RUU Cipta Kerja Bangkitkan Aturan yang Dikubur MK, Ahli: Mengagetkan!

Omnibus Law

RUU Cipta Kerja Bangkitkan Aturan yang Dikubur MK, Ahli: Mengagetkan!

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 13 Feb 2020 10:07 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Foto: Andhika/detikcom)
Jokowi (Andhika Prasetya/detikcom)
Jakarta -

RUU Cipta Kerja berisi ratusan pasal, salah satunya Presiden berhak membatalkan Perda/Peraturan Kepala Daerah. Padahal, materi itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Sangat mengagetkan," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono saat berbincang dengan detikcom, Kamis (13/2/2020).

Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan Perda Provinsi, Kabupaten/Kota dan Peraturan Kepala Daerah yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dibatalkan. Perda Provinsi dan peraturan gubernur dan/atau Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Presiden.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ternyata RUU Cipta Kerja yang digadang-gadang sebagai UU Omnibus yang akan mengatasi berbagai permasalahan regulasi di Indonesia yang dianggap menghambat investasi ternyata justru mengandung kesalahan mendasar yaitu memuat pengaturan yang pernah dibatalkan oleh MK. Fakta ini membuktikan asumsi banyak pihak selama ini bahwa penyusunan UU Omnibus yang dipersiapkan para pembantu presiden dilakukan secara terburu-buru, kurang cermat dan kurang hati-hati menjadi terbukti," ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.

Bagaimana mungkin tujuan UU Omnibus untuk lebih memberikan kepastian hukum di bidang investasi akan tercapai jika di dalam UU Omnibus ini justru mengandung muatan yang tidak memberikan kapastian hukum. Yaitu adanya pengaturan yang bertentangan dengan putusan MK.

ADVERTISEMENT

"Seharusnya para menteri sebagai pembantu Presiden mengetahui bahwa sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 putusan MK bersifat final dan mengikat yang artinya harus harus ditaati oleh semua pihak termasuk pembentuk UU dan membawa konsekuensi tidak boleh norma yang telah dibatalkan MK tersebut diatur lagi di kemudian hari," cetus Bayu.

Para menteri sebagai pembantu Presiden harusnya mengetahui bahwa Putusan MK harus dipatuhi. Sebab kepatuhan kepada putusan pengadilan termasuk putusan MK adalah salah satu ciri negara hukum.

"Sangat disayangkan para menteri penyusun RUU Cipta Kerja tidak memberikan informasi utuh terhadap Presiden bahwa ada materi dalam RUU Cipta Kerja yang bertentangan dengan Putusan MK. Apalagi di dalam kabinet Presiden saat ini salah satu menterinya pernah menjadi Ketua MK yang seharusnya memberi pengaruh positif perihal ketaatan terhadap konstitusi dan putusan MK," papar Bayu.

Konsekuensi tidak diberikannya informasi utuh kepada Presiden menyebabkan Presiden menghadapi kesulitan untuk menyakinkan publik untuk mendukung RUU ini.

"Untuk itu agar tidak menimbulkan polemik maka sebaiknya dalam pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR nantinya pasal-pasal bermasalah tersebut dengan sadar ditarik sendiri oleh pemerintah ketimbang dipermasalahkan oleh DPR atau jika tetap dipaksakan untuk diatur akan dibatalkan kembali oleh MK di kemudian hari," pungkas Bayu.

MK menyatakan Pemerintah Pusat tidak berwewenang membatalkan perda, baik perda kota, kabupaten atau provinsi. Dalam putusan itu, MK memberikan lima alasan:

1. Keberadaan judicial review di dalam suatu negara hukum, merupakan salah satu syarat tegaknya negara hukum itu sendiri, sebagaimana tersurat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Peraturan perundang-undangan hanya layak diuji oleh suatu lembaga yustisi.

2. Menurut UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perda jelas disebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dengan hirarki di bawah UU. Maka sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, pengujiannya hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan oleh lembaga lain.

3. Eksekutif bisa membatalkan Perda menyimpangi logika dan bangunan negara hukum Indonesia sebagaimana amanah Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 juga menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU in casu Perda Kabupaten/Kota sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

4. Ekses dari produk hukum pembatalan Perda dalam lingkup eksekutif dengan produk hukum ketetapan gubernur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 251 ayat (4) UU Pemda berpotensi menimbulkan dualisme putusan pengadilan jika kewenangan pengujian atau pembatalan Perda terdapat pada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif.

5. Jika peraturan daerah itu sudah mengikat umum, maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan peraturan daerah yang bersangkutan sesuai dengan sistem yang dianut dan dikembangkan menurut UUD 1945 yakni "centralized model of judicial review", bukan decentralized model", seperti ditentukan dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads