Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menimbulkan polemik. RUU ini dianggap mengembalikan Indonesia ke zaman Orde Baru (Orba). Apa alasannya?
"Ya ini sebenarnya semakin menguatkan (kembali ke zaman Orba), seperti itu. Karena misalnya waktu zaman Orba, pemerintah itu lebih tinggi daripada di atas hukum, gitu," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, di Kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (1/3/2020).
"Dan sekarang mereka (pemerintah) mau mengobrak-abrik tatanan hukum, membuat peraturan pelaksana sebelum UU jadi. Apa yang sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi, (materi RUU) dimasukin. Kan artinya dia (pemerintah) menempatkan dirinya lebih tinggi daripada pengadilan dan hukum," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asfinawati menjelaskan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang mengatur pemerintah bisa mengubah undang-undang (UU) melalui peraturan pemerintah (PP) sangat bertentangan dengan hukum. Dia pun ingin DPR menolak membahas RUU Cipta Kerja ini.
"Ini nggak pernah terjadi sebelumnya di Indonesia," ucap dia.
Simak Video "Blak-blakan Menaker: Menjawab Kontroversi RUU Cipta Kerja"
Fadli pun mengatakan ada banyak pasal yang bertentangan dalam omnibus law RUU Cipta Kerja ini. Pemerintah, katanya, tak menguasai materi RUU Cipta Kerja. Dia pun mempertanyakan omnibus law RUU Cipta Kerja ini undang-undang (UU) baru atau UU revisi.
Sebab, menurutnya, banyak pasal di dalam omnibus law RUU Cipta Kerja yang isinya mengubah UU yang sudah ada.
"Kemudian soal otonomi daerah. Semangat otonomi daerah yang dulu didorong ketika reformasi dan ketika amandemen UUD 1945, itu ingin ditarik lagi menjadi sangat sentralistik. Itu konfirmasi dengan adanya materi muatan. Misalnya pemerintah bisa membatalkan Perda. Dan apalagi itu juga sudah dibatalkan oleh ketentuan Mahkamah Konstitusi," ucap Fadli.
Menurut Gita, pemerintah terkesan buru-buru dalam membuat RUU ini. Menurutnya, monitoring evaluasi harus dijalankan terlebih dahulu dalam membuat RUU Cipta Kerja ini.
Sebab, lanjutnya, hal ini tertera di dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, dia ingin DPR menjalankan fungsi pengawasannya.
"Seharusnya pemerintah melakukan monitoring dan evaluasi mengenai UU yang akan direvisi oleh RUU Cipta Kerja ini ketimbang langsung memutuskan memangkas semua pasal-pasalnya. Jadi sementara, proses monitoring evaluasi itu sendiri belum terlihat dilakukan oleh pemerintah. Jadi pemerintah bilang percepat, DPR jangan langsung percepat, tidak otomatis mengiyakan, tapi lebih kritis," ucap Gita.