"Waktu saya masuk ke Papua, Kapolda, tahun 2012, Kabupaten Puncak yang sekarang jadi Bupati 4 tahun, tertunda karena perang suku antara Ilaga dan Gome. Puluhan orang meninggal dunia, ratusan orang terluka. Kemudian kemarin di Aceh juga tembak-tembakan. Bahkan di kampung saya juga meninggal berapa orang tembak-tembakan," kata Tito Karnavian di Hotel Kartika Chandra, Jalan Jendral Gatot Subroto, Karet, Semanggi, Jakarta Selatan, Senin (25/11/2019).
Menurutnya sistem pilkada langsung memiliki potensi konflik di daerah. Selain menjelaskan konflik yang terjadi di Papua dan Aceh, dia menyinggung soal konflik di Poso yang menurutnya tidak kunjung usai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain terkait konflik, keinginan Tito untuk mengevaluasi pilkada langsung berkaitan dengan biaya politik. Menurutnya, sistem pilkada langsung membutuhkan biaya politik yang mahal.
Baca juga: KPU Harap Pilkada Langsung Dipertahankan |
"Yang kedua adalah high cost politics. Jadi kita lihat politik berbiaya tinggi banyak dari calon kada, calon kada ini kepala daerah, perlu modal. Mulai dari modal saksi, kampanye dan seterusnya. Kemudian juga high cost untuk APBD dan APBN. Karena pilkada langsung itu melakukan mobilisasi untuk TPS dan lain-lain. Mulai penyelenggaranya, masyarakatnya, pengawasnya, keamanannya, tinggi sekali," sambung Tito.
Dia mengatakan keinginannya untuk mengevaluasi sistem pilkada langsung karena adanya potensi munculnya dampak negatif pada pelaksanaan sistem ini. Namun Tito menegaskan tidak pernah menyampaikan ingin menghilangkan pilkada langsung.
"Sehingga yang saya sampaikan mungkin perlu dilakukan evaluasi karena adanya ekses negatif ini. Tapi saya tidak pernah sekali pun mengatakan kembali kepada DPRD, ndak, ndak pernah. Tidak pernah juga saya mengatakan pilkada langsung dihilangkan, no, never," ujarnya. (jef/gbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini