Banjir, Antara Anies dan Kang Emil
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Banjir, Antara Anies dan Kang Emil

Jumat, 03 Jan 2020 11:20 WIB
Sudrajat
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sudrajat (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Sambil bertelanjang dada, seorang lelaki paruh baya berorasi di tengah genangan banjir. Di mana-mana, kata dia, air hujan itu dimasukkan ke dalam tanah. Bukan dikirim ke laut lewat gorong-gorong raksasa. Itu keliru, melawan sunatullah namanya.

Mudah ditebak, si pria itu sebetulnya tengah menyindir Gubernur DKI Anies Baswedan. Sebelum menjadi gubernur, di dalam sebuah masjid Anies pernah melontarkan kritik terkait rencana Pemprov DKI membuat gorong-gorong raksasa untuk mengatasi banjir di ibu kota.

Lain lagi dengan seorang teman yang mem-posting pemberitaan surat kabar terbesar di Jawa Barat (Jabar), Pikiran Rakyat di Facebook-nya. Koran itu mengutip data dari BNPB yang menyebutkan jumlah titik banjir terbanyak bukan di DKI Jakarta (63), melainkan di Jabar (97).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tapi kenapa yang disorot cuma Jakarta? Kenapa yang dinyinyirin cuma Anies Baswedan, kenapa Ridwan Kamil (Kang Emil) tidak?" begitu dia menulis.

Saya tersenyum menyimaknya. Kedua wilayah maupun kedua gubernur itu sebetulnya tidak bisa dibandingkan. Sangat wajar bila jumlah titik banjir di Jabar lebih banyak, selain karena wilayahnya lebih luas juga punya lebih banyak sungai.

Secara politik, tanggung jawab pembangunan di Jabar tidak terpusat di gubernur. Sebab di sana ada para bupati dan wali kota yang dipilih langsung oleh rakyat. Kebijakan dan tanggung jawab pembangunan sudah terdelegasikan dan terbagi-bagi dengan mereka. Berbeda dengan DKI Jakarta, karena semua wali kotanya ditunjuk langsung oleh gubernur.

Kang Emil punya 12 program mengatasi banjir, antara lain membangun Kolam Retensi Cieunteung, Danau Retensi Baru-Citarum, membuat sodetan di Cisangkuy, Citepus, Cianting, serta normalisasi empat anak sungai (Cinambo, Cilember, Cibeureum, Citarik), dan membangun 146 cekdam.

Semua program itu dikerjakan bersama para bupati dan wali kota dengan sokongan dana dari pemerintah pusat. Sudah ada yang terwujud? Sepertinya belum karena baru dia paparkan pada awal Januari 2019.

Bagaimana dengan Anies Baswedan? Berbeda dengan para pendahulunya, dia ingin mengatasi dan mengelola banjir dengan konsep naturalisasi, bukan normalisasi sungai seperti dilakukan para pendahulunya. Konsep atau program ini telah dibicarakannya sejak masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Dia mengklaim, konsep naturalisasi lebih ramah lingkungan dan telah diterapkan di sejumlah negara maju seperti Jepang dan Singapura.

Dengan naturalisasi sungai Anies optimistis bakal tercipta lingkungan yang ramah karena tetap memperhatikan sisi ekologisnya. Normalisasi sering menjadi betonisasi, secepat mungkin membawa air ke laut. Kalau naturalisasi itu memperlambat gerakan air. Konsep ini tidak menggunakan beton tapi bronjong, batu kali yang memungkinkan biota bisa hidup. Cacing bisa masuk, ikan kecil bisa masuk.

"Maukah Jakarta mengadopsi sistem yang masa lalu (normalisasi)? Tidaklah...Bagaimana saya menjawab pertanyaan anak-cucu kelak di kemudian hari?" ujarnya saat saya bersama rekan dari CNN Indonesia mewawancarainya beberapa waktu lalu.

Anies menuangkan konsep naturalisasi itu ke dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu. Lewat naturalisasi Anies bertekad untuk menghindari penggusuran dalam merevitalisasi sungai. Tapi yang ditempuh hanya akan menggeser rumah warga.

Justru di sinilah problemnya. Kita tahu hunian makin padat di bantaran kali jadi PR terbesar dalam penataan sungai selama ini. Padahal selain Ciliwung sebagai sungai terbesar, ada Sungai Krukut, Sunter, Cakung, dan beberapa sungai yang mengalir di Jakarta. Hampir semua sungai tak cuma mengalami pendangkalan, tapi juga penyempitan. Lebar sungai di Jakarta rata-rata menyusut dari sekitar 50 meter menjadi 15 meter.

Untuk mengatasi pendangkalan, dikeruk solusinya. Kalau penyempitan oleh permukiman di bantaran kali ya mestinya direlokasi. Peraturan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2018 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau menetapkan bahwa garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan berjarak 10 meter dari tepi kiri-kanan palung sungai dengan kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter, 15 meter, 20 meter, dan 30 meter.

Tapi karena Gubernur Anies Baswedan telah bertekad, sesuai janji kampanye, tidak akan melakukan penggusuran, otomatis upaya pelebaran sungai terhenti. Anies ogah menggusur, tapi akan menggeser rumah warga. Bagaimana caranya? Apakah seperti menggeser bajaj di tempat parkir?

Kita tak perlu mempertentangkan konsep naturalisasi dengan normalisasi sungai. Asalkan fokus dikerjakan. Tapi, yang terjadi tidak demikian. Pada akhir April lalu Anies Baswedan menyebut program naturalisasi sungai telah dijalankan dan hasilnya akan bisa dilihat pada akhir 2019. Tapi yang kita saksikan justru pembuatan lintasan khusus sepeda sepanjang 63 kilometer, bongkar pasang trotoar, dan wacana persiapan balap mobil listrik Formula E.

Akibatnya, lebih dari 31 ribu warga harus mengungsi di awal tahun baru ini. Entah berapa ratus kendaraan terendam, mobilitas warga tersendat, dan aktivitas perekonomian terhambat. Di sinilah kemudian masyarakat nyinyir terhadap Anies. Dia seperti tak melakukan apa-apa selain terus berwacana.

Ketidakseriusan dalam mengatasi banjir itu seolah makin dikuatkan oleh berita bahwa dia justru memangkas anggaran pembebasan lahan waduk dan sungai untuk pengendalian banjir 2019 sebesar Rp 500 miliar. Pada 2018, dia juga mengurangi anggaran untuk program pembangunan prasarana sungai dan kelengkapan pada sistem aliran timur sebesar Rp 87 miliar.

Wajar bila Menteri PUPR Basuki Hadimuljono masygul. Sebab dari pantauannya di sejumlah titik daerah yang sungainya telah dinormalisasi tak ada genangan air melimpah ruah ke pemukiman warga. Sebaliknya di daerah yang belum dinormalisasi karena pembebasan lahan terhenti sejak 2018, warga masih harus kebanjiran.

Sekali lagi, naturalisasi maupun normalisasi tak perlu dipertentangkan. Sebab mau tidak mau pelebaran sungai-sungai itu tetap harus dilakukan. Dengan dukungan politik dan kemampuan retorika yang dimilikinya, Anies mestinya bisa mewujudkan hal itu dengan mudah. Insya Allah warga di bantaran kali itu mau mengerti dan menghargai upaya pemimpinnya demi kebaikan mereka sendiri. Syaratnya, fokus bekerja sebagai gubernur, bukan untuk niat yang lain-lain. Insya Allah....

Sudrajat wartawan detikcom. Tulisan ini pendapat pribadi

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads