Sekitar 600 orang warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS kini terkatung-katung di Suriah. Menurut UU Kewarganegaraan, mereka kehilangan kewarganegaraannya. Namun bagaimana dengan anak-anak para eks ISIS ini?
Guru besar Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana menyatakan, jika merujuk pada UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, anak-anak eks ISIS juga kehilangan kewarganegaraannya. Hal ini karena UU tersebut menganut asas ius sanguinis.
"Nah, kalau anak-anak kan menurut UU Kewarganegaraan kita mengikuti 'keturunan' ayah dan ibu alias ius sanguinis," kata Hikmahanto saat berbincang dengan detikcom, Jumat (7/2/2020).
Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. Kendati demikian, bisa jadi anak-anak eks ISIS ini tidak kehilangan kewarganegaraannya karena belum menentukan sebelum usia 18 tahun. Namun ada persoalan kompleks.
"Jadi untuk anak-anak ini agak kompleks. Bisa jadi mereka tidak hilang kewarganegaraannya. Tapi kalau mereka masih WNI kan ini bisa terpisah dengan orang tuanya. Belum lagi, meski masih anak-anak, tapi sudah didoktrin keyakinan ISIS," tutur Hikmahanto.
"Memang nggak punya kuasa, tapi kan mereka bisa saja terpapar. Bisa jadi mereka lebih militan karena sejak kecil sudah didoktrin. Kan mereka bersekolah dan berpendidikan dalam suasana di sana," ujarnya.
Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan hingga kini belum selesai memverifikasi 600 lebih WNI eks ISIS. BNPT mencatat mayoritas perempuan dan anak-anak
"Jadi sekarang ya di sana juga demikian perempuan dan anak, walaupun yang 600 lebih itu kami dapatkan adalah mayoritas perempuan dan anak-anak. Tapi kan mereka sudah punya pengalaman semacam itu. Nah, ini perlu jadi pemikiran kita semua," kata Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius saat jumpa pers di gedung Kementerian BUMN, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jumat (7/2/2020).