Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar ingin desa miliki indeks kebahagiaan layaknya santri di pesantren. Menurutnya kebahagiaan ala pesantren akan menjauhkan desa-desa dari sikap intoleransi, radikalisme, dan narkotika
"Saya ingin desa punya daya tahan tinggi terhadap radikalisme, intoleransi, dan Narkotika. Ini penting, karena kalau ngomong radikalisme memang belum sampai ke desa. Tapi kalau tidak diantisipasi secara dini, mereka akan bergerak ke desa," ujar Abdul Halim dalam keterangan tertulis, Kamis (13/2/2020).
Saat menghadiri pembukaan Bahtsul Masa-il Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) XXXVI se-Jawa dan Madura di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jatim mengatakan membangun perdesaan tak hanya semata-mata berbicara soal peningkatan kesejahteraan, namun juga untuk memastikan masyarakat desa hidup bahagia. Kebahagiaan masyarakat mencerminkan hubungan sosial yang baik, hingga terhindar dari sikap intoleransi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama ini orang selalu bilang indeks kesejahteraan. Saya berbeda, banyak orang sejahtera tapi tidak bahagia. Saya ingin orang desa hidupnya bahagia seperti para santri yang hidupnya selalu bahagia," ujarnya.
Dia mengatakan Indonesia membutuhkan sentuhan-sentuhan cerdas dari santri pondok pesantren. Menurutnya, Islam yang merangkul layaknya ajaran di pesantren adalah budaya yang perlu ditularkan ke desa-desa.
"Sejarah membuktikan bahwa tidak akan ada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tanpa adanya pesantren," ujar Gus Menteri.
Di sisi lain menurutnya, Indonesia membutuhkan para pemikir yang benar-benar memiliki modal pemahaman cukup mengenai segala aspek masalah. Pemikir yang memiliki modal kuat, lanjutnya, adalah orang-orang yang dapat menyelesaikan masalah dari berbagai sudut pandang berbeda. Dia menilai FMPP adalah santri-santri yang terbukti mampu menyelesaikan berbagai permasalahan dari berbagai sudut pandang berbeda.
"Ke depan masa depan bangsa sangat tergantung pada FMPP yang setiap saat mengasah otak, mengasah nalar, dan selalu representasikan cara berpikir ulama-ulama besar," tutupnya.
(mul/ega)