Informasi tersebut diungkapkan sejumlah sumber yang memahami isu ini seperti dilansir media terkemuka Amerika Serikat, The Wall Street Journal (WSJ), dan dilansir Reuters, Senin (30/9/2019).
Dilaporkan WSJ bahwa insinyur Boeing menciptakan sistem pengendalian penerbangan yang disebut Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver (MCAS) sekitar lebih dari satu dekade lalu, untuk diterapkan pada pesawat militer jenis pengisi bahan bakar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sistem MCAS itu, sebut WSJ, dirancang untuk mengandalkan input dari banyak sensor dan dengan daya terbatas untuk menggerakkan hidung pesawat.
Disebutkan salah satu sumber yang memahami sistem MCAS, seperti dikutip WSJ, bahwa pendekatan ini diambil demi melindungi pesawat dari kekeliruan sistem atau dari situasi yang membuat pilot kehilangan kendali.
Namun pada praktiknya, hal yang bertolak belakang terjadi pada Boeing 737 MAX -- yang juga dilengkapi sistem MCAS -- yang dipakai Lion Air JT 610 dan Ethiopian Airlines ET 302. Sistem MCAS versi Boeing 737 MAX mengandalkan input hanya dari salah satu dari dua sensor yang mengukur sudut hidung pesawat saat mengudara.
Disebutkan lebih lanjut oleh WSJ dalam laporannya bahwa perbaikan software yang sedang dilakukan pada Boeing 737 MAX diharapkan akan menjadikan sistem MCAS-nya lebih mirip seperti yang digunakan pada versi jet tanker militer.
Belum ada komentar resmi dari pihak Boeing terkait laporan ini.
Diketahui bahwa sebelumnya Boeing menyebut data sensor keliru yang diteruskan kepada sistem MCAS sebagai 'tautan umum dalam rangkaian peristiwa' yang mengarah pada kecelakaan fatal Lion Air pada Oktober 2018 dan Ethiopian Airlines pada Maret lalu yang menewaskan total 346 orang.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini