"Itu kan usul, usul itu bukan sesuatu yang wajib. UU Nomor 5 Tahun 2018 (Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) baru ditetapkan, yang namanya usul ya tentu ada dua, dipertimbangkan diterima atau memlanjutkan usul radikal yang ada. Undang-undang itu sudah menegaskan jadi mungkin nanti ada pertimbangan atau catatan sendiri kalau harus diganti " ujar Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris, ketika dihubungi, Senin (11/11/2019) malam.
Menurut Irfan, tidak ada yang negatif dari istilah radikalisme. Istilah yang berkata dasar radix itu justru bermakna positif. Hanya saja kata Irfan,kurang adanya sosialisasi. Sehingga mainset seseorang tergiring mengikuti arah negatif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Irfan mengatakan lebih baik istilah radikalisme itu disosialisasikan, daripada harus mengubah nama. Masih banyak menurutnya program yang harus dilakukan daripada mengubah istilah.
"Yang paling utama bagi kita bagi semua adalah mensosialisasikan UU Tindak Pidana Terorisme itu dan melihat sisi positif bahwasannya radikal itu berfikir komprehensif sampai ke akar-akar. Tapi karena sudah terbangun opini radikal itu negatif, jadi seolah-olah kita ikut menguatkan negatifnya radikal. Tidak selesai masalah kalau misalnya tiba-tiba baru diusul baru direncanakan langsung harus diganti. Masih banyak program lain yang lebih penting kita lakukan, penanggulangan penanggulangan sosialisasi, pencerahan ke masyarakat," ujarnya.
"Kalau setiap istilah kita tidak paham lantas diganti nanti repot, UU belom dilaksanakan maksimal harus direvisi lagi jadinya habis waktu merevisi aturan padahal yang lebih utama iu kan subtansi," lanjut Irfan.
Sebelumnya, diksi radikalisme itu mendapat banyak kritikan oleh DPR. Salah satunya Anggota komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding mengusulkan kepada Kepala BNPT Suhardi Alius untuk mengubah diksi radikalisme menjadi istilah lain. Dia meminta kata radikalisme diganti dengan violent extremism atau kekerasan ekstrem," katanya.
"Pak Suhardi, saya sebenarnya nggak setuju sama diksi radikalisasi, diksi ini muncul di masa Orde Baru yang berkaitan mengarah ke kiri. Tapi pasca-Orde Baru ini, sehingga sudah ke kanan. Di beberapa kejadian juga dilakukan oleh nonmuslim di Selandia Baru dan lain-lain itu kan kekerasan. Apakah kita nggak bisa gunakan diksi ekstremis atau kekerasan?" Kata Sudding saat rapat.
Anggota DPR Komisi III F-Gerindra Rahmat Muhajirin juga meminta kepada Suhardi agar kata radikal itu tidak dipakai. Sebab, menurut Rahmat bahasa itu langsung menyasar ke kelompok agama tertentu.
"Mohon dibatasi, Pak, nggak semua lembaga bicara radikal, karena saya khawatir kadang bahasa radikal menyasar kelompok tertentu," katanya.
Dirjen Pendidikan Islam: Deradikalisasi Harus Struktur, Sistematis dan Masif
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini