Dengan menakar urgensitas administrasi, sosial, budaya, dan geografis pada suatu daerah dapat dilakukan pengaturan anggaran dan administrasi pilkada yang cukup untuk daerah-daerah biasa, dan penambahan infrastruktur kepada daerah-daerah yang lebih membutuhkan. Pilkada asimetris juga merupakan wujud evaluasi dari pelaksanaan pilkada langsung yang marak konflik dan politik uang.
Meski wacana itu bergulir pada akhir 2019 lalu, pelaksanaan pilkada asimetris sebenarnya sudah dilaksanakan di Indonesia. Titi Anggraini dari Perludem mengatakan bahwa pelaksanaan pilkada asimetris sudah diterapkan di Aceh dengan adanya partai lokal dan persyaratan bisa membaca Al Quran untuk para calon, lalu di DKI Jakarta yang hanya ada pilkada provinsi tanpa pilkada wali kota, kemudian Yogyakarta hanya ada pilkada wali kota dan bupati tanpa pilgub. Serta, Papua dengan persyaratan calon gubernur dan wakil gubernur yang harus orang asli Papua. Termasuk juga praktik pemungutan suara ala Noken.
Amanat Konstitusi
Pelaksanaan pilkada asimetris yang ada sekarang pada daerah-daerah yang sudah disebutkan di atas menimbang terhadap kekhususan dan keistimewaan daerah. Sebagaimana amanat konstitusi pada Pasal 18B ayat (1) yakni negara menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Oleh karena suatu daerah bersifat khusus dan istimewa, maka proses pembentukan pemerintah daerah melalui pilkada harus menyesuaikan terhadap kekhususan dan keistimewaan suatu daerah itu.
Sekalipun upaya penerapan pilkada asimetris sekarang sudah mempertimbangkan kepada keistimewaan dan kekhususan suatu daerah, ternyata penerapan pilkada asimetris masih luput dari daerah khusus yang bersifat kepulauan. Padahal daerah kepulauan sendiri memiliki tantangan berupa persebaran penduduk dan pembangunan yang kurang merata, rawan bencana, akses transportasi antarpulau yang sulit dan lain sebagainya dikarenakan wilayah lautan lebih luas dari daratan dan hampir semua wilayah daerah kepulauan berada di perbatasan negara.
Dalam UU Pemda No 23 tahun 2014 telah jelas menyebutkan bahwa daerah kepulauan diberikan dana alokasi khusus dan dilakukan strategi percepatan pembangunan terhadapnya, proses pemerintahan daerah kepulauan pun diberikan tugas perbantuan untuk mengurusi kepada aspek kelautan. Perhatian kepada daerah kepulauan dalam UU Pemda semakin jelas memberikan rambu-rambu bahwa terdapat proses pemerintahan yang khusus dikarenakan tantangan sosial, budaya, geografis, dan administrasi pada daerah kepulauan yang lebih berat dibandingkan dengan daerah-daerah lain.
Saat ini DPD dan DPR masih melakukan pembahasan tentang RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan yang di dalam drafnya menjelaskan mengenai otonomi daerah kepulauan berupa hak, wewenang, dan kewajiban daerah kepulauan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat setempat, baik di laut maupun di darat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan disahkannya RUU tersebut menjadi undang-undang akan melegitimasi status kekhususan dari daerah kepulauan yang mana saat ini belum ada satu pun UU yang mengatur lebih lanjut mengenai kekhususan daerah kepulauan. Kemudian berlaku pula asas hukum yakni hukum yang khusus mengenyampingkan hukum yang umum, sehingga daerah kepulauan dapat disebutkan secara pasti sebagai daerah khusus dikarenakan mempunyai UU khusus yang mengatur mengenai pemerintahan selain UU umum yakni UU tentang Pemerintah Daerah.
Perlu Dikonsepkan
Pilkada asimetris pada daerah kepulauan barulah dapat diterapkan setelah mendapat kepastian hukum mengenai kekhususan pemerintahan daerah kepulauan dan otonomi daerah kepulauan. Mengenai konsep pilkada asimetris tentu perlu dikonsepkan dengan baik oleh pemerintah dan DPR sehingga dapat betul-betul efektif dan efisien.
Memang untuk memperbaiki proses pilkada dan pemerintahan tidak hanya dengan jalan mengubah konsep pelaksanaan pilkada pada suatu daerah; banyak faktor lain yang dapat dibenahi. Konsep pilkada pada daerah kepulauan bisa tetap simetris secara sistem, atau sistem pilkada tetap sama dengan pilkada secara umum yang diatur dalam UU No 1 tahun 2015 tentang Pilkada, tetapi penerapan pilkada bisa dilakukan asimetris secara anggaran dan infrastruktur pendukung sehingga pilkada pada daerah kepulauan termasuk proses pemerintahan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Sekali lagi alasan untuk menerapkan pilkada asimetris pada daerah kepulauan adalah urgensi pelaksanaan pilkada secara khusus yang menimbang faktor sosial, budaya, dan geogfrafis. Dan, amanat konstitusi berupa penghormatan kepada satuan daerah kepulauan yang merupakan daerah bersifat khusus dan memiliki otonomi khusus berupa otonomi daerah kepulauan.
Apabila ke depannya wacana pilkada asimetris ini tidak diterapkan pada daerah kepulauan, maka terjadi diskriminasi terhadap daerah kepulauan yang memiliki predikat khusus --yang mana daerah istimewa dan daerah khusus semuanya memiliki sistem pilkada yang asimetris-- dan juga tidak dijalankan dengan baik amanat konstitusi berupa pernghormatan terhadap daerah yang bersifat khusus dan istimewa dengan mengabaikan kekhususan pelaksanan pemerintahan dan pilkada pada suatu daerah.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini