Gagal Paham Krisis, Enggan Percaya Realita, dan Bingung
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Gagal Paham Krisis, Enggan Percaya Realita, dan Bingung

Jumat, 03 Apr 2020 11:59 WIB
Yoga Pratama
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
ilustrasi corona
Ilustrasi: Instagram @alirezapakdel_artist
Jakarta -

Di tengah pandemi virus corona, sebagian besar masyarakat Indonesia merasa kesal, dongkol, dan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah pusat. Hal itu terdengar wajar mengingat para pejabat tampak meremehkan wabah baru yang awalnya berasal dari Wuhan, China ini. Di hadapan rakyat mereka tak menampakkan martabat dan sense of crisis.

Selama Februari lalu, orang-orang penting di pemerintahan menceploskan pernyataan-pernyataan yang tak bijak dan irasional. Pernyataan-pernyataan seperti, "orang Indonesia kebal corona karena doyan nasi kucing," yang diutarakan Menhub hingga "corona" adalah singkatan dari, "komunitas rondo mempesona," kata seorang anggota parlemen menghiasi pemberitaan di media.

Irasionalitas yang dipertontonkan pejabat pemerintah ini juga sekaligus mengundang amarah dari masyarakat pengguna media sosial. Menkes Terawan bahkan menyangkal hasil riset peneliti Harvard yang mengatakan bahwa virus corona sebetulnya sudah masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi sebelum kasus pertama diumumkan Presiden.

Terlebih lagi, ketiadaan sense of crisis ini juga ditunjukkan oleh kepala negara, Presiden Jokowi, saat dia menulis Tweet yang mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan insentif senilai Rp 72 miliar bagi wisatawan (influencer) demi menyelamatkan sektor pariwisata dari wabah Covid-19. Imbasnya hingga saat ini kebijakan Presiden tersebut seolah-olah dinilai sebagai representasi nasional dalam penanganan awal terhadap krisis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semua itu menjadi berita hangat selama Februari. Lalu apa yang terjadi satu bulan kemudian? Negara kelimpungan. Kita menuai apa yang kita tabur. Lebih tepatnya, masyarakat menuai apa yang pemerintah tabur. Ketiadaan sense of crisis dari pejabat pemerintah menjadi benih-benih ketakutan dan ketidakpastian yang menimpa masyarakat. Rakyat menjadi khawatir karena harap-harap cemas akan keberlangsungan hidupnya sehari-hari tanpa kepastian perlindungan dari para pembuat kebijakan.

Walau begitu, janganlah kita lupa bahwa virus ini sama sekali tidak pandang bulu. Entah orang dari kelompok sosio-ekonomi tinggi atau rendah, entah kaum milenial ataupun baby boomer, entah laki-laki atau perempuan, entah atlet sepak bola atau orang malas, virus ini akan tetap melibas siapapun yang dipaparnya. Sebagai contoh, tak hanya pengemudi ojol hingga penjual pinggiran yang kini terdesak masa-masa sulit, anggota DPR yang menikmati kursi parlemen pun ketar-ketir, sampai-sampai hendak melakukan tes massal bagi diri mereka sendiri dan keluarganya sebelum diprotes oleh berbagai kalangan.

ADVERTISEMENT

Pemerintah akhirnya harus menelan ludah sendiri. Sebulan lalu mereka meremehkan pandemi ini, lalu sebulan kemudian―di pekan terakhir Maret―mereka harus mengeluarkan kebijakan darurat sipil yang oleh Jubir Presiden disebut sebagai "langkah terakhir" yang dilakukan pemerintah dalam perang melawan musuh yang tak kasat mata ini. Hanya dalam waktu satu bulan saja pemerintah memutarbalikkan keadaan: dari pemberian insentif kepada wisatawan menjadi penerapan darurat sipil sebagai langkah terakhir penanganan wabah. Dalam pengelolaan darurat kesehatan yang buruk ini pemerintah seperti menelanjangi diri sendiri di hadapan publik.

Pernahkah Anda bertanya-tanya kenapa orang-orang penting di kursi pemerintahan ini menuturkan pernyataan-pernyataan yang irasional dalam keadaan genting seperti pandemi korona ini? Jawabannya bisa kita temukan melalui psikologi. Menurut Julia Shaw, Ph.D, seorang ilmuwan psikologi di University College London, perilaku irasional seseorang selama pandemi disebabkan oleh empat hal, yakni kegagalan memahami krisis, wishful thinking, keengganan mempercayai realita, dan kebingungan.

Sebetulnya empat poin di atas ditujukan kepada masyarakat biasa yang masih melanggar aturan social distancing. Tetapi, dalam konteks Indonesia, empat hal di atas tampaknya berlaku juga untuk para pembuat kebijakan di kursi kekuasaan. Lagi pula, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mematuhi aturan itu, yang terbukti dengan kosongnya jalanan, pusat-pusat perbelanjaan, kampus, dan fasilitas publik lainnya, hingga justru banyak kelompok masyarakat (termasuk para tenaga medis) yang meminta karantina wilayah atau lockdown. Di Indonesia, justru pemerintahlah yang ngeyel.

Pertama, kegagalan memahami krisis. Menurut profesor Julia, kegagalan memahami pandemi sebagai sebuah krisis bisa menyebabkan kelalaian dan penolakan atas skala dan realita yang terjadi di lapangan. Di Indonesia, kelalaian itu direpresentasikan oleh tweet Presiden yang memberikan insentif kepada para influencer dan keterbukaan Sumatera Barat yang membiarkan turis China datang ke daerahnya untuk berwisata. Sementara penolakan realita ditunjukkan dengan jelas oleh Menkes Terawan yang menyangkal hasil penelitian dari Harvard dan malah menantang para peneliti dari kampus tersebut untuk datang ke Indonesia untuk membuktikannya secara langsung.

Kedua, wishful thinking. Istilah tersebut bisa didefinisikan sebagai situasi di mana seseorang membayangkan sebuah kejadian di masa depan berdasarkan imajinasi atau keinginannya saja tanpa melirik realita. Profesor Julia menulis bahwa perilaku ini menyebabkan keluarnya pernyataan-pernyataan yang meremehkan atau melebih-lebihkan sebuah situasi.

Dalam konteks Indonesia, kita tampaknya belum mendengar pernyataan yang melebih-lebihkan dari pejabat mengenai wabah ini. Namun, celotehan yang meremehkan jumlahnya segunung. Dari ocehan soal nasi kucing, virus tidak masuk ke Indonesia karena susah izin, hingga ungkapan "enjoy aja"―semuanya terkesan meremehkan. Hingga artikel ini ditulis, update terbaru kasus corona di Indonesia menyampaikan bahwa seorang PNS di Setjen DPR meninggal dunia. Bagaimana kira-kira perasaan anggota parlemen yang berkelakar bahwa corona adalah singkatan dari "komunitas rondo mempesona" saat ini?

Ketiga, keengganan mempercayai realita. Profesor Julia menulis bahwa perilaku ini ditunjukkan dengan sikap tak menganggap serius berita yang mengatakan bahwa krisis wabah ini berbeda dari penyakit lain. Contoh paling monumental adalah pernyataan dari Menkopolhukam Mahfud MD yang mengatakan bahwa "yang lebih banyak membunuh adalah flu biasa, bukan corona." Tak kalah kontroversial, dalam sebuah pidato Mendagri Tito Karnavian bahkan dengan yakin mengatakan bahwa corona "bukan penyakit yang mematikan" padahal sudah banyak nyawa yang lenyap di China, Italia, Spanyol, dan negara lain di dunia.

Keempat, kebingungan. Pejabat pemerintah bingung akan apa yang harus dilakukan. Tetapi, kecurigaan saya pribadi adalah bahwa para pemangku kepentingan ini bingung―atau bahkan tidak paham―bagaimana mikroba mematikan ini bekerja. Dengan kata lain, mereka tidak bersikap ilmiah. Membayar influencer Rp 72 miliar untuk mencegah corona adalah perilaku yang sama sekali tidak saintifik. Karena tidak paham, maka mereka meremehkan. Setelah meremehkan, mereka berkelakar.

Dalam kondisi tidak paham, seseorang akan cenderung ceplas-ceplos untuk menutupi ketidaktahuannya. Dalam kasus ini, para pejabat pemerintah berlaku seperti anak sekolah yang diminta mengulang apa yang dijelaskan guru karena tidak memperhatikan: ia menuturkan kata pertama apapun yang muncul di dalam kepala, tak peduli itu rasional atau tidak.

Irasionalitas-irasionalitas di atas menyimpulkan satu hal: ketidaktahuan. Dari ketidaktahuan itu muncul perilaku dan pernyataan ignorant dan tidak bijak. Semua ini bersifat psikologis. Ada semacam kecacatan berpikir dalam menghadapi pandemi ini. Menggelontorkan dana Rp 72 miliar bagi para influencer untuk menghadang virus korona jelas adalah sebuah kepandiran karena belum ada penelitian yang mengatakan kalau influencer bisa mengusir virus.

Sebetulnya kita bisa memahami dan mengendus adanya kepentingan lain di balik ceplas-ceplos irasional ini, yakni agar ekonomi domestik tetap stabil dengan cara menggenjot sektor pariwisata. Tetapi di sisi lain, kita juga bisa menyimpulkan bahwa pemerintah tidak mempedulikan kesehatan dan nyawa rakyatnya karena lebih mementingkan hal lain.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads