Temuan jimat dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) baik di tahun 2020 saat ini maupun tahun-tahun sebelumnya membuat geleng-geleng kepala. Walaupun hanya ditemukan satu-dua diantara ratusan ribu peserta seleksi, namun tetap saja memunculkan pertanyaan, masih ada saja yang percaya dengan jimat apalagi peserta tes kali ini merupakan generasi milenial.
Jika kita lihat lebih jauh, milenial maupun generasi sesudahnya dinisbahkan memiliki karakter connected, confident, dan creative. Dengan kejadian di atas maka peserta tes yang membawa jimat sebenarnya bertolak belakang dengan karakter yang confident alias tidak percaya diri, dan menganggap jimatnya akan memberi keberuntungan baginya.
Ada beberapa alasan mengapa seleksi CPNS membuat anak-anak muda mengorbankan logika berpikirnya dengan menyimpan jimat saat tes. Pertama, jika kita lihat dari seleksi CPNS sendiri merupakan jalan untuk memperoleh profesi yang paling diidam-idamkan oleh anak muda Indonesia saat ini, yakni menjadi PNS. Bukan hal yang aneh ketika saat ini seleksi CPNS begitu transparan dengan Computer Assisted Test (CAT) menutup pintu bagi kecurangan-kecurangan dan kolusi yang dulu sering terdengar, maka kemudian beberapa peserta tes membawa jimat dan keluar dari pikiran rasionalnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak percaya diri seseorang memunculkan hal-hal yang di luar nalar. Tidak hanya melanggar aturan saat seleksi untuk membawa barang yang diperbolehkan, membawa jimat mengindikasikan pelanggaran norma, sesuatu yang tidak normal dalam ajaran agama yang mendorong umatnya untuk percaya diri dengan usaha sungguh-sungguh dan juga berdoa, bukan dengan menyandarkan lolos tidaknya dengan barang-barang tertentu.
Lebih miris lagi, peserta tes yang membawa jimat notabene juga merupakan kaum terdidik yang lulus dari perguruan tinggi. Hal ini menjadi tanda bahwa lulus perguruan tinggi bukan menjadi prasyarat seseorang bisa berpikir rasional atau lebih luas lagi tidak memiliki mentalitas kuat. Kemampuan akademik lulusan perguruan tinggi bukan hal yang utama, justru integritas yang harus dikedepankan.
Bisa dibayangkan jika yang lulus CPNS yang kemudian menjadi PNS merupakan orang-orang yang berintegritas rendah dan mengedepankan hal-hal yang irasional. Tidak hanya berpengaruh pada organisasi pemerintah yang merekrut, tapi juga mempengaruhi masyarakat sebagai pihak yang menggunakan layanan para PNS.
Mengedepankan Rasionalitas
Rasionalitas berpikir menjadi hal yang harus dikedepankan. Ada masalah yang perlu dibenahi di tengah-tengah masyarakat, apalagi anak muda, apalagi kaum berpendidikan yang mestinya jauh dari hal yang tidak masuk akal.
Lebih jauh lagi, jika kita lihat di dunia birokrasi yang juga tidak lepas dari dinamika dan budaya di masyarakat, perilaku menyandarkan sesuatu pada benda-benda tertentu yang dianggap keramat bisa jadi juga bisa diterjemahkan pada perilaku pegawai pemerintah yang bersifat instan, dengan tidak menjalankan dengan sungguh-sungguh usaha yang harusnya dilakukan.
Oleh karena itu tidak hanya proses seleksi CPNS saja dalam mengedepankan rasionalitas, melainkan lebih dari itu segala kegiatan di pemerintahan harus berpedoman pada rasionalitas demi kepentingan masyarakat luas. Perilaku suap, korupsi, dan kecurangan lain merupakan bentuk yang lebih buruk dari karakter "serba instan" yang tentunya tidak halal.
Munculnya jimat dalam seleksi harus dipahami sebagai masalah bersama, mengoreksi sekeliling kita yang ternyata masih ada yang tidak rasional di saat dunia berkembang begitu modern. Anak-anak muda yang mengikuti seleksi CPNS kali ini merupakan masa depan bangsa. Tidak hanya dipandang sebagai pemegang estafet pembangunan Indonesia di masa depan, namun juga mereka yang nantinya bersaing dengan bangsa lain.
Jika karakter lemah, tentu akan mudah dimanfaatkan oleh bangsa lain tanpa kita sendiri berkemauan untuk menjadi bangsa yang kuat, terutama karakter dan mental untuk berjuang.
CPNS yang nanti akan mengisi di pos-pos pemerintahan diharapkan mampu menjadi warna baru bagi dunia birokrasi saat ini. Birokrasi yang berkualitas yang dihuni oleh anak-anak muda yang tidak hanya berkompeten namun juga integritas tinggi sangat dibutuhkan untuk mengganti sel-sel birokrasi yang sudah menua.
Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) saat ini menunjukkan lebih dari 20% pegawai pemerintah yang berumur 51-55, kemudian dengan proporsi yang besar pula di kelompok umur 46-50 dengan proporsi 17% dari keseluruhan. Artinya, merekrut anak-anak muda mau tidak mau harus dilakukan sebelum pegawai yang memasuki masa pensiun semakin besar.
Anak-anak muda yang kemudian masuk bukan berarti tidak punya pengalaman sama sekali; sebagian dari mereka juga sudah bekerja di dunia swasta yang memiliki target dan kinerja yang jelas dibandingkan dengan pemerintah. Tantangannya bagaimana mentalitas mencapai prestasi dari apa yang menjadi pengalamannya terdahulu dapat diterapkan di organisasi publik. Bagaimana karakter positif mereka mampu ditularkan dalam lingkungan baru di pemerintahan nanti yang akhirnya mampu membawa pemerintahan saat ini menjadi lebih baik lagi.
Setelah generasi milenial/Y, generasi Z yang memiliki tahun lahir setelah 1995 secara perlahan juga mulai masuk birokrasi. Pemerintah yang sudah menyediakan sistem seleksi yang transparan dan akuntabel diharapkan mampu mencetak generasi terbaik, yang juga diharapkan nantinya mampu memberi kontribusi terbaiknya untuk bangsa. Dan, salah satu langkah pertama bagi anak muda yang ingin berkontribusi adalah dengan tidak membawa jimat saat seleksi.
Ahmad Juwari Analis Akuntabilitas Badan Kepegawaian Negara
(mmu/mmu)