Kina disebut-sebut bisa menjadi penawar ampuh bagi pasien yang terjangkit virus Corona (COVID-19). Kabar itu muncul setelah tim pakar Tiongkok melakukan uji klinis dengan memberikan klorokuin fosfat, kepada pasien COVID-19 yang berada di lebih dari 10 rumah sakit di Cina. Hasilnya pun menunjukkan indikasi kesembuhan yang positif.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mendorong agar akademisi dan lembaga turut melakukan riset untuk mencari obat bagi Corona. "Saya mendengar kabar baik ini kalau bahan untuk obat Corona itu ada di Indonesia, tepatnya di Jawa Barat. Saya akan lihat kajiannya, sudah sejauh mana," kata Emil, sapaannya, di Bandung, Rabu (11/3/2020).
Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjajaran (Unpad) Keri Lestari mengatakan sedianya klorokuin sudah sejak lama digunakan untuk mengobati malaria. "Klorokuin itu berdasarkan hasil riset di Cina, di Wuhan dengan klorokuin menunjukan adanya perbaikan," katanya saat dihubungi wartawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Klorokuin fosfat merupakan obat sintetis yang memiliki kandungan yang ada dalam kina. Kedua obat ini ampuh dalam menanggulangi infeksi parasit yang menyebabkan malaria di aliran darah.
Tanaman herbal yang memiliki nama ilmiah Cinchona ini memang sejak lama digunakan untuk mengobati malaria. Pada abad ke-17, nyamuk malaria menjadi momok di Hindia Belanda, terutama Batavia.
Konon pemberian nama tumbuhan ini pun diambil dari nama seorang putri kerajaan sekaligus istri dari seorang raja muda Peru, yaitu putri Chinchon. Ia kemudian bisa disembuhkan dengan ramuan dari kina ini.
Setidaknya antara 1714-1767 atau lima dekade lamanya, 72.816 penduduk Eropa di Batavia meninggal karena penyakit malaria. Alhasil, julukan 'Kuburannya Negeri Timur' sempat tersemat ke Hindia Belanda, karena wabah malaria sulit ditekan.
Sekitar tahun 1800-an, Menteri Jajahan Seberang Lautan Belanda Ch F. Pahud memulai proyek untuk memberantas malaria secara besar-besaran. Ilmuwan berkebangsaan Jerman, J. Karl Hasskarl diutus untuk membudidayakan kina di Jawa yang diselundupkan dari Peru pada 1854. Ketika itu kina menjadi komoditas penting yang perdagangannya dimonopoli negara-negara Amerika Selatan.
Dibawa Hasskarl ke Jawa, pohon yang bisa tumbuh hingga 15 meter ini kemudian ditebar oleh Franz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis Jerman yang bekerja untuk Kolonial Belanda pada 1857.
Karena ketekunan dan kepekaannya melihat alam di Jawa, ia memindahkan lokasi budidaya kina di Cibodas, Bogor yang dirasanya kurang tepat ke lereng Gunung Malabar Pangalengan, Kabupaten Bandung.
![]() |
Rupanya keputusan Junghuhn itu membuahkan hasil yang memuaskan, Hindia Belanda bisa menghasilkan 11.000 ton kulit kering kina. Pada abad ke-19 Jawa pernah menjadi penghasil kina terbesar di dunia lewat pabrik kina yang didirikan pada 1896 di Bandung.
Ketika itu hampir 90 persen kebutuhan kima berasal dari Indonesia, hingga pasca-kemerdekaan. Kini di lokasi itu tapak tilas Junghuhn masih terlihat jelas di sana, mulai dari rumah yang sempat ditinggalinya hingga klinik. Area itu di bawah pengelolaan PTPN VIII saat ini.
Kendati demikian, bukti sejarah penanaman pohon kina pertama oleh Junghuhn ditandai dengan berdirinya sebuah tugu di Desa Jayagiri, Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Tugu itu kini dikenal warga sebagai Taman Junghuhn.
Hingga saat ini, tugu berbentuk kerucut itu masih berdiri. Terdapat tulisan Dr Franz Wilhelm Junghuhn, lengkap dengan tanggal kelahiran dan kematiannya, 24 April 1864.
Ia meninggal karena suatu penyakit, sambil melihat keindahan Jawa yang dicintainya dari lereng perbukitan Lembang.