Pemilihan wali kota (Pilwalkot) Makassar bakal digelar dalam waktu dekat. Polisi pun menyebut sejumlah potensi kerawanan yang bisa terjadi dalam pesta demokrasi di ibu kota Sulawesi Selatan (Sulsel).
"Ini memang Makassar lebih rawan dari 12 daerah kabupaten dan kota yang menggelar Pilkada (di Sulsel)," ujar Kapolrestabes Makassar Kombes Yudhiawan Wibisono dalam Dialog Interaktif Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Alauddin Makassar di Jl Aroepala, Makkassar, Jumat (14/2/2020).
"Karena apa, memang di sini adalah ibu kota Provinsi, di satu sisi juga para kandidat pasti berharap menang sebagai Wali kota," sambung Yudhiawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, salah satu potensi kerawanan di gelaran Pilwalkot Makassar adalah hoax. Dia meminta semua pihak tak bermain api.
"Kerawanannya yang paling utama adalah hoax. Hoax itu harus hati-hati, karena bisa membakar semuanya. Banyak kejadian yang tidak perlu terjadi tapi ada berita hoax bisa terjadi, menyebabkan kerusuhan," sebut dia.
Yudhiawan pun meminta pemuda khususnya mahasiswa agar dapat mengambil peran mencegah sejumlah kerawanan pada masa Pilwalkot mendatang.
"Adek-adek mahasiswa bisa menilai kira-kira nanti kalau merugikan masyarakat dia pasti dialog atau unjuk rasa, ini harus disikapi dengan bijak. Mereka jangan dijadikan alat politik, jangan sampai ada hoax sampai money politics," katanya.
Dalam dialog ini, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Firdaus Muhammad beserta presiden mahasiswa UIN Alauddin Makassar Junaedi turut hadir sebagai pembicara.
Firdaus Muhammad lebih menekankan proses demokrasi yang aman dan lancar serta memiliki kualitas yang terbaik.
"Kita bersyukur belakangan anarkisme politik semakin berkurang, tetapi kemanan itu bukan hanya kekerasan di jalanan, di lapangan," ujar Firdaus.
"Tapi kita mau demokrasi ini jalan dengan prodak yang baik, mengatasi kecurangan, termasuk di dalamnya money politics karena ini yang menjatuhkan, demokrasi kita kehilangan ruh kalau politik kita berbayar," imbuhnya.
Sementara Junaedi lebih menyoroti agar mahasiswa tak terjebak ke dalam politik praktis.
"Demokrasi itu (prosesnya) setiap hari harus ada, bukan hanya satu kali 5 tahun, pemuda harus ikut bergerak, sejarah yang kita miliki sebagai pemuda adalah integritas," ujar Junaedi.
"Apabila mahasiswa terlalu cepat masuk ke politik praktis, maka di situlah ada pemanfaatan," katanya.