Berbeda dengan qanun lain yang disahkan oleh parlemen Aceh yang biasanya kerap memicu pro dan kontra, Qanun Pengelolaan Satwa Liar yang disahkan akhir September (27/9/2019) lalu ini sepi dari penolakan warga Aceh.
Nurzahri, mantan Ketua Komisi II DPRA periode lalu sekaligus inisiator qanun ini mengklaim ini merupakan qanun paling aspiratif.
Qanun yang terdiri dari 42 pasal ini mengatur pengelolaan satwa liar dan habitatnya di kawasan hutan yang berada di wilayah Aceh.
Aturan ini melarang warga menangkap, menjerat, memperdagangkan satwa liar yang dilindungi dari kawasan hutan Aceh baik dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk lain.
Warga juga dilarang melakukan kegiatan yang dapat merusak habitat satwa liar, memasang jerat, meletakan racun hingga mencemari sumber air minum satwa liar.
Pelaku pelanggaran diatas terancam dikenakan hukuman khas Qanun Aceh yakni cambuk sebanyak 100 kali atau denda 1.000 gram emas atau setara Rp 700 juta.
Nurzahri mengatakan cambuk ini adalah hukuman tambahan selain pelaku juga akan dikenakan hukuman pidana nasional dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
"Kita melihat ini solusi alternatif untuk menciptakan efek jera. Tidak cuma bagi pelaku tapi juga masyarakat." kata Nurzahri kepada ABC Indonesia.
"Karena hukuman cambuk dilakukan terbuka masyarakat bisa tahu dan mengenali pelaku. "
"Selama ini pelaku perburuan satwa jarang terekspose mereka diadili di kota, jadi warga tidak tahu kasusnya. Padahal pelaku banyak penduduk setempat."
"Kalau dengan dihukum cambuk otomatis masyarakat yang ada di sekitar hutan itu bisa mengenali pelaku."
"Jadi ketika nanti dia selesai menjalani hukuman masyarakat akan waspada kalau dia lalu lalang lagi di sekitar hutan dan bisa melapor ke pihak berwajib." katanya.
Nurzahri menambahkan ancaman hukuman cambuk ini juga berlaku bagi pejabat yang lalai mengeluarkan izin atau membiarkan terjadinya kejahatan perburuan satwa liar.
Bentuk terobosan hukumBalai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menolak menanggapi perdebatan soal HAM dalam penerapan hukuman cambuk di qanun ini, namun merujuk para fakta di lapangan memang sudah sangat mendesak diadakannya aturan hukum yang lebih mampu menimbulkan efek jera di masyarakat.
"Minggu lalu ada pengungkapan perdagangan kulit harimau Sumatera di Aceh Utara. Barangnya bisa dari Aceh Timur atau Tamiang. Padahal beberapa kali sudah dilakukan penegakan hukum, bahkan hukuman yang dilakukan hampir maksimal." kata Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo.
"Pelaku divonis 4 tahun dari maksimal 5 tahun penjara dan juga denda 100 juta. Tapi nyatanya kasus ini masih terulang." katanya lagi.
Qanun Pengelolaan Satwa Liar akan efektif berlaku Januari 2020 mendatang. Hukuman cambuk mulai diberlakukan di Aceh sejak 2015 dan hingga kini sudah lebih dari 300 orang sudah pernah dikenakan hukuman ini di provinsi Aceh.
Simak berita lainnya dariABC Indonesia. (ita/ita)