Pekanbaru - Yohana Marpaung gadis ini menitikkan air mata melihat para muridnya anak Rimba di Jambi meninggalkan lokasi pemukiman. Dia adalah guru tanpa pamrih mengajar bagi anak-anak Rimba yang hidup nomaden di bawah perkebunan sawit dan kawasan belantara.
Bernama lengkap Yohana Pamela Berliana Marpaung (27) sudah satu tahun ini mengabdi di LSM lingkungan WARSI di Jambi. Dia saban hari menjadi guru buat belasan anak-anak suku Rimba di Kabupaten Sorolangun, Jambi
Dia mengajar tulis baca dan berhitung. Orang tua muridnya hanya membangun rumah sederhana dengan bermodalkan terpal seadanya di bawah pohon sawit. Di sanalah, gadis berdarah Batak ini bercengkerama menularkan ilmunya buat anak Rimba di bawah ketua kelompok Mariyau.
Yohana pernah menangis di bawah pohon sawit. Dia baru saja mengikuti
workshop di kota Jambi. Bergeges dia kembali ke kelompok muridnya nan jauh dari pusat kota.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesampai di kawasan perkebunan sawit, matanya menatap tajam di lokasi di mana dia selama ini sudah mengajar kepada muridnya selama setengah tahun. Dia cari ke sana-kemari di bawah pohon sawit. Namun jejak muridnya tak terlihat. Gubuk-gubuk mungil yang biasanya terbentang di tengah perkebunan sawit seketika menghilang.
Yohana Marpaung, Guru Anak-anak Rimba di Jambi (dok ist) |
Yohana duduk lemas. Sepertinya dia tidak percaya dengan fakta yang dihadapinya. Muridnya pergi tanpa pesan, entah ke mana akan dicari. Hatinya remuk redam, bocah-bocah Rimba yang belajar kepadanya hilang tak tahu rimbanya.
Hanya dapat duduk dan menangis. Air matanya dihapus ketika bertemu dengan seorang ibu dari kelompok Rimba lainnya. Dia bertanya ke mana gerangan kelompok muridnya.
Dari keterangan seorang ibu yang lazim disebut induk dalam komunitas Rimba, bahwa muridnya meninggalkan lokasi itu karena ada keluarganya yang meninggal. Dalam tradisi dan keyakinan masyarakat Rimba disebut Melangun setiap ada keluarga yang meninggal harus meninggalkan lokasi itu.
Inilah sebabnya, mengapa muridnya meninggalkan sarjana antropologi dari Universitas Sumatera Utara (USU) jebolan 2013 itu. Dapat kabar kelompok muridnya mengikuti jejak orang tuanya di kawasan Tembisi masih di Kabupaten Sorolangun. Butuh waktu minimal 3 jam dengan berkendaraan. Itu pun tak tahu pasti mau ke mana akan dicari mereka.
Tak mau kehilangan anak muridnya, Yohana melangkah pasti melacak mereka meninggalkan lokasi awal. Belakangan kelompok ini berhasil ditemukan, di Desa Bukit Suban di belakang rumah penduduk.
"Aku lega, setelah mencarinya bertemu dengan mereka. Kami belajar lagi sebagaimana biasanya," kata Yohana kepada
detikcom, Senin (25/11/2019).
Cerita di atas adalah sepenggal kisah saat kehilangan muridnya pada Juni 2019. Gadis yang ceria ini adalah magnet bagi muridnya.
Sebagai guru anak Rimba, jangan bermimpi Yohana memberikan pelajaran di dalam ruangan permanen sebagaimana umumnya sekolah formal. Tak ada bangku, tak ada meja, tak ada atap yang sebagai penopang tempat belajar dari sengatan matahari atau turunnya hujan.
Paling banter mereka belajar di gubuk reyot beratap terpal plastik atau paling banter seng bekas yang sudah berkarat. Tapi biasanya lebih banyak proses belajar-mengajar di bawah pohon sawit dan kawasan hutan belantara. Dindingnya hanya bentangan alam yang sudah porak poranda oleh lajunya deforestasi.
Yohana asyik membaca buku dongeng. Muridnya diam mendengarkan cerita dari sang guru. Anak-anak itu duduk melingkar hanya mengenakan kain lusuh. Dongeng disampaikan dalam bahasa Rimba agar anak-anak itu mengerti. Kadang gelak tawa muncul, ketika intonasi suara Yohana dianggap lucu.
Anak sulung dari tiga bersaudara itu, hari-harinya membaur pada keluarga besar Orang Rimba. Dia jauh dari kebisingan ibu kota Provinsi Jambi, jauh dari ibu kota Kabupaten Sorolangun. Dia jauh di sana, di dalam kawasan hutan belantara dan perkebunan sawit. Tak ada warga umum, terkecuali berkutat pada suku Orang Rimba atau disebut suku Kubu.
Muridnya memanggilnya Juana, karena susahnya lidah mereka menyebutkan Yohana. Berulang kali dilatih, pun muridnya memanggilnya Juana.Tak ambil pusing, dia merelakan namanya menjadi Juana.
"Ya sudah, mereka memanggilku 'Juana', tanpa embel-embel ibu di depannya, layaknya sebutan guru, biar saja, supaya lebih dekat, sesuai dengan kebiasaan Orang Rimba yang jarang sekali ada penyebutan panggilan untuk orang lain," kata Yohana.
Di mata Yohana pendidikan merupakan satu pintu masuk untuk merubah keadaan, meski itu akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Dia hanya berharap dengan mengajari anak Rimba, kelak mereka punya bekal untuk menapak hidup yang lebih baik.
"Berharap nanti salah satu muridku bisa menjadi tenaga pengajar dan tenaga kesehatan, sehingga mereka bisa mempersiapkan masa depannya dengan lebih baik," kata gadis kelahiran Tebing Tinggi Sumatera Utara ini, yang di bulan pertamanya bekerja sudah harus di rawat di rumah sakit karena malaria yang menyerang tubuhnya.
Untuk mewujudkan ini, Yohana bersama dengan staf WARSI lainnya berkeliling dari satu kelompok ke kelompok Orang Rimba lainnya. Selama berkeliling ini, Yohana akan hidup membaur dengan mereka.
Yohana Marpaung, Guru Anak-anak Rimba di Jambi (dok ist) |
Tak jarang ia juga mengenakan kain panjang sebagai bawahan, sebagaimana layaknya perempuan rimba. Tidur dalam pondok-pondok sederhana ala Orang Rimba juga dilakoninya. Bahkan harus merelakan rambut indahnya ikut diserbu kutu-kutu yang pindah dari kepala muridnya.
"Sekarang aku sudah bisa tidur di atas pelepah sawit, awalnya sakit-sakit juga badan, tapi sekarang aku sudah biasa saja, malah nyenyak," ujar gadis yang disapa muridnya Juana itu.
Sejak di bangku SMA, dia sudah bercita-cita bisa bertemu dengan berbagai suku adat di Indonesia. Ini karena dia mendapatkan gambaran soal suku-suku di Nusantara dari guru sosiologinya. Mimpinya suatu hari bisa hidup bersama mereka.
Mimpi jadi kenyataan. Pemegang gelar Master of Art kini menjadi guru buat anak Rimba. Yang mungkin, buat mereka pencari kerja guru tentulah ingin berstatus PNS. Ataupun paling tidak, jika tak lolos PNS, menjadi guru di sekolah swasta yang berada di kota atau minimal di kota kecamatan. Guru buat anak-anak suku pedalaman mungkin paling dihindari, namun tidak buat Yohana ini.
"Awalnya aku tak menyangka kalau Orang Rimba sangat berbeda dengan suku adat lainnya, walau Indonesia sudah merdeka lebih dari 74 tahun, masih ada kelompok masyarakat yang hidupnya sangat memprihatinkan. Hidup di bawah pohon-pohon sawit, kadang hanya makan biji sawit yang direbus. Aku benar-benar syok dengan kondisi seperti ini, tapi di sisi lain ini juga yang menyemangati aku untuk terus bekerja mengajarkan mereka baca tulis," katanya saat pertama kali mengajar pada anak Orang Rimba.
Mengajar buat suku pedalaman menjadi pilihannya. Dia sadar akan segala risiko yang dihadapinya. Hidup jauh dari keluarga, jauh dari pemukiman masyarakat umum. Tak ada gemerlap teknologi elektronik yang biasanya di nikmati masyarakat pada umumnya. Tak ada televisi, ada radio sebagai teman pengisi waktu.
Pilihan menjadi guru anak Rimba, bukan berarti dia tak ada tawaran pekerjaan lainnya. Bagi peraih S2 Ilmu Antropologi Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta lulus tahun 2018, banyak tawaran bekerja baginya. Dia sebelumnya sudah bekerja sebagai peneliti dalam kegiatan monitoring dan evaluasi program Kinerja dan Akuntabilitas (KIAT) Guru, Kerjasama dengan Bank Dunia, Februari-Maret 2018 ini. Pilihan akhirnya dia ingin mengabdikan dedikasinya pada anak Rimba yang mungkin bukan cita-cita para sarjana pada umummya.
Yohana mengakui statusnya tenaga pengajar itu sempat mendapat penentangan orang tuanya terutama ibunya. Dia mengakui awalnya pihak keluarga kurang menyukai jika dirinya harus bekerja jauh di pedalaman.
Sang ibu awalnya berharap anak perempuannya satu-satunya itu bisa bekerja di kota kalaupun pergi-pergi tidak lama. Kalaupun mesti riset hanya sebentar di lapangan, selebihnya mengolah data bisa di rumah. Tetapi ketika bekerja di rimba sudah pasti akan jauh dari keluarga.
"Awalnya ibuku keberatan di situ, tetapi aku ceritakan bagaimana anak-anak Rimba masih membutuhkan aku, akhirnya orang tuaku luluh juga. Awalnya bapak aku yang
support, sekarang ibuku juga
support, " kata Yohana.
Selain mengajar pendidikan nonformal, dia harus memantau anak-anak Rimba dari kelompok Tumenggung Grip di Kedudung Muda yang sudah mulai sekolah formal. Sesekali Yohana akan ke Sungai Terap untuk memantau kader guru rimba, Besiap Bungo yang mengajak anak rimba di kelompok itu.
"Tenaga pendidikan sangat terbatas, kami hanya bertiga, aku di Terap Batanghari dan Seputar Desa Bukit Suban di Sarolangun, sedangkan Maknun di Kedudung Muda TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas) dan bagian Makekal Tebo, sedangkan satu lagi Helen, itu di Suku Talang Mamak tebo dan Riau," ujarnya.
Untuk menambah jangkauan, sangat penting untuk menambah tenaga lokal, baik dari guru-guru pemerintah daerah maupun dari kader pendidikan.
Sebaran Orang Rimba sangat luas, tapi hanya dalam kelompok-kelompok kecil, peserta didiknya juga menyebar. Mereka sebagai tenaga pengajar non formal harus menggandeng dengan guru-guru dan sekolah untuk menampung anak-anak Rimba yang di sekolah formal.
Untuk menyamakan irama dan pendekatan, guru-guru yang mengajar anak Rimba secara berkala akan dilakukan pelatihan ataupun diskusi, sehingga persoalan-persoalan dalam mengajar komunitas ini bisa diatasi. Tentunya semua ini menuju pada harapan mewujudkan Indonesia cerdas "Termasuk mencerdaskan anak Rimba," kata Yohana.
Tidak hanya guru untuk yang di pedalaman, WARSI juga mengaktifkan kader-kader pendidikan. Yaitu orang Rimba yang sudah punya kemampuan baik dalam baca tulis hitung, kemudian dilatih untuk bisa menjadi pengajar. Dengan adanya kader jangkauan pada Orang Rimba diharapkan bisa menjadi lebih baik.
Saat ini ada 15 anak muridnya di kelompok Mariyau, 15 anak di Terap dan di SPI ada 10 anak di bawah binaannya. Dengan cara ini, Yohana berharap suatu hari nanti anak didiknya bisa menentukan pilihan yang baik untuk masa depan mereka bersaing pada anak-anak Indonesia lainnya. Selamat Hari Guru.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini