"Saya pikir itu terlalu berlebihan. Validitas dari pendapat tersebut sangat perlu diuji," kata Komisioner Kompolnas Andrea Poeloengan saat dihubungi, Senin (23/12/2019).
IPW sebelumnya merilis analisanya tentang penunjukan Irjen Nana Sudjana sebagai Kapolda Metro Jaya, menggantikan Irjen Gatot Eddy Pramono yang dipromosikan sebagai Wakapolri. Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, mengatakan prestasi Nana semasa di kepolisian relatif biasa dan tidak menonjol, namun Nana merupakan mantan Kapolresta Solo semasa Jokowi menjabat sebagai wali kota di sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk menjadi Kapolda harus melalui Wanjakti yang dipimpin oleh Wakapolri. Jadi tidaklah ceroboh dan bukan tanpa pertimbangan yang matang Irjen Nana menjadi Kapolda Metro Jaya," ucap Andrea.
Tonton juga video Jokowi 'Cuek' Sawit RI Ditolak Eropa:
Jika soal masa lalu Irjen Nana yang menjadi Kapolres Surakarta di era Jokowi masih menjadi walikota yang membuat keduanya dekat, Andrea menilai hal tersebut wajar. Justru kedekatan Jokowi dengan Nana menunjukan forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) di Surakarta saat itu berjalan dengan baik.
"Kalaupun karena dulunya pernah bekerja sama dengan Presiden pada saat beliau menjadi Walikota adalah hal yang biasa. Artinya sebagai salah satu Forkompimda, Pak Nana pada menjadi Kapolres, pada saat itu bisa bekerjasama dengan baik bersama wali kotanya, itulah prestasi yang luar biasa yang jarang dinilai oleh banyak orang," jelas Andrea.
"Begitu juga Pak Sigit, yang sama juga artinya pada saat beliau Kapolres, dapat bekerjasama dengan baik bersama wali kotanya," sambung Andrea.
Andrea kemudian menjelaskan polisi modern bukan hanya yang maksimal memanfaatkan teknologi dan maksimal mengungkap kasus, tapi juga yang piawai bersosialisasi. Andrea menambahkan, polisi modern juga harus pandai menjaga keterpaduan dengan mitra kerjanya.
"Polisi modern adalah polisi yang dapat menjaga keterpaduan dengan instansi lain guna mengakomodir harapan, kebutuhan dan kekhawatiran masyarakat. Setidaknya sejak tahun 1988, di luar negeri termasuk di AS (Amerika Serikat), perspektif polisi modern sudah seperti itu," ujar dia.
"Jika sekarang wali kotanya menjadi presiden, dan kapolresnya dulu dinilai dapat menjaga dan bersinergi dengan Forkompimdanya, maka selain itu adalah prestasi bagi polisi modern, juga adalah hal yang wajar jika sekarang kapolres tersebut dipercaya oleh mantan wali kotanya yang kebetulan sebagai presiden untuk mengemban amanah strategis dalam tubuh Polri," lanjut Andrea.
Masih kata Andrea, ucapan Neta bertentangan dengan Pasal 3 UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang mengatur bahwa penghapusan diskriminasi ras dan etnis bertujuan mewujudkan kekeluargaan dan seterusnya. "Membangun pemikiran pengkotak-kotakan tersebut berbahaya, dapat memecah belah NKRI," tutur Andrea.
Andrea menyampaikan diksi 'geng Solo' yang disebutkan Neta, seolah dan patut diduga menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf b UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
"Kalau dilihat sanksinya berdasarkan undang-undang tersebut, ada di Pasal 16 yaitu pidana penjara 5 tahun dan/atau dengan paling banyak Rp 500 juta," pungkas Andrea.
Halaman 2 dari 3