Pola kerja telecommuting atau remote work sendiri sudah diterapkan oleh industri sejak lama, tetapi baru mulai populer di Indonesia saat banyak start-up teknologi bermunculan. Saya sendiri, yang selama 5 tahun terakhir bekerja di industri digital, merupakan salah satu yang menikmatinya.
Sebelum mengkaji kemungkinan hal ini bisa diterapkan pula di pemerintahan, ada baiknya kita telusuri mengapa para start-up berlomba-lomba menerapkan kebijakan remote work ini. Ada banyak alasan, beberapa di antaranya tentu sama dengan tujuan yang disebutkan oleh Bapak Menteri. Namun, satu alasan yang kerap dilupakan adalah bagaimana kebijakan remote work sebenarnya merupakan senjata perusahaan rintisan atau start-up untuk menarik SDM terbaik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di kalangan pegiat start-up teknologi sendiri, tidak semua sepakat dengan kebijakan ini. Salah satu perusahaan unicorn di Indonesia bahkan belum menerapkan kebijakan ini. Beberapa start-up memperbolehkan karyawan bekerja di rumah, dengan catatan tunjangan transportasi mereka dipotong di hari itu (padahal, logikanya, karyawan mengeluarkan biaya untuk koneksi internet sendiri saat bekerja dari luar rumah). Bahkan, di perusahaan teknologi yang menjunjung tinggi remote work sekalipun, karyawan di dalamnya menemukan banyak kesulitan jika rekan tim yang sedang bekerja dari rumah malah sulit untuk dihubungi jika ada keperluan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh sebuah institusi sebelum mengeluarkan kebijakan kerja dari rumah. Pertama, pastikan semua karyawan memiliki infrastruktur yang mendukung. Apakah semua ASN memiliki koneksi internet yang memadai di rumahnya? Jika tidak, apakah pemerintah memberikan tunjangan atau anggaran untuk ini?
Kedua, sebelum memperbolehkan karyawan bekerja dari rumah, pastikan bahwa ada jadwal rutin yang memberikan ruang untuk koordinasi. Pemerintah bisa banyak belajar tentang hal ini dari tim-tim software development di banyak start-up teknologi. Biasanya, walaupun semua anggota tim bekerja dari rumah, setiap hari mereka memiliki jadwal daily stand-up, sebuah rapat singkat (tatap muka maupun online) untuk memberikan laporan ringkas tentang perkembangan terbaru di pekerjaan. Lebih jauh lagi, mereka yang menerapkan framework Scrum memiliki beberapa pertemuan rutin setiap dua minggu untuk perencanaan hingga evaluasi.
Ketiga, jika memang ingin memangkas birokrasi, maka sebelum jauh-jauh berpikir ke ranah kebijakan remote work, lebih penting untuk memberdayakan ASN dengan pengambilan keputusan yang cepat. Kekurangan pemerintah kita, dari dulu hingga sekarang, adalah proses yang berlapis-lapis. Contohnya, di perusahaan start-up tempat saya bekerja, persetujuan anggaran di bawah nominal X juta rupiah tidak butuh tanda tangan basah. Saya cukup mengajukan permintaan dana via sistem. Permintaan tersebut akan disetujui oleh atasan saya dengan satu klik, lalu langsung diproses bagian Keuangan keesokan harinya. Itu adalah contoh ekstrem yang mungkin tidak cocok diimplementasikan di semua institusi, tetapi jika ingin benar-benar mereformasi birokrasi, pola pikir ke arah tersebut harus lebih dulu dibenahi.
Pada akhirnya, satu hal penting yang harus diingat oleh pemerintah adalah bagi para ASN, sebagai abdi negara, akuntabilitas tetaplah prioritas utama. Kebijakan kerja dari rumah, layaknya semua kemajuan teknologi, hanyalah sebuah tool. Bekerja dari rumah bukanlah "kerja ala vacation" seperti yang diberitakan beberapa waktu lalu. Menerapkan sebuah kebijakan yang "sangat milenial" tidak lantas menggaransi pola pikir "milenial", kecuali dibarengi dengan perbaikan-perbaikan yang lebih fundamental lainnya.
Raisa Nabila praktisi manajemen SDM dengan 5 tahun pengalaman di industri digital
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini