Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
Tito Karnavian mempertanyakan sistem pilkada langsung karena menimbulkan dampak negatif, yaitu biaya politik tinggi. Peneliti LIPI
Siti Zuhro menilai evaluasi terhadap pilkada langsung sangat relevan dan mendesak untuk dilakukan.
"Sangat urgen, sangat relevan, signifikan, dan urgen dilakukan karena kita memang harus rasional. Kita objektif, rasional, kritis untuk melihat tidak sekadar pilkada langsungnya, tapi dampaknya terhadap nilai-nilai budaya kita," kata Siti Zuhro di kantor Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PMI), Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (7/11/2019).
Jika pilkada langsung sekadar politik transaksional, Siti menilai hal itu berbahaya. Menurutnya, politik seharusnya membangun nilai-nilai budaya yang beradab.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau nilai-nilai budaya kita tidak terbangun menjadi katakan satu masyarakat yang beradab, pilkadanya juga beradab, karena cuma
vote buying, cuma politik transaksional, cuma menghalalkan semua cara, cuma
pokok'e menang, menurut saya, hentikan. Ini bahaya sekali," tegasnya.
Menurut Siti, tidak semua daerah bisa menerapkan pilkada langsung. Pasalnya, ada beberapa daerah yang diberikan keistimewaan, seperti otonomi khusus di Papua dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Dan tidak semua daerah juga tentunya mengharapkan langsung dilakukan di daerah-daerahnya. Papua satu contoh, itu sudah ada satu usulan untuk tidak menerapkan langsung. Dan bahkan di daerah-daerah tertentu yang merasa aneh dilangsungkan itu," jelas Siti.
"Jadi menurut saya, kita jangan latah mengambil, bahkan di negara Barat pun tidak pilkada langsung. Jadi kita jangan berlebih-lebihan. Lompatan-lompatan politik yang berlebihan itu membuat kita kalau tidak kita kelola dengan baik itu akan membuat kita betul-betul melakukan blunder. Jadi justru
set back kita bernegara berbangsa saat ini," sambungnya.
Evaluasi pilkada langsung, menurut Siti, bukanlah suatu kemunduran menuju otoritarianisme. Siti menyebut saat ini perlu dicari demokrasi yang akurat dan meningkatkan peradaban.
"Dan tentunya harus meningkatkan peradaban. Karena demokrasi itu adalah membangun peradaban. Kalau kita tidak beradab dengan sistem demokrasi yang kita aplikasikan, apalagi melalui langsung-langsung tadi, itu harus dipertanyakan. Kita tidak bisa terus-teruskan. Hancur negara kita. Dalam konteks itu menurut saya memang dievaluasi," ucap Siti.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mempertanyakan sistem pilkada langsung. Dia menilai sistem pemilu itu menimbulkan dampak negatif, yakni biaya politik yang tinggi.
"Kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun? Banyak manfaatnya partisipan demokrasi meningkat. Tapi juga kita lihat mudaratnya ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau nggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," ujar Tito di kompleks parlemen, Jakarta Selatan, Rabu (6/11).
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini