Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad menyebut bangsa ini harus memiliki ideologi yang mampu sebagai perekat persatuan. Sebab bila suatu negara tidak memiliki ideologi maka bangsa itu akan goyah.
"Bangsa Indonesia dikatakan sebagai bangsa yang plural atau majemuk. Terdiri dari beragam suku, bahasa, agama, bahasa, dan budaya. Dari sinilah lahir Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa ditegaskan harus menjadi landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi setiap orang Indonesia," ujar Fadel dalam keterangannya, Selasa (25/2/2020).
"Setiap orang harus memiliki ideologi Pancasila, tanpa ideologi seperti badan tanpa nyawa," imbuhnya.
Hal itu dikatakannya di hadapan mahasiswa dan dosen Universitas Universal di Batam pada Senin (24/2). Di situ, ia mengisi kegiatan Sosialisasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika atau 4 Pilar MPR.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain Pancasila, kata Fadel, bangsa Indonesia harus menjadikan UUD sebagai pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seluruh aturan yang ada harus berlandaskan pada konstitusi itu.
Diungkapkan, bila ada aturan, undang-undang, yang bertentangan dengan UUD, mahasiswa dan masyarakat bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Tak boleh ada aturan yang bertentangan dengan UUD. Banyak pasal dalam undang-undang telah dibatalkan oleh MK," tuturnya.
Dalam bentuk negara, Fadel mengakui ada perdebatan. Ada yang ingin federal, serikat, dan bentuk lainnya. Setelah berdebat secara dinamis dan berkembang, akhirnya bangsa Indonesia memilih bentuk NKRI.
"Akhirnya kita bersepakat dengan bentuk negara kesatuan," papar alumni ITB itu.
Meski demikian, lanjut Fadel, bangsa ini beragam dan terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Sunda, Gorontalo, Madura, Bali, Batak, Minang, dan lain sebagainya. Demikian dalam masalah bahasa yang beraneka pula. Terkait keragaman, para pendiri bangsa mencari slogan apa yang bisa menyatukan keragaman itu sehingga diambil kalimat 'Bhinneka Tunggal Ika'. "Berbeda-beda tetapi satu," ucapnya.
Adapun terkait dinamika masyarakat dalam merespon wacana amandemen, Fadel menegaskan amandemen hanya sebatas pada menghidupkan pokok-pokok haluan negara ada dalam UUD. Haluan negara menurutnya sudah ada sejak zaman Soekarno yang disebut sebagai Pembangunan Semesta. Pada masa Presiden Soeharto disebut GBHN.
"Sekarang kita bikin pokok-pokok haluan negara. Dalam pokok-pokok haluan negara dirancang pembangunan 25 tahun hingga 50 tahun. Pada masa Presiden Soeharto dulu ada Repelita (rencana pembangunan lima tahun)," ujarnya.
Saat ini diakui landasan pembangunan yang dijalankan oleh presiden, gubernur, bupati, dan wali kota berdasarkan pada visi dan misi sehingga di antara mereka terkadang ada yang bertentangan atau tidak sinkron. Ia merasa inilah yang dikhawatirkan MPR.
Sebagai seorang yang pernah menduduki berbagai jabatan dan profesi, seperti pengusaha, gubernur, menteri, hingga wakil ketua MPR, dalam kesempatan tersebut Fadel mendorong agar sumber daya manusia bangsa ini harus semakin bagus dan maju. Ia berharap agar lulusan Universitas Universal kreatif setelah lulus dari kuliah. Dirinya ingin lulusan perguruan tinggi lebih berorientasi pada jiwa kewirausahaan.
"Kita harus berpikir bagaimana bisa menciptakan lapangan kerja. Jiwa orang yang berwirausaha dengan orang yang sekadar bekerja disebut berbeda. Orang yang punya jiwa berwirausaha adalah orang yang mempunyai gagasan dan pikiran, ada peluang apa di masyarakat. Peluang yang ada itu ingin dimanfaatkan," ucapnya.
Sebagai pimpinan dari Kelompok DPD, Fadel ingin semangat kewirausahaan itu diimplementasikan dalam membangun daerah.
"Orang yang unggul adalah mereka yang mempunyai pikiran kewirausahaan," pungkasnya.
(prf/ega)