Krisis Iklim dan Banjir Jakarta
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Krisis Iklim dan Banjir Jakarta

Senin, 06 Jan 2020 16:00 WIB
Arif Budi Rahman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Arif Budi Rahman (ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Curah hujan ekstrem di beberapa wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi di pengujung 2019 dan dan awal tahun baru 2020 telah mengakibatkan banjir di sejumlah permukiman. Selain merenggut jiwa, disrupsi layanan publik seperti penghentian layanan kereta rel listrik dan bus Transjakarta, jalan tol di sejumlah ruas, serta pemadaman listrik telah menambah catatan panjang kerugian material.

Bencana hidrometeorologi yakni kejadian bencana akibat fenomena meteorologi atau cuaca seperti curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin merupakan jenis bencana dengan frekuensi dan masivitas tertinggi di Indonesia. Kondisi tersebut memicu risiko banjir, tanah longsor, angin puting beliung, ombak tinggi, gelombang panas, kekeringan lahan ataupun kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang 2019 terjadi 3.768 bencana dengan korban jiwa 349 orang, dengan 99 persen merupakan bencana hidrometeorologi sedang satu persen sisanya merupakan bencana geologi.

Sejak jauh hari, Inter Governmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan khusus mereka bertajuk managing the risks of extreme events and disasters to advance climate change adaptation juga telah mewanti-wanti bahwa potensi bencana hidrometeorologi akan menjadi ancaman global paling mematikan dalam beberapa dekade mendatang. Perubahan iklim merupakan tertuduh utama meningkatnya potensi bencana.

Riset tersebut memasukkan curah hujan ekstrem dalam salah satu rekomendasi yang perlu diwaspadai. Benar saja, beberapa hari lalu curah hujan ekstrem terjadi merata di Jakarta, bahkan intensitas tertinggi mencapai 377 milimeter per hari terekam di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Konon ini merupakan curah hujan tertinggi di Jakarta semenjak 1866.

Momentum Pembenahan

Kerugian besar akibat krisis iklim terutama akan dialami oleh negara berkembang yang terletak di daerah tropis dan sub tropis karena sangat rawan terdampak fenomena alam. Tambahan pula, mayoritas mata pencaharian penduduknya juga amat bergantung pada sumber daya alam yang sensitif terhadap perubahan iklim seperti sektor pertanian dan perikanan.

Beberapa studi memperkirakan bahwa Indonesia akan mengalami potensi kerugian hingga 2,5% dari GDP pada pergantian abad mendatang (Leitmann, 2009). Riset lain menaksir dampak perubahan iklim bagi sektor pertanian Indonesia mencakup penurunan produksi beras, kedelai, dan gabah yang dapat mengancam ketahanan pangan (Oktaviani, et al., 2011). Kelangkaan air merupakan risiko terbesar yang diperkirakan menyumbang kerugian mencapai 2% dari GDP. Dalam kondisi demikian, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu menjadi elan baru paradigma pembangunan.

Frekuensi banjir di ibu kota diperkirakan akan semakin kerap terjadi di masa mendatang. Di samping fenomena perubahan iklim, kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan dari daerah tangkapan air menjadi daerah permukiman dan kawasan bisnis telah memantik banjir semakin destruktif. Tata ruang dan tata guna lahan yang bersifat lintas batas wilayah kadang menyulitkan koordinasi. Keberadaan Badan Kerja Sama Pembangunan Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (BKSP Jabodetabekjur) dianggap kurang bergigi alias tidak memiliki kapasitas dan kewenangan memadai untuk membangun kolaborasi.

Bersamaan dengan datangnya musim hujan, pengelolaan potensi bencana hidrologi seharusnya sudah menyatu dengan para pemangku kepentingan karena peluang kejadian bencana sudah dapat diperkirakan kapan terjadi. Frekuensi banjir yang kian rapat selayaknya menjadi momentum pembenahan manajemen risiko bencana. Sejauh ini, alih-alih memitigasi bencana secara holistik, pemerintah masih menangani banjir sebagai bussines as usual yakni berorientasi pada evakuasi dan rehabilitasi.

Upaya reduksi bencana memang begitu kompleks. Jalin berkelindan antar pemangku kepentingan di tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten dan kota. Melibatkan otoritas pemerintah yang bergerak di hulu maupun di hilir. Memang, manajemen banjir mensyaratkan perencanaan mendetail dan terperinci mulai dari identifikasi ketinggian curah hujan, volume air kiriman dari daerah penyangga, penyusutan waduk dan resapan, hingga penyumbatan sampah di pintu air. Bahkan meliputi pula identifikasi kebutuhan pengungsi dan distribusi bantuan.

Kerumitan koordinasi dan komunikasi berujung pada penanganan banjir yang tambal sulam dan sepotong-sepotong. Yakni hanya mengikuti perubahan yang terjadi dalam ekologi lingkungan di sekitarnya tanpa adanya kesadaran memadai bahwa kini tengah terjadi perubahan iklim yang mengharuskan perubahan sistem untuk mengembalikan, menjaga, atau mengantisipasi bencana dengan tingkat kekerapan dan daya rusak luar biasa.

Kerentanan terhadap bencana memang tidak semata faktor cuaca. Daya adaptif terhadap banjir juga dipengaruhi kemampuan antisipasi pemerintah dalam melakukan aksi proaktif terhadap bencana di masa mendatang, berdasar pengalaman banjir masa lalu. Faktor sosial-ekonomi juga mempengaruhi tingkat keterpaparan dan keparahan masyarakat terhadap bencana. Penduduk dengan tingkatan sosial-ekonomi terbawah dalam piramida kemakmuran adalah korban bencana ganda yang patut mendapat perhatian utama.

Kita sama-sama mahfum, memitigasi banjir mensyaratkan dukungan lintas lembaga. Setidaknya diperlukan dukungan pendanaan, akurasi data, kapasitas SDM, kesadaran masyarakat, dan tentu saja koordinasi dan kolaborasi antar-stakeholder. Sayangnya aspek tersebut masih merupakan barang mahal di negara kita. Ketika mitigasi dan adaptasi terhadap bencana belum dipandang sebagai faktor utama dalam perencanaan pembangunan, kerugian jiwa dan material akan terus berulang.

Tantangan terbesar adalah bagaimana meyakinkan para politisi dan pemegang kekuasaan agar lebih berwawasan visioner yakni menggeser prioritas pembangunan dari berjangka pendek ke jangka panjang. Perlu ada perubahan pola pikir dari agenda musiman yang hanya menawarkan manfaat masa sekarang kepada kemaslahatan masyarakat di masa depan, yang tentunya lebih panjang dari sekedar rotasi kekuasaan. Kompetisi prioritas inilah yang kadang menjadi musabab kenapa pengelolaan bencana sering luput dalam diskursus pembangunan baik di pusat maupun di daerah.

Arif Budi Rahman alumni Curtin University Sustainability Policy Institute, Perth-Australia Barat

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads