Sejarah dan Kisah Keberadaan Bioskop di Jabar

Jabar Minim Bioskop

Sejarah dan Kisah Keberadaan Bioskop di Jabar

Ismet Selamet, Syahdan Alamsyah, Dony Indra Ramadhan - detikNews
Selasa, 21 Jan 2020 12:42 WIB
Salah satu bioskop legendari di Sukabumi (Syahdan Alamsyah/detikcom)
Bandung - Di balik minimnya keberadaan bioskop di Jawa Barat, tersimpan sisi sejarah hingga kisah menarik dari keberadaan bioskop, khususnya di Kota Bandung. Beberapa di antaranya bahkan menjadi cikal bakal bioskop gerimis bubar atau misbar.

Bioskop yang menjadi cikal bakal bioskop misbar salah satunya Luxor Park, yang hadir sejak era kolonial Belanda. Lokasinya dulu berada di kawasan Kebonjati, Bandung.

Ariono Wahyu, salah seorang anggota Komunitas Aleut yang mengulas sejarah Kota Bandung, menceritakan bioskop Luxor ini ada dua jenis: Luxor dan Luxor Park. Bioskop Luxor berada di dalam gedung, sedangkan Luxor Park konsepnya terbuka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Luxor Park itu menandakan bioskop itu bioskop taman. Dalam pengertian bioskop terbuka tanpa atap. Jadi cuma dikelilingi sama tembok tanpa atap. Jadi kalau hujan ya hujan. Itu merupakan cikal bakal bioskop misbar. Misbar itu sudah dikenal zaman kolonial sejak ada bioskop taman itu," ucap Ariono kepada detikcom via sambungan telepon, beberapa waktu lalu.


Bioskop Luxor Park juga terbilang unik. Ariono mengatakan, bila penuh, bioskop ini bisa ditonton dari dua sisi yang berbeda saat menyaksikan film bisu kala itu, sehingga kerap terjadi perdebatan-perdebatan menggelitik di antara penonton yang menyaksikan film dari dua sisi yang berbeda.

"Modelnya seperti di lapang gitu ya, jadi penontonnya bisa ada yang nonton dari balik layar. Ada yang nonton di depan layar, ada yang nonton di balik layar. Tergantung karcisnya. Tapi uniknya ketika yang nonton memperdebatkan suatu adegan, misalnya dia nonton koboi bisu, 'itu Tomix yang jadi jagoannya nembaknya pakai tangan kanan', kata seorang lagi 'apaan, nembaknya tangan kiri'. Ya itu bisa terjadi karena mereka nonton dari arah berbeda," kata Ariono.

Ariono mengatakan antusiasme masyarakat Bandung sejak dahulu terhadap hiburan menonton sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya sejumlah bioskop di Kota Bandung.

Pada 1900-an, bioskop yang hadir dari mulai bioskop Concordia atau yang dikenal The Majestic di Jalan Braga hingga bioskop Elita di gedung yang dulu dikenal Palaguna.

Pembelian karcis tiket era itu juga dipisah. Ada kelas 1, 2, dan 3 serta kelas VIP. Di Majestic misalnya, pembeli kelas VIP biasanya mendapat keistimewaan dengan menyaksikan film dari area balkon.

"Kalau VIP biasanya seperti di bioskop Majestic itu dia dapat tempat di balkon, seperti nonton teater ada balkonnya. Jadi tidak duduk sejajar. Jadi ya padanannya seperti nonton teater," kata dia.


Tahun ke tahun, jumlah bioskop di Bandung bertambah. Di kawasan alun-alun Bandung misalnya tepatnya di eks bangunan Palaguna, ada tiga bioskop berjejer di antaranya bioskop Elita, bioskop Varia, dan Oriental. Di dekat gedung itu, juga muncul bioskop Dian, yang lokasinya tepat di samping Pendopo Wali Kota Bandung. Masih di sekitar alun-alun tepatnya di Braga, ada juga Majestic.

