Pakar UGM Soal Pemudik Nekat: Ciri Penduduk Indonesia Bilocal Population

Pandemi Corona

Pakar UGM Soal Pemudik Nekat: Ciri Penduduk Indonesia Bilocal Population

Jauh Hari Wawan S - detikNews
Senin, 30 Mar 2020 16:01 WIB
Para penumpang di Terminal Jombor Sleman didata
Ilustrasi pemudik di Terminal Jombor, Yogyakarta. (Foto: Jauh Hari/detikcom)
Sleman -

Pemerintah pusat maupun daerah sudah menginstruksikan agar warganya tetap tinggal di rumah selama pandemi Virus Corona atau COVID-19. Namun, banyak warga yang tetap nekat mudik meski sudah dilarang. Begini analisis ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

"Menurut saya, saya punya prinsip bahwa mobilitas penduduk tidak bisa diatur. Karena ini terkait dengan bilocal population," kata Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Agus Joko Pitoyo, Senin (30/3/2020).

"Jadi ciri dari penduduk Indonesia itu kalau dalam teorinya namanya bilocal population. Jadi mereka punya tanah tumpah darah, itu tempat lahirnya. Dan ini selalu terikat dengan tanah tumpah darah (tempat asal)," lanjutnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Joko menyebut selama pandemi Corona ini berlangsung sudah terlihat warga yang berbondong-bondong mudik ke kampung halaman karena banyak sekolah dan perkantoran diliburkan. Sementara banyak pekerja di sektor informal yang merantau ke Jabodetabek dan bergantung hidup dari para karyawan maupun siswa sekolah.

"Sehingga kalau pedagang kaki lima, penyedia jasa atau lainnya yang sifatnya informal, mereka tidak bisa hidup dalam kondisi seperti ini. Hal ini memang persoalan dilematis, dalam kondisi seperti ini, mereka yang ada di Jakarta dan kota besar dengan status sebagai pendatang," ucapnya.

ADVERTISEMENT

Joko menyebut para perantau itu kemudian dihadapkan pada posisi tidak punya pilihan dan jalan lain selain mudik. Sebab, kehidupan di kampung halaman menjadi terlihat lebih aman dalam situasi seperti ini.

"Dalam sisi kehidupan khususnya kalau di kampung lebih 'aman'. Walaupun harus berjuang dan bertahan hidup, tetapi di kampung lebih mudah survive dibandingkan di kota," jelasnya.

Di sisi lain, para perantau juga mudik untuk mencari rasa aman. Joko yakin banyak yang akhirnya memilih mudik lebih awal dengan pertimbangan ini.

"Mudiknya masyarakat desa akan lebih awal dibandingkan kondisi biasa. Karena memang adanya Corona dipaksa mudik lebih dahulu dan mereka akan lebih tenang saat berada di kampung halaman," jelasnya.

Meski begitu kembalinya para perantau saat pandemi Corona ini juga menimbulkan masalah baru. Terutama bagi para pemudik yang datang dari kawasan epicenter kasus Corona seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat.

"Mereka pasti dilematis, di daerah rantau tidak diterima karena keterbatasan ekonomi dan peluang kerja tidak bisa diharapkan. Kedua saat mereka pulang mereka dihadapkan pada masyarakat di daerah asal yang mereka sudah punya stigma bahwa dari Jakarta pasti membawa penyakit," ungkapnya.

Untuk itu, dia menyarankan harus ada kebijakan. Terutama dari pemerintah di tempat masyarakat perantauan itu.

"Yang menjadi penting, ada beberapa pilihan yakni mereka di daerah perantauan tetapi secara ekonomi ditanggung misalnya. Paling tidak diberi bantuan," kata dia.

Namun, jika para perantau itu tetap memaksa untuk pulang ke tempat asal, maka diperlukan kebijakan tambahan. Isolasi selama 14 hari, misalnya.

"Saat mereka (perantau) pulang, mereka harus melalui proses isolasi diri 14 hari. Mungkin prosedurnya seperti itu," paparnya.

Masyarakat, kata dia, diminta untuk tidak menolak perantau yang kembali ke daerah asal.

"Tidak boleh masyarakat melarang untuk masuk, mengingat mereka pernah tinggal di situ. Kan mereka kembali ke sarangnya (tempat asal) sendiri sebetulnya," tegasnya.

Halaman 2 dari 2
(ams/sip)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads