisa keluar rumah lagi dan "menjalani kehidupan penuh seperti sebelumnya," katanya.

"Namun ketika kita diperbolehkan keluar rumah lagi (awalnya ke kelompok tanpa risiko), kita akan menemukan masyarakat dengan penjara sosial yang besar dan dikendalikan oleh aturan gaya hidup higienis."

"Di Spanyol, istilah de-eskalasi digunakan untuk bisa keluar rumah lagi sedikit demi sedikit. Ini dilakukan di negara Eropa saat ini dan diterapkan di China," katanya.

Cartel afuera de una tienda

Publik akan dituntut untuk menyesuaikan cara hidup hingga beberapa waktu ke depan (Getty Images)

Ahli sosiologi ini menjelaskan bahwa membuka masyarakat sedikit demi sedikit akan membuat kita memasuki lingkungan sosial yang berbeda daripada yang sebelumnya biasa kita jalani.

"Pembatasan sosial merupakan kebijakan yang pada dasarnya meminta setiap orang menjaga jarak di luar rumah, dan ini tetap harus dijalankan saat de-eskalasi ini diterapkan," kata Cordero.

Dan langkah ini dijalankan dengan tetap mengawasi perkembangan pandemi.

Misalnya, jika ada bukti ilmiah bahwa saat musim panas virus jadi tidak aktif, bisa saja kelompok yang rentan diperbolehkan untuk keluar rumah.

Namun saat musim gugur, mungkin perlu lagi masuk ke fase tinggal di rumah.

Siklus seperti ini akan berlanjut tergantung seberapa jauh kemajuan dicapai dalam pengobatan dan vaksin.

Yang disepakati oleh para ilmuwan Harvard maupun Rodriguez dan Cordero adalah kecil sekali kemungkinan kita kembali kepada kehidupan kita sebelum terjadinya pandemi virus Corona.

(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads