"Sekarang delay waktu yang lama itu makin berkembang. Tuntutan jadi macam-macam, termasuk tuntutan dia (Jokowi) dilengserkan, tidak dilantik dan lain-lain. Untuk menyetop ini, terbitkan Perppu untuk menyetop ini, makin cepat makin bagus," kata pakar hukum tata negara, Refly Harun, di Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan, Senin (30/9/2019).
Refly menuturkan tahapan yang perlu dilakukan Jokowi untu mengeluarkan Perppu KPK adalah dengan cara menandatangani RUU KPK. Setelah RUU diundangkan, tahap selanjutnya adalah Jokowi menerbitkan Perppu KPK yang isinya membatalkan undang-undang yang baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Refly mengatakan terbitnya Perppu berdasarkan subjektivitas Presiden. Sementara pertimbangan objektifnya adalah situasi yang genting atau situasi yang perlu aturan secara mendesak. Dia kemudian mengingat kembali situasi yang terjadi saat Jokowi mengeluarkan Perppu Ormas.
"Bagaimana menafsirkan kondisi genting itu? ya Mahkamah Konstitusi mengatakan itu subjektivitas Presiden. Nanti objektifikasinya di DPR. Misalnya saat Presiden keluarkan Perppu Ormas, sebenarnya tidak ada kegentingan saat itu yang bisa kita ukur, yang ada persaingan politik pascapilkada DKI yang dianggap menggunakan kelompok Islam garis keras," terang Refly sembari menyinggung terbitnya Perppu Ormas sebelumnya.
"Kemudian muncul-lah Perppu untuk membubarkan ormas itu, meskipun diembel-embeli radikalisasi, tapi sesungguhnya kan karena persaingan politik saja waktu itu," sambung Refly.
Secara objektif, menurut Refly, kondisi saat ini lebih genting karena RUU KPK dinilai dia melemahkan lembaga antirasuah. "Sekarang menurut saya, kondisinya lebih objektif karena koruptor sudah menyusup di mana-mana, baik legislatif maupun eksekutif. Dan kalau undang-undang ini dipertahankan, terjadi pelemahan KPK yang luar biasa," tutup Refly.
Simak Video "Mensesneg Sudah Siapkan Perppu UU KPK dari Jokowi?"
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini