Kapolri Jenderal Idham Azis angkat bicara soal perintah khususnya kepada Bareskrim dan jajaran untuk melakukan patroli siber, dalam rangka memantau penyebar hoax dan penghina presiden di tengah wabah virus Corona (COVID). Perintah itu disorot salah satunya oleh Komisi III DPR yang merupakan mitra kerja Polri.
"Pro kontra itu hal yang biasa," ujar Idham dalam keterangan tertulis yang dirilis Divisi Humas Polri, Rabu (8/4/2020).
Idham menuturkan para tersangka yang keberatan dengan tindakan Polri dapat menempuh jalur praperadilan. "Para tersangka juga punya hak untuk mengajukan praperadilan," sambung Idham.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Divisi Humas Polri dalam rilisnya menerangkan telegram-telegram yang dikeluarkan Idham untuk memberikan pedoman pelaksanaan tugas bagi reserse, selama masa pencegahan penyebaran virus Corona. Dikatakan Polri tetap memegang prinsip penegakan hukum sebagai langkah terakhir atau ultimatum remedium dalam menyelesaikan suatu perkara.
"Dalam konteks ini, penegakan hukum yang dilakukan Polri selama penyebaran Covid-19 pada prinsipnya sebuah pilihan terakhir atau ultimum remedium, di mana Polri mengedepankan upaya preventif dan preemtif," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Asep Adi Saputra.
"Substansinya, telegram Bapak Kapolri ini menjadi panduan bagi penyidik dalam melakukan upaya-upaya penegakan hukum dan menjadi catatan penting, upaya penegakan hukum yang dilakukan Polri ini merupakan upaya yang paling akhir setelah upaya preventif dan preemtif dilakukan," imbuh dia.
Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem, Ahmad Sahroni mengkritik surat telegram Kapolri yang mengatur terkait tugas kepolisian dalam menangani pandemi virus Corona. Dia menyebut surat tersebut berpotensi menimbulkan abuse of power.
"Aturan ini berbahaya sekali. Karena kan kita tahu bahwa Pak Bareskrim dulunya ajudan Pak Jokowi. Ini berpotensi abuse of power. Nanti ada kritisi dikit, langsung ditindak polisi. Kita ini kan negara Demokrasi, masyarakat berhak dong untuk melakukan keritik kepada pemerintah," ungkap Sahroni kepada wartawan, Selasa (7/4).
Sahroni menyebut seharusnya polisi berfokus pada masyarakat dalam situasi yang memprihatinkan saat ini. Menurutnya polisi seharusnya melayani dan melindungi masyarakat saat ini.
"Polisi harus ingat, bahwa mereka ini digaji rakyat, bekerja untuk rakyat. Dalam situasi sulit seperti saat ini, polisi justru harus berada di garda terdepan dalam melindungi dan mengayomi masyarakat," pungkasnya.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani juga meminta Polri bekerja dengan aturan yang berlaku. Daripada menindak, Arsul mengatakan Polri harus mengedepankan upaya pencegahan.
"Mengingatkan jajaran Polri agar kerja-kerja penegakan hukum yg menjadi kewenangan Polri tidak melanggar prinsip due process of law, yakni jelas dasar aturannya dan prosedurnya dilakukan dengan benar. Polri memiliki Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2015 yang isinya meminta agar jajaran Polri melakukan langkah-langkah preventif terlebih dahulu dalam menghadapi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoax sebelum melakukan proses hukum," kata Arsul Sani dalam keterangannya, Senin (6/4/2020).
Untuk diketahui, Polri melakukan patroli khusus memantau informasi bohong atau hoax di tengah darurat wabah virus Corona (COVID-19). Selain memantau informasi hoax, Polri juga juga melakukan patroli khusus memantau penghinaan presiden terkait virus Corona.
Perintah patroli khusus itu tertuang dalam surat telegram Kapolri Jenderal Idham Azis bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang ditandatangani Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo atas nama Kapolri dan diterbitkan pada Sabtu, 4 April 2020.
Dalam surat telegram itu diperintahkan kepada Kabareskrim dan para Kapolda untuk melakukan pemantauan penyebaran hoax di media sosial menyangkut virus Corona. Selain itu juga menyangkut kebijakan pemerintah dan penghina presiden.
"Melaksanakan patroli siber untuk monitoring perkembangan situasi, serta opini di ruang siber, dengan sasaran penyebaran hoax terkait COVID-19, hoax terkait kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran wabah COVID-19, penghinaan kepada penguasa/presiden dan pejabat pemerintah," demikian bunyi salah satu poinnya.