Kebijakan pemerintah pusat dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai direspons oleh pemerintah daerah. Pemprov DKI Jakarta adalah yang pertama menyambut dan menerapkan kebijakan ini setelah usulan sebelumnya yakni karantina wilayah ditolak oleh pemerintah pusat.
PSBB di wilayah DKI Jakarta efektif berlaku mulai 10 April hingga 14 hari ke depan sesuai keputusan Gubernur DKI Jakarta pada 9 April. Gerak cepat Pemprov DKI bukan tanpa alasan mengingat Jakarta sudah lama menyatakan diri sebagai episentrum pandemi Covid-19.
PSBB di wilayah DKI Jakarta efektif berlaku mulai 10 April hingga 14 hari ke depan sesuai keputusan Gubernur DKI Jakarta pada 9 April. Gerak cepat Pemprov DKI bukan tanpa alasan mengingat Jakarta sudah lama menyatakan diri sebagai episentrum pandemi Covid-19.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan secara nasional hingga 10 April 2020 tercatat 3.512 orang terinfeksi virus corona. Sebanyak 306 orang meninggal dunia dan 282 orang dinyatakan sembuh. Sementara di Jakarta terdapat 1.753 kasus positif virus corona. Data ini menunjukkan sebaran virus di wilayah DKI Jakarta sangat tinggi dan cenderung mengkhawatirkan mengingat daya tular dari virus ini begitu cepat.
Kebijakan PSBB Pemprov DKI Jakarta ini memuat beberapa aturan yang wajib ditaati. Secara umum aturan PSBB berisi pembatasan aktivitas masyarakat seperti penghentian sementara kegiatan belajar mengajar di sekolah dan institusi pendidikan lainnya, pembatasan aktivitas di tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan di rumah ibadah, pembatasan kegiatan di tempat umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan penggunaan moda transportasi untuk pergerakan orang dan barang.
Namun demikian, ada beberapa pengecualian yang diperbolehkan seperti adzan/lonceng sebagai tanda waktu ibadah, kegiatan di tempat umum dibatasi hanya lima orang, kegiatan masyarakat ke luar rumah hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, berolahraga mandiri, khitanan harus di tempat pelayanan kesehatan, pernikahan hanya di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, pemakaman atau takziah kematian bukan karena korban Covid-19.
Transportasi kendaraan bermotor pribadi diperkenankan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pokok. Angkutan umum tetap beroperasi dengan dibatasi 50% dari kapasitas normal. Sementara Ojek online juga dibatasi hanya mengangkut barang. Semua yang dikecualikan tersebut tentu saja tetap mengikuti ketentuan protokol kesehatan dan pembatasan jarak sosial dan fisik (social and physical distancing) yang sudah lebih dulu disosialisasikan oleh pemerintah pusat.
Pada dasarnya kebijakan pemerintah pusat terkait PSBB masih bersifat imbauan dan belum menjadi kebijakan nasional yang harus diikuti oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini terlihat dari prosedur penerapan PSBB yang didasarkan pada usulan pemda kepada pemerintah pusat. Dengan demikian wajar apabila masyarakat menilai kebijakan pemerintah ini dinilai kurang tepat dan terkesan lamban. Mengingat, sebaran virus ini sudah merata di seluruh provinsi di Indonesia.
Namun demikian, penerapan PSBB oleh Pemrov DKI Jakarta untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19 memiliki harapan baru dan patut diapresiasi. Harapan ini bukan hanya bagi masyarakat Jakarta, tetapi juga daerah lainnya yang kini mulai kelimpungan melihat warganya yang terpapar virus corona. Kebijakan tegas dan cepat ini kemungkinan besar akan diikuti oleh pemda lain terutama yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta dengan segera membuat usulan kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan untuk dipertimbangkan memberlakukan PSBB di wilayahnya masing-masing.
Menyikapi penanganan pandemi Covid-19 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pemerintah pusat sebagai lokomotif pencegahan virus Covid-19 perlu mengubah dan memangkas persyaratan yang terkesan birokratis terkait perizinan penetapan PSBB bagi suatu wilayah seperti pertimbangan pada jumlah kasus kematian karena Covid-19, adanya epidemologi (pola penyebaran penyakit), data peningkatan kasus, kurva epidemologi yang telah dikaji pemda dan data pendukung lainnya.
Persyaratan penetapan PSBB harusnya cukup disederhanakan berdasarkan status zona wilayah yang berwarna warna merah yaitu saat sudah ada satu pasien terpapar positif karena dengan keberadaan satu orang bisa menjadi penyebar super yang dapat menyebabkan infeksi ke sejumlah besar orang dalam waktu singkat dan cepat. Sikap pemerintah pusat yang lebih agresif jika perlu tanpa menunggu usulan Pemda untuk menetapkan kebijakan PSBB bisa menekan penyebaran virus mematikan ini.
Kedua, menjadikan Covid-19 sebagai musuh bersama yang harus dilawan. Keganasan Covid-19 bukan saja membawa masalah serius pada kesehatan, ekonomi karena banyak usaha dan industri berhenti berproduksi tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran individu dan kolektif yang melibatkan semua lapisan berperang melawan virus Covid-19 tanpa menunggu antrean korban yang akan terus bertambah.
Gerakan ini harus menjadi skala prioritas demi penyelamatan keberlangsungan hidup bangsa Indonesia. Kita tidak bisa bicara masalah kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan perdamaian di tengah ancaman virus mematikan yang menyerang kita begitu cepat dan sulit dideteksi kehadirannya.
Ketiga, mengalihkan anggaran yang kurang penting dan mendesak seperti pembangunan infrastruktur ke penanganan Covid-19. Perang melawan virus Covid-19 ini membutuhkan anggaran besar dan sudah sangat mendesak. Walaupun pemerintah telah mengalokasikan jaring pengamanan sosial berupa program keluarga harapan (PKH), Program Kartu Sembako, program kartu pra kerja, dan listrik gratis bagi pelanggan listrik 450 VA dan subsidi 50 % untuk 900 VA selama tiga bulan.
Pemerintah juga perlu memproduksi massal alat proteksi diri warga seperti masker, sanitizer, dan vitamin C yang dibagikan secara gratis kepada semua warga di tengah keberadaan barang ini sulit didapatkan. Memastikan keselamatan warga dengan melindungi dari serangan virus mematikan ini juga amanat yang tertuang dalam UUD 45.
Kita menyadari dan memahami kemampuan pemerintah untuk menangkal pandemi virus Covid-19 ini sangat terbatas. Oleh sebab itu perlu adanya solidaritas masyarakat bahu membahu untuk saling membantu dan berbagi dengan warga sekitarnya khususnya mereka yang kehilangan mata pencaharian sebagai dampak virus corona. Hanya dengan kekuatan sikap gotong royong dan kesetiakawanan antarsesama warga Indonesia kita bisa menekan penyebaran virus Covid-19.
A. Hairul Umam pemerhati sosial dan dosen di Tanri Abeng University Jakarta
(mmu/mmu)
Kebijakan PSBB Pemprov DKI Jakarta ini memuat beberapa aturan yang wajib ditaati. Secara umum aturan PSBB berisi pembatasan aktivitas masyarakat seperti penghentian sementara kegiatan belajar mengajar di sekolah dan institusi pendidikan lainnya, pembatasan aktivitas di tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan di rumah ibadah, pembatasan kegiatan di tempat umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan penggunaan moda transportasi untuk pergerakan orang dan barang.
Namun demikian, ada beberapa pengecualian yang diperbolehkan seperti adzan/lonceng sebagai tanda waktu ibadah, kegiatan di tempat umum dibatasi hanya lima orang, kegiatan masyarakat ke luar rumah hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, berolahraga mandiri, khitanan harus di tempat pelayanan kesehatan, pernikahan hanya di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, pemakaman atau takziah kematian bukan karena korban Covid-19.
Transportasi kendaraan bermotor pribadi diperkenankan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pokok. Angkutan umum tetap beroperasi dengan dibatasi 50% dari kapasitas normal. Sementara Ojek online juga dibatasi hanya mengangkut barang. Semua yang dikecualikan tersebut tentu saja tetap mengikuti ketentuan protokol kesehatan dan pembatasan jarak sosial dan fisik (social and physical distancing) yang sudah lebih dulu disosialisasikan oleh pemerintah pusat.
Pada dasarnya kebijakan pemerintah pusat terkait PSBB masih bersifat imbauan dan belum menjadi kebijakan nasional yang harus diikuti oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini terlihat dari prosedur penerapan PSBB yang didasarkan pada usulan pemda kepada pemerintah pusat. Dengan demikian wajar apabila masyarakat menilai kebijakan pemerintah ini dinilai kurang tepat dan terkesan lamban. Mengingat, sebaran virus ini sudah merata di seluruh provinsi di Indonesia.
Namun demikian, penerapan PSBB oleh Pemrov DKI Jakarta untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19 memiliki harapan baru dan patut diapresiasi. Harapan ini bukan hanya bagi masyarakat Jakarta, tetapi juga daerah lainnya yang kini mulai kelimpungan melihat warganya yang terpapar virus corona. Kebijakan tegas dan cepat ini kemungkinan besar akan diikuti oleh pemda lain terutama yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta dengan segera membuat usulan kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan untuk dipertimbangkan memberlakukan PSBB di wilayahnya masing-masing.
Menyikapi penanganan pandemi Covid-19 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pemerintah pusat sebagai lokomotif pencegahan virus Covid-19 perlu mengubah dan memangkas persyaratan yang terkesan birokratis terkait perizinan penetapan PSBB bagi suatu wilayah seperti pertimbangan pada jumlah kasus kematian karena Covid-19, adanya epidemologi (pola penyebaran penyakit), data peningkatan kasus, kurva epidemologi yang telah dikaji pemda dan data pendukung lainnya.
Persyaratan penetapan PSBB harusnya cukup disederhanakan berdasarkan status zona wilayah yang berwarna warna merah yaitu saat sudah ada satu pasien terpapar positif karena dengan keberadaan satu orang bisa menjadi penyebar super yang dapat menyebabkan infeksi ke sejumlah besar orang dalam waktu singkat dan cepat. Sikap pemerintah pusat yang lebih agresif jika perlu tanpa menunggu usulan Pemda untuk menetapkan kebijakan PSBB bisa menekan penyebaran virus mematikan ini.
Kedua, menjadikan Covid-19 sebagai musuh bersama yang harus dilawan. Keganasan Covid-19 bukan saja membawa masalah serius pada kesehatan, ekonomi karena banyak usaha dan industri berhenti berproduksi tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran individu dan kolektif yang melibatkan semua lapisan berperang melawan virus Covid-19 tanpa menunggu antrean korban yang akan terus bertambah.
Gerakan ini harus menjadi skala prioritas demi penyelamatan keberlangsungan hidup bangsa Indonesia. Kita tidak bisa bicara masalah kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan perdamaian di tengah ancaman virus mematikan yang menyerang kita begitu cepat dan sulit dideteksi kehadirannya.
Ketiga, mengalihkan anggaran yang kurang penting dan mendesak seperti pembangunan infrastruktur ke penanganan Covid-19. Perang melawan virus Covid-19 ini membutuhkan anggaran besar dan sudah sangat mendesak. Walaupun pemerintah telah mengalokasikan jaring pengamanan sosial berupa program keluarga harapan (PKH), Program Kartu Sembako, program kartu pra kerja, dan listrik gratis bagi pelanggan listrik 450 VA dan subsidi 50 % untuk 900 VA selama tiga bulan.
Pemerintah juga perlu memproduksi massal alat proteksi diri warga seperti masker, sanitizer, dan vitamin C yang dibagikan secara gratis kepada semua warga di tengah keberadaan barang ini sulit didapatkan. Memastikan keselamatan warga dengan melindungi dari serangan virus mematikan ini juga amanat yang tertuang dalam UUD 45.
Kita menyadari dan memahami kemampuan pemerintah untuk menangkal pandemi virus Covid-19 ini sangat terbatas. Oleh sebab itu perlu adanya solidaritas masyarakat bahu membahu untuk saling membantu dan berbagi dengan warga sekitarnya khususnya mereka yang kehilangan mata pencaharian sebagai dampak virus corona. Hanya dengan kekuatan sikap gotong royong dan kesetiakawanan antarsesama warga Indonesia kita bisa menekan penyebaran virus Covid-19.
A. Hairul Umam pemerhati sosial dan dosen di Tanri Abeng University Jakarta
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini