Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala mengatakan polisi sudah baik dalam perencanaan dan penempatan satuan dalam penanganan demo di Bawaslu Mei lalu dan DPR September lalu. Adrianus juga menilai positif Polwan dan Sabhara tanpa tameng dikedepankan saat aksi damai.
"Kemudian begitu mulai naik yang maju sabhara dengan tameng bening tuh, lalu mulai naik lagi turun dia ganti Brimob yang gede tuh, itu indikasikan peningkatan kemampuan Polri seiring eskalasi unjuk rasa, jadi tidak ada orang tersentuh, bahkan selama ekslakasi terjadi justru Polri yang kena timpuk lah," kata Adrianus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Namun, kata Adrianus, mulai ada masalah ketika membubarkan massa karena sudah lewat pukul 18.00 WIB. Apalagi, lanjutnya, massa sudah merangsek ke gedung DPR.
"Lalu masuk massa di mana mereka merangsak, gas air mata, peluru karet, mulai bubarkan massa karena tadi sudah lewat jam 6 sore, sudah masuk ke gedung DPR. Nah di situ sudah mulai ada soal, dikaitkan juga dengan konteks mereka menyapu massa, mengusir massa yang masih tinggal di situ mulai ada persoalan," ujarnya.
Adrianus menyoroti dua hal dari peristiwa itu. Pertama, Adrianus menilai polisi tidak disiplin dalam membubarkan massa.
"Pertama mereka tidak disiplin ketika membubarkan massa itu, atau ketika menyapu massa, jadi mereka (polisi) sudah bergerak jadi kelompok yang agak liar, hubungan antara komandan sudah nggak jelas, sudah kacau. Sehingga mereka mulai tadi rotan ini sudah kemana-mana nih, harusnya membubarkan massa tapi justru mukulin orang-orang yang nggak jelas, bahkan masyarakat. Jadi mulai tidak terkendali," tuturnya.
Poin kedua yang disoroti Adrianus yakni soal emosi. Kondisi fisik yang sudah lelah dinilai mempengaruhi emosi polisi saat membubarkan massa.
"Kalau liat dari kasus Bawaslu dan DPR itu, mereka yang melakukan pembubaran massa dan penyapu itu adalah satuan-satuan yang sudah bekerja selama 12 jam, 13 jam, 14 jam, artinya apa, udah capek, udah lelah, nggak tidur, tidur nggak jelas, makan nggak jelas, maka ketika mereka masih urusi pembubaran massa maka emosi dia, kasar dia," ucapnya.
![]() |
Karena itu, Adrianus menilai untuk membubarkan massa butuh personel yang masih segar, belum kelelahan. Dengan begitu, Sebab, masih bisa mengontrol dan mengukur diri.
"Maka kami minta kepada Polri khususnya pada Pak Idham untuk tadi hal-hal yang sudah bagus tadi kemudian ditutup dengan hal-hal jelek ya, plotting bagus, ekskalasi bagus, jangan kayak peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga. Nah cara gimana maka diharapkan ketika sudah waktu untuk penindakan, pembubaran, seyogyanya dilakukan oleh satuan yang segar," ujarnya.
Pihak Istana sebelumnya mengatakan bahwa Jokowi turut memperhatikan aksi unjuk rasa. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengungkapkan, Jokowi ingin ada cara pendekatan baru dari aparat kepada peserta demo.
"Tadi presiden mengatakan, coba sekali-kali perlu polisi tidak perlu jaga itu demo. Ini maknanya apa? Presiden sangat peduli soal itu," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (30/10).
![]() |
Moeldoko menyebut perlu ada pendekatan baru menangani massa yang berdemonstrasi. Ada wacana aparat tidak berada dekat dengan massa saat menyampaikan pendapat di muka umum.
"Ya mungkin tidak harus (ada kawat berduri), karena gitu ada aparat keamanan, biasanya dibuat-buat demo itu. Menjauh saja aparatnya, kita perlu coba itu. Begitu anarkis baru kita datang," ujar Moeldoko.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini