"PBNU mendesak agar DPR mengesahkan RUU KUHP yang pengambilan keputusan tingkat I sudah dilakukan. Hanya tinggal ketuk palu di tingkat rapat paripurna. Meminta kami di MPR maupun DPR untuk memperjuangkannya," ujar Ketua MPR Bambang Soesatyo di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019).
Selain itu, kata pria yang akrab disapa Bamsoet ini, PBNU mendorong MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Menurutnya, hal itu untuk memperbaiki tata negara menjadi lebih rapi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PBNU menyayangkan MPR mereduksi dirinya menjadi lembaga negara. PBNU mendorong sebagai lembaga tertinggi negara, agar tata negara kita lebih rapi, karena karena sekarang nggak ada yang tertinggi sehingga terjadi kerancuan," katanya.
Selain Bamsoet, turut hadir ke kantor PBNU beberapa wakil ketua MPR. Mereka adalah Jazilul Fawaid, Fadel Muhammad, Hidayat Nur Wahid, dan Ahmad Basarah. Mereka diterima oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj beserta jajarannya.
Simak Video "DPR Periode 2014-2019 Dinilai Dapat Rapor Merah"
Seperti diketahui, RUU KUHP sudah disetujui di tingkat pertama pada DPR periode sebelumnya. Namun akhirnya pengesahan RUU KUHP ditunda menyusul adanya rangkaian demo penolakan terhadap sejumlah RUU yang hendak disahkan DPR, termasuk RUU KUHP.
Sebelumnya, Anggota Komisi III dari Fraksi PPP, Arsul Sani mengatakan sejumlah RUU yang sempat ditunda akan kembali masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020. RUU tersebut di antaranya RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan.
"Kan begini, RKUHP, RUU Pemasyarakatan kemudian RUU MK dan RUU Jabatan Hakim kembali menjadi RUU usulan Komisi III yang akan masuk prolegnas jangka menengah lima tahunan maupun prolegnas prioritas 2020. Jadi yang 2020 itu mungkin RKUHP dan RUU Pemasyarakatan," kata Arsul di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11).
"Lalu RUU MK, RUU Jabatan Hakim di tahun berikutnya atau begitu selesai kita masukkan dalam RUU prioritas," sambung Wakil Ketua MPR.
Arsul mengatakan perihal mekanisme pembahasan akan kembali dirapatkan dalam Komisi III. Namun, dia menjelaskan, pada periode 2014-2019 ada kesepakatan pembahasan tidak akan dilakukan dari awal.
"Mungkin yang kita akan lihat termasuk kita bicarakan kembali hal hal yg terkait dengan redaksional, frasa, penjelasan. Tapi kalau politik hukumnya saya kira tidak. Politik hukum contohnya apa? Soal hukuman mati, bahwa itu tidak dihapus total, tapi digeser tempatnya dari pidana pokok menjadi pidana khusus yang harus dijatuhkan oleh sidang alternatif itu udah nggak akan kita bahas lagi," tutur Arsul.
"Soal pasal perzinahan, itu nggak akan kita bahas lagi politik hukumnya, bahwa itu akan ada di KUHP kita, iya. Soal aborsi, apakah aborsi secara prinsip itu dilarang itu nggak akan kita bahas lagi, yang paling kita bahas adalah penjelasan, mungkin diperluas untuk memastikan, meskipun sudah pasti di UU Kesehatan, bahwa yang dikhawatirkan atau yang dilontarkan oleh pihak yang bertanggungjawab bahwa perempuan yang diperkosa yang kemudian hamil menggugurkan kandungannya kemudian dipidana itu nggak betul, itu termasuk di pengecualian," sambung dia.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini