Berbagai peristiwa ekonomi, politik, dan sosial terus mewarnai prospek ekonomi dunia. Namun, yang paling menggemparkan di awal 2020 adalah virus corona. Virus yang diduga berasal dari konsumsi makanan ekstrem di China itu telah merenggut nyawa kurang lebih 1000 orang.
Lembaga-lembaga internasional sudah mengeluarkan berbagai ulasan terhadap dampak ekonomi virus corona bagi ekonomi China dan ekonomi global. Tanpa virus corona, International Monetary Fund (IMF) Oktober tahun lalu memprediksi ekonomi global tumbuh 3,4 persen, di mana China diproyeksi tumbuh 5,8 persen. Volume perdagangan dunia diperkirakan tumbuh 3,2 persen. Ekonomi China diprediksi melambat karena dampak perang dagang.
Dampak ekonomi virus corona diprediksi cukup signifikan, mengingat besarnya kontribusi China terhadap ekonomi dunia. Ada beberapa ukuran yang bisa disampaikan untuk mengetahui dampak tersebut bagi ekonomi global.
Pertama, kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) China terhadap PDB dunia mencapai 15 persen, hanya selisih beberapa persen dibandingkan kontribusi Amerika Serikat (AS). China menjadi salah satu negara yang mampu tumbuh di atas 6 persen per tahun di tengah-tengah tekanan global misalnya perang dagang.
Salah satu cara untuk mengetahui bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi China terhadap pertumbuhan ekonomi global dapat melalui elastisitas. Pada 2019, elastisitas pertumbuhan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi China mencapai 0,49. Artinya, jika ekonomi China tumbuh 1 persen; maka ekonomi global tumbuh 0,49 persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, China menjadi pusat produksi barang dunia. Porsi produksi barang China mencapai 12,8 persen terhadap produksi barang di dunia; sedangkan kontribusi dari jasa mencapai 4,8 persen. China dikenal mampu berproduksi dengan biaya murah, meski kualitas yang tidak begitu prima.
Satu ukuran yang paling penting dari dominasi perdagangan China adalah surplus neraca perdagangannya. Neraca perdagangan China ke AS surplus hingga US$345 miliar pada 2019; sedangkan terhadap Uni Eropa surplus β¬109 miliar.
Ketiga, kekuatan wisatawan. Sebelum krisis keuangan global, China tumbuh double digit, yang pada gilirannya mendongkrak pendapatan per kapita penduduknya. Data Bank Dunia (2019) mencatat, PDB per kapita China naik dari US$4.550 pada 2010 menjadi US$9.770 pada 2018. Mereka pun semakin leluasa pelesiran ke berbagai negara.
Menurut catatan the World Travel and Tourism Council (2019), pertumbuhan sektor perjalanan dan pariwisata dunia pada 2018 mencapai 4,2 persen; di mana China berkontribusi hingga 25 persen terhadap pertumbuhan tersebut.
Lalu, bagaimana dampak virus corona terhadap ekonomi Indonesia?
Ekonomi China diprediksi akan tertekan pada triwulan I-2020. Senior Fellow pada The Peterson Institute for International Economics Nicholas R Ladry memprediksi, China hanya tumbuh 4 persen (Reuters, 2020). Namun ditekankan bahwa dampak corona terhadap ekonomi China bisa mengecil jika kasusnya semakin menurun.
Jika dibandingkan dengan kasus SARS (2003) di China, pengaruhnya pada ekonomi global tidak begitu signifikan, karena porsi China terhadap PDB dunia di bawah 4 persen. Selain itu, perusahaan-perusahaan China belum terintegrasi signifikan dengan rantai pasokan global.
Dalam kaitannya dengan Indonesia, ada beberapa jalur pengaruh virus corona ke Indonesia. Jalur pertama, tentu, lewat sektor perdagangan internasional. Porsi ekspor Indonesia ke China sekitar 16 persen dan menjadi yang tertinggi dibandingkan negara lain. Bahkan, peranan ekspor Uni Eropa saja hanya 9,24 persen terhadap nilai ekspor Indonesia. Komoditas Indonesia ke China didominasi oleh bahan bakar mineral serta lemak dan minyak dari hewan maupun tumbuhan.
Faktanya, komoditas-komoditas tersebut relatif sulit mencari pasar baru ke negara-negara lain. Data 2019 menunjukkan, ekspor Indonesia ke China masih tumbuh sekitar 5,9 persen (yoy). Jika ekspor ke China turun, maka kemampuan Indonesia untuk menurunkan defisit neraca perdagangan semakin melemah. Artinya, kontribusi neraca perdagangan pada PDB diprediksi tetap negatif. Tahun 2019, neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor) berkontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,49 persen.
Kedua, ada peningkatan kapasitas investasi langsung (foreign direct investment/FDI) China ke Indonesia, yang berpotensi menurun karena corona. Pada 2019, realisasi investasi langsung dari China menempati urutan ke dua setelah Singapura, mencapai Rp 4,74 miliar. Dari segi kontribusi investasi China ke Indonesia meningkat dari 2,15 persen pada 2015 menjadi 16,82 persen pada 2019.
Meski dalam berbagai hal dikeluhkan, seperti penggunaan tenaga kerja dari China, dampak proyeksi penurunan investasi ke Indonesia patut diantisipasi.
Ketiga, tekanan wisatawan. Keputusan pemerintah untuk menghentikan penerbangan dari dan ke China patut diapresiasi sebagai salah satu langkah mengurangi penyebaran virus corona. Tetapi, hal itu sedikit banyak akan menekan sektor pariwisata. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan lalu lintas wisatawan asal China mencapai 2,07 juta orang pada 2019. Angka tersebut mencakup 12,8 persen dari total wisatawan asing sepanjang 2019.
Dari berbagai uraian di atas, pemerintah sudah sepatutnya mengantisipasi dampak virus corona ke Indonesia baik lewat jalur perdagangan, investasi, dan pariwisata. Sehingga, target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen pada 2020 dapat dicapai.
Abdul Manap Pulungan peneliti Indef
(mmu/mmu)