Bukan hanya di area tengah kota, bioskop-bioskop juga tersebar di sejumlah daerah pinggiran. Di Pagarsih ada bioskop Siliwangi, Luxor/Luxor Park di Kebonjati, Rivoli atau bioskop Kosambi yang kini jadi Pasar Kosambi, Liberty di Cicadas, hingga Plaza Teater yang kini jadi Jaya Plaza



Simak Juga Video "Melihat Bioskop Dekat Masjid di PGC yang Sempat Ditolak Ormas"

[Gambas:Video 20detik]



Film yang diputar di tiap bioskop pun berbeda-beda. Di Majestic, yang tergolong bioskop elite, kerap diputar film-film keluaran dari Metro Goldwin Mayer (MGM).

"Sempat diberi julukan MGM House, lalu ada direktur khusus perfilman didatangkan dari Eropa," tutur Ariono.

Sementara itu, di bioskop lainnya film yang diputar kadang berbeda-beda. Di bioskop Kosambi misalnya, film yang diputar kebanyakan film India. Di Plaza Teater film Mandarin dan bioskop Siliwangi memutar film silat Mandarin.

Menurut Ariono, raja bioskop kala itu pria bernama FA Busse. Dia memiliki perusahaan jaringan bioskop, seperti bioskop Elita, Varia, Oriental di Alun-alun, Luxor/Luxor Park dan Roxy di Kebonjati, Majestic, Rex, Oranje/Oranje Park di Cikakak, Rivoli di Kosambi, Liberty di Cicadas hingga Rio di Cimahi.

"Jadi, kalau disebut antusias, ya dulu masyarakat sangat antusias untuk menonton film," ujarnya.

Selain di Kota Bandung, Sukabumi memiliki sejarah menarik tentang gedung bioskop. Sedikitnya dulu pernah ada 11 bioskop di Sukabumi (dulu kodya) yang berdiri di utara Sukabumi hingga pusat kota. Masing-masing bioskop itu memiliki cerita tersendiri, hingga akhirnya satu per satu gulung tikar dengan berbagai alasan.


Penelusuran detikcom dari pelaku sejarah, bioskop sudah ada sejak 70-an, ada yang memang warisan kolonial Belanda hingga memang sengaja dibangun oleh sejumlah cukong pada masa itu. Pada 1980-1990-an, bioskop memasuki masa kejayaannya. Hampir di setip sudut kota bangunan itu berdiri dengan ciri khasnya masing-masing.

Ada dua nama bioskop yang dikenal sebagai kelas menengah ke atas karena tarif tiketnya. Sebut saja Sukabumi Theatre, yang dikenal oleh warga dengan sebutan Shoping Centre, lalu Capitol Theatre. Keduanya memasang tarif Rp 1.350 dan Rp 1.850, tergantung kelas. Di satu gedung, ada balkon, VIP, dan kelas 1. Kedua bioskop itu memiliki genre berbeda.

"Kalau untuk Shoping itu dikenal sering menayangkan film-film Hollywood, blockbuster pada masa itu, sebut saja Rambo, Apocalypse Now tayang di tempat itu. Sedangkan Capitol lebih banyak memutar film Mandarin dan film nasional, Jacky Chan, Warkop DKI, dan film-film kolosal, seperti Saur Sepuh," kata I Hendy Faizal, pegiat sejarah dari Soekaboemi Heritages dan pemerhati perfilman Soecinema.

Karena sudah memiliki genre, masing-masing bioskop memiliki segmen penontonnya sendiri. Kedua bioskop itu dikenal paling besar, disusul kemudian beberapa bioskop lainnya, seperti Nusantara, Royal, Mutiara, Gelora, Indra, Mustika, Garuda, Sinar Surya dan Cicurug Theatre.


Menurut pria yang juga akrab disapa Egon itu, bioskop selain Shoping dan Capitol memasang tarif lebih murah, antara Rp 100 hingga Rp 1.100. Untuk film yang ditayangkan mayoritas campuran, setelah lebih dulu ditayangkan di Shoping dan Capitol.

"Kecuali bioskop Nusantara, segmen dia adalah penonton film-film India. Ciri khasnya dia seperti itu. Lalu bioskop-bioskop lain menayangkan film Indonesia yang lebih ke dewasa yang tidak ditayangkan di bioskop Capitol," lanjut Egon.

Pada masa kejayaannya, setiap promosi film baru dilakukan dengan cara berkeliling oleh pemilik bioskop menggunakan mobil bak terbuka yang dilengkapi dengan poster besar menggambarkan film yang akan ditayangkan. "Saya masih ingat dari mobil itu juga membagikan semacam flyer sinopsis singkat film," imbuh Egon.

Era itu kemudian berganti, setelah kepala daerah saat itu, Udin Koswara, membangun pusat perbelanjaan modern pada 1993-1994. Bangunan dua lantai yang memadukan pasar swalayan dengan pasar tradisional.


Perlahan bioskop-bioskop itu mulai padam seiring berdirinya Odeon 21, hak peredaran film diambil alih. Satu per satu bioskop gulung tikar. Begitu juga dengan Shoping dan Capitol. Mereka tak lagi bisa menayangkan film terbaru dengan cepat, harus menunggu hingga beberapa bulan baru bisa ditayangkan.

Dua bioskop itu kalah dalam sisi fasilitas, kualitas, dan konsep. Odeon, yang menerapkan cineplex atau sinema kompleks, bisa menayangkan beberapa judul film di studio berbeda. Hal ini tentu jauh dengan bioskop terdahulu, yang hanya memiliki satu ruang dengan beberapa kelas.

"Perlahan bioskop lain mulai padam, karena hak distribusi dimonopoli oleh 21. Mereka punya jeda penayangan sebelum dijatuhkan ke bioskop lain. Kalau sebelum datangnya 21, bioskop di Bandung jadi patokan kalau ada film baru paling lama satu sampai dua minggu sudah tayang di Sukabumi. Setelah ada 21, jeda waktu makin panjang bisa sampai dua bulan," terang Egon.


Konsep 21 membabat habis semua bioskop pendahulunya, meskipun tarif terbilang cukup lumayan, sekitar Rp 3.000-5.000, setiap studio selalu penuh penonton. "Ada AC, kursi empuk, kualitas gambar dan surround yang bagus jelas melesat dibandingkan bioskop lainnya," ujar Egon.

Namun itu tidak bertahan lama. Bioskop 21 akhirnya mengalami kebangkrutan pada 2000-2001. Ada dua versi terkait gulung tikarnya bioskop itu, mulai serbuan keping VCD hingga pemilihan tempat.

"Saya ingat film terakhir yang saya tonton sebelum bioskop itu bangkrut adalah film Training Day yang dimainkan oleh Denzel Washington. Ada dua kemungkinan. Pertama, keping VCD dan, kedua, pemilihan tempat. Kalau menurut saya, lebih pada pemilihan tempat yang kurang strategis. Kita harus lewat Harun Kabir atau Cijangkar. Suasana pasar dan PKL membuat jengah. Akhirnya bioskop satu-satunya masa itu yang bertahan akhirnya gulung tikar," ucap Egon menutup ceritanya.

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ikut berkomentar terkait masih adanya daerah di Jawa Barat belum memiliki gedung bioskop. Padahal, menurutnya, keberadaan gedung bioskop dinilai penting sebagai tempat untuk mengapresiasi industri film Tanah Air.

"Kalau dari kacamata industri kreatif, apresiasi film Indonesia sangat dibutuhkan," ujar Ridwan Kamil saat ditemui seusai peresmian gedung Kantor PCNU Cianjur di Jalan Perintis Kemerdekaan.

Namun Ridwan Kamil mengatakan faktor kultural di setiap daerah juga menjadi pertimbangan terkait pembangunan bioskop. Pihaknya tidak bisa memaksakan terkait berbagai dinamika yang terjadi di daerah menyangkut pembangunan gedung bioskop.

"Faktor kultural tidak bisa dipaksakan karena itu program budaya. Harus dari masyarakat itu sendiri yang menyelesaikan," kata dia.

Hal paling penting terkait masalah tersebut adalah komunikasi. Jangan sampai keberadaan gedung bioskop itu dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Tapi justru perlu dijelaskan banyak hal positif yang bisa diambil dari adanya gedung bioskop di suatu daerah.

"Film yang positif akan menginspirasi yang menonton. Tinggal dikomunikasikan, tapi butuh waktu," ucap Ridwan Kamil.
Halaman 2 dari 4
(mso/mso)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads