Pandemi virus corona (COVID-19) banyak mengakibatkan dampak negatif, terutama angka kematian. Selain dampak negatif, ada 'dampak' lainnya seperti langit yang terlihat terang hingga getaran pada kerak bumi menurun.
Pembatasan yang diberlakukan untuk melawan COVID-19 di sejumlah negara menyebabkan semakin sedikit orang yang bepergian dengan mobil dan kereta api. Pabrik-pabrik juga berhenti beroperasi.
Ketika miliaran orang melakukan hal itu, cara planet kita bergerak juga berubah. Bahkan, faktanya, getaran pada kerak bumi menurun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini diungkapkan oleh para ilmuwan di Royal Observatory of Belgium adalah yang pertama memperhatikan penurunan tersebut.
Dia mengatakan bahwa "gerakan tanah pada frekuensi 1-20 Hz [lebih dalam daripada suara bass ganda, mirip dengan organ besar] jauh lebih rendah sejak pemerintah-pemerintah melakukan pembatasan pergerakan masyarakat'.
Perubahan juga disadari di berbagai tempat lain di seluruh dunia. Ahli gempa di Nepal melihat penurunan aktivitas, seorang pekerja di Paris Institute of Earth Physics mengatakan pengurangan pergerakan di ibu kota Prancis itu "dramatis", dan sebuah penelitian di universitas Cal Tech di AS menggambarkan penurunan di Los Angeles sebagai "sangat liar".
Dampak positif lain dari adanya virus corona ialah udara yang lebih bersih dan laut lebih tenang. Satelit telah mendeteksi penurunan nitrogen dioksida dari gas yang berpolusi, yang dipancarkan oleh mobil, truk, bus, dan pembangkit listrik. Wabah virus corona yang melanda sejumlah kapal pesiar membuat kapal-kapal lainnya memilih merapat di pelabuhan sehingga lalu lintas di laut berkurang.
Bersihnya udara juga terlihat di Jakarta, beberapa hari belakangan langit di Jakarta tampak biru. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut fenomena langit biru Jakarta ini memang ada kaitannya dengan kebijakan pencegahan virus Corona tersebut.
"Terkait langit biru, kalau sedang keadaan cuaca cerah memang warna langit biru. Terkait dampak pembatasan pergerakan orang dan kendaraan (WFH) untuk mencegah, memang ada pengaruhnya," kata Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan saat dihubungi, Selasa (7/4/2020).
![]() |
Menurut hasil pengamatan BMKG, konsentrasi partikel debu (polusi, red) memang rendah jika dibandingkan dengan tahun lalu. Data ini dibandingkan dengan data Maret 2019.
"Kami punya pengamatan di beberapa lokasi di Jakarta tentang partikel/debu (SPM=Suspended Particulate Matter), konsentrasinya lebih rendah di banding bulan yang sama Maret 2019," jelas Dodo.
Dodo menambahkan, secara kualitatif, konsentrasi partikel debu ini juga rendah. Padahal curah hujan pada Maret 2020 lebih kecil dibanding Maret 2019. Dia menduga hal ini disebabkan pergerakan orang dan kendaraan yang rendah selama wabah Corona.
"Tapi secara kualitatif lebih rendah, padahal curah hujan di Maret 2020 lebih kecil daripada di Maret 2019. Jadi kami menduga rendahnya SPM (polutan) di Maret 2020 karena sumbernya rendah, karena tidak banyak pergerakan orang dan kendaraan," tuturnya.