Seperti dilansir AFP, Selasa (15/10/2019), militer Turki diketahui melancarkan gempuran udara terhadap milisi Kurdi, Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) di Suriah, pekan lalu. Otoritas Turki menanggap YPG sebagai teroris yang merupakan pecahan dari kelompok separatis Kurdi di wilayahnya.
Gempuran udara yang dilancarkan Turki itu menuai kritikan banyak pihak, termasuk Amerika Serikat (AS). Presiden AS Donald Trump sebelumnya mengumumkan sanksi untuk Turki terkait invasi militer ke Suriah yang telah menewaskan puluhan orang sejak pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kritikan terhadap Turki juga datang dari China, melalui Kementerian Luar Negerinya. "Kedaulatan, kemerdekaan, unifikasi dan integritas wilayah Suriah harus dihormati dan ditegakkan," tegas juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, dalam konferensi pers terbaru.
"Kami menyerukan kepada Turki untuk menghentikan aksi militer dan kembali pada cara resolusi politik yang benar," imbuhnya.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, dalam pernyataan pada Selasa (15/10) menegaskan bahwa operasi militer terhadap milisi Kurdi di Suriah tidak akan berhenti hingga 'tujuan kami tercapai'.
Disebutkan Erdogan bahwa wilayah Suriah seluas 1.000 kilometer persegi sejauh ini telah 'dibebaskan dari organisasi teroris separatis'. Erdogan merujuk pada YPG di Suriah.
Turki diketahui berencana menetapkan zona aman yang membentang di sepanjang wilayah Suriah bagian utara. Keberadaan zona aman itu bisa membuka pintu bagi pemulangan 3,6 juta pengungsi Suriah yang kini ditampung di wilayah Turki.
Lebih lanjut, Geng memperingatkan bahwa operasi militer Turki 'bisa berdampak pada kaburnya teroris dan Islamic State (ISIS) mungkin berupaya merebut kesempatan untuk kembali'.
"Kami mendesak pihak Turki untuk bertanggung jawab dan bersisian dengan komunitas internasional dan bersama-sama memerangi terorisme," tandasnya.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